Visi-Misi Capres Sebaiknya Berpegang pada Pembukaan UUD 1945
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengingatkan, akan berbahaya apabila tiap kandidat yang berkontestasi di pemilihan menyusun visi dan misi tersendiri. Idealnya, mereka menurunkan visi dan misi dari Pembukaan UUD 1945.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Semua pasangan calon presiden dan wakil presiden seharusnya menjadikan tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai visi dan misi yang hendak dilaksanakan ketika terpilih. Dengan begitu, hal yang dilakukan pasangan calon hanyalah menurunkan tujuan tersebut ke dalam langkah-langkah menuju cita-cita ideal yang lebih konkret.
”Kalau masing-masing calon membuat visi dan misi, lalu tujuan bernegara di dalam Pembukaan UUD 1945 mau dikemanakan? Yang perlu dilakukan calon adalah bagaimana menurunkan tujuan tersebut,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, Sabtu (30/9/2023) malam, dalam acara Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) di Batam, Kepulauan Riau.
Hadir dalam kesempatan tersebut Ketua APHTN-HAN Guntur Hamzah yang saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi, Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono, dan tokoh-tokoh lain.
Pada kesempatan tersebut, Saldi mengungkapkan sangat aneh dan menjadi berbahaya apabila setiap calon membuat visi-misi. Misalnya, tiap calon presiden membuat visi-misinya tersendiri, calon gubernur dan calon bupati/wali kota juga memiliki visi-misi berbeda. ”Makanya, kalau tidak sinkron di pemerintahan, wajar,” kata Saldi.
Bayu sepakat dengan gagasan Saldi. Menurut dia, yang dibutuhkan dari capres dan cawapres adalah program-program konkret yang dijabarkan dari Pembukaan UUD 1945. Untuk melaksanakan program itu, calon juga perlu menerangkan langkah-langkah yang akan ditempuh, termasuk menyebut secara jelas berapa banyak kementerian dan lembaga yang dibutuhkan.
Selama ini, penentuan nomenklatur kementerian dan lembaga dilakukan setelah pasangan calon sudah dinyatakan terpilih dan mengucapkan sumpah janji di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bayu mengusulkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden sebaiknya men-declare kabinet yang akan dibentuk sejak masa pencalonan. Dengan demikian, masyarakat bisa mengetahui apakah kabinet yang akan dibentuk mendatang terlalu gemuk ataukah langsing.
Kalau masing-masing calon membuat visi dan misi, lalu tujuan bernegara di dalam Pembukaan UUD 1945 mau dikemanakan? Yang perlu dilakukan calon adalah bagaimana menurunkan tujuan tersebut.
Adapun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara mengatur jumlah maksimal 34 kementerian.
Isu mengenai visi-misi capres yang harus mengacu pada Pembukaan UUD 1945 belum menjadi pembahasan dalam Konferensi Nasional APHTN-HAN. Konferensi ini membahas secara mendalam empat isu, yaitu penegakan hukum pemilu, penataan regulasi dan penataan kabinet pemerintahan, serta permasalahan kompetensi peradilan administratif di pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Hapus kementerian koordinator
Salah satu isu yang dibahas secara intens dalam APHTN-HAN kali ini adalah penataan kabinet pemerintahan. APHTN-HAN merekomendasikan agar pemerintah di masa mendatang menghapus kementerian koordinator.
Agus Riewanto dari APHTN-HAN mengungkapkan, penghapusan kementerian koordinator dimaksudkan untuk memperpendek dan mengefektifkan komunikasi serta kebijakan antara menteri dan presiden.
Ia juga mengkritisi UU Kementerian Negara dan perlunya penyesuaian susunan kabinet terhadap situasi saat ini dan di masa mendatang. Diharapkan jumlah kementerian bisa ditentukan oleh presiden berdasarkan visi-misi mereka dalam sistem presidensial.
’Selama ini undang-undang ini seolah-olah terlalu mengikat presiden sehingga tidak ada keluasan dalam menentukan jumlah kementerian. Padahal, itu perlu ada diadaptasi dengan kebutuhan masyarakat dan negara,” ujarnya.
Saldi menyebutkan, hingga saat ini belum ada kajian mendalam tentang penataan kabinet dalam sistem presidensial yang didasari data yang kuat mengenai berapa sebaiknya struktur kabinet yang ideal. Untuk kepentingan tersebut, ia menyarankan perlunya gabungan pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara untuk membuat kajian dengan data empirik yang kuat.
Hasil kajian tersebut nantinya dapat diusulkan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. ”Kita bisa tahu apakah mereka akan membentuk kabinet yang slim atau oversize,” ujar Saldi.
Menurut dia, apabila rakyat ingin mengetahui ke mana bangsa akan dibawa oleh pasangan capres/cawapres, hal yang dapat ditanyakan adalah bagaimana susunan kabinet yang akan digerakkan nantinya.