MK Diminta Ingatkan KPU Terkait Aturan Caleg Bekas Napi
KPU didesak merevisi aturan yang menyebutkan bekas terpidana tak harus melewati masa jeda lima tahun untuk maju dalam kontestasi jika pencabutan hak politik yang dijatuhkan pengadilan kurang dari masa jeda tersebut.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
HIDAYAT SALAM
Fadli Ramadhanil, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat memberikan keterangan pers seusai audiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Kawal Pemilu Bersih berkonsultasi kepada Mahkamah Konstitusi terkait dua peraturan Komisi Pemilihan Umum yang mengatur soal pencalonan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Aturan itu dianggap tidak sejalan dengan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022. KPU pun didesak merevisi aturan yang menyebutkan mantan terpidana tak harus melewati masa jeda lima tahun untuk maju dalam kontestasi jika pencabutan hak politik yang dijatuhkan pengadilan kurang dari masa jeda tersebut.
Anggota Koalisi Kawal Pemilu Bersih, Fadli Ramadhanil, menilai Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dan PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan Anggota DPD, yang keduanya diterbitkan pada pertengahan April lalu, bertentangan dengan Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022.
Artinya, KPU telah melakukan perlawanan atau pembangkangan yang akibatnya dapat mengganggu jalannya dan hasil Pemilu 2024. Pihaknya meminta MK untuk memberikan peringatan kepada KPU karena tindakan melawan putusan MK itu adalah pelanggaran konstitusional.
”Tidak ada di dalam Putusan MK yang mengatur bahwa mantan terpidana bisa mencalonkan diri dalam pileg (pemilihan anggota legislatif) hanya karena mantan terpidana itu mendapatkan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik,” kata Fadli seusai bertemu Sekretaris Jenderal MK di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Koalisi Kawal Pemilu Bersih menggelar aksi untuk memprotes dua peraturan KPU yang dinilai memberi karpet merah terhadap bekas terpidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif 2024, Minggu (28/5/2023).
Audiensi Koalisi Kawal Pemilu Bersih dengan MK itu dihadiri sejumlah organisasi nonpemerintah yang menjadi bagian dari koalisi seperti Indonesia Corruption Watch dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Diketahui, Pasal 11 Ayat (6) PKPU No 10/2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU No 11/2023 memberi pengecualian khusus jika putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap memberi ketentuan lain khusus untuk pidana tambahan pencabutan hak politik. Aturan itu, bagi koalisi, dapat membuka celah bagi bekas terpidana korupsi untuk maju dalam kontestasi pemilihan anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda lima tahun yang diperintahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Namun, Ketua KPU Hasyim Asy’ari berdalih pihaknya telah merujuk pada putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagai sumber hukum. Tak hanya di bagian amar putusan, KPU juga melihat bagian pertimbangan putusan. ”Karena sanksi pencabutan hak politik dicalonkan berdasarkan putusan pengadilan, oleh MK dianggap sudah adil sebagai jeda waktu sehingga tidak perlu digenapi jadi lima tahun. MK menghormati putusan pengadilan yang ada,” kata Hasyim Asy’ari kepada wartawan.
Dengan demikian, apabila seorang terpidana korupsi diberi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama tiga tahun, ia tidak perlu menggenapi masa jeda hingga lima tahun setelah bebas jika hendak mengajukan diri menjadi caleg.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis dari Koalisi Kawal Pemilu Berintegritas menggelar aksi di depan kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Minggu (28/5/2023).
Fadli, yang juga peneliti di Perludem, mengatakan, jika tidak ada itikad baik dari KPU untuk merevisi, pihaknya akan mengajukan uji materi kedua PKPU itu ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut dia, kesalahan penghitungan masa jeda lima tahun bagi bekas terpidana pernah terjadi dalam Pilkada Boven Digoel Papua. Pasangan calon Yusak Yaluwo dan Yakob Weremba yang merupakan pemenang Pilkada Boven Digoel Papua digugat ke MK karena Yusak belum menyelesaikan masa jeda lima tahun bagi bekas terpidana untuk maju pilkada.
Lalu, MK dalam putusannya meminta pemungutan suara ulang Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel dalam dalam jangka waktu paling lama 90 hari kerja sejak putusan ini diucapkan tanpa mengikutsertakan Yusak dan Yakob.
Karena itu, lanjut Fadli, pihaknya menilai KPU hanya berpura-pura tidak memahami konstruksi putusan MK. Mestinya, penghitungan yang benar tetap berpijak pada kewajiban melewati masa jeda lima tahun. MK pun di dalam pertimbangannya sudah menjelaskan alasan mengapa waktu lima tahun dipilih sebagai masa jeda.
”KPU memberi dampak buruk pada pemilu, pemberantasan korupsi, dan masyarakat selaku pemilih. KPU ingin mencoreng nilai integritas dalam pemilu. Upaya MK melalui putusannya untuk menghadirkan caleg yang rekam jejak hukumnya bersih dirusak oleh KPU,” kata Fadli.
HIDAYAT SALAM
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/5/2023).
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono menyampaikan, hasil audiensi akan disampaikan kepada Ketua MK. MK meminta kepada Koalisi Kawal Pemilu Bersih untuk dapat mengirimkan detail situasi dan ketentuan yang bermasalah tersebut dalam bentuk tertulis kepada Ketua MK. Nanti, respons MK akan disiapkan dan disampaikan juga kepada KPU.
”Sejauh ini kami akan laporkan dulu hasil audiensi ini kepada Ketua MK untuk selanjutnya apa yang harus kita lakukan. Kalau terkait uji materi, ya, terserah teman-teman koalisi,” ujarnya.