Korban Konflik Maluku Mengadu ke Komnas HAM Soal Ganti Rugi
Perwakilan korban konflik sosial di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 beraudiensi dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
KOMPAS/FAI
Sebuah feri baru saja tiba di Pelabuhan Hunimua, Maluku Tengah, Maluku, Kamis (22/6/2023). Kapal itu berangkat dari Pelabuhan Waipirit, Seram Bagian Barat, Maluku.
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan korban konflik sosial bernuansa agama di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Senin (25/9/2023). Mereka melakukan audiensi dengan komisioner Komnas HAM untuk membantu mendorong pemerintah segera membayar ganti rugi kepada 213.217 keluarga korban kerusuhan yang telah menunggu selama puluhan tahun.
Kuasa hukum korban konflik Maluku dan Maluku Utara, Hartawati, mengatakan, Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 318 Tahun 2011 menyatakan, pemerintah wajib membayar ganti rugi kepada korban konflik sosial bernuansa agama di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999. Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019.
Akan tetapi, hingga saat ini, pemerintah tidak kunjung melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Oleh karena itu, para korban meminta bantuan Komnas HAM memediasi pertemuan dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial.
”Kita akan menunggu informasi dari Komnas HAM terkait jadwal mediasi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Sosial,” ujar Hartawati di Jakarta.
Sebagai kuasa hukum korban konflik Maluku dan Maluku Utara, dia menginginkan ada kepastian secara hukum, bukan hanya putusan pengadilan di atas kertas. Artinya, ada kepastian dari pemerintah untuk melaksanakan putusan pengadilan, terutama tentang pembayaran ganti rugi agar bisa segera diterima oleh masyarakat korban.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Anggota Ombudsman RI, Jemsly Hutabarat, ketika memaparkan pandangannya saat Peringatan Hari Internasional Menentang Penyiksaan di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, Senin (26/6/2023).
Hartawati mengaku siap membantu pemerintah dengan menyiapkan data pendukung yang diperlukan untuk proses pencairan pembayaran ganti rugi. Menurut dia, masyarakat korban konflik memiliki hak atas pembayaran ganti rugi tersebut meski nilainya sebenarnya sudah tidak relevan dengan nilai keekonomian saat ini.
Dia mengatakan, kerusuhan atau konflik sosial yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mengakibatkan 213.217 keluarga kehilangan tempat tinggal serta harta benda. Mereka meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi atau eksodus di tiga wilayah, yakni Maluku sebanyak 91.193 keluarga.
Selain itu, ada yang mengungsi di Sulawesi Tenggara sebanyak 68.724 keluarga serta ke Maluku Utara sebanyak 53.300 keluarga. Adapun nilai ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pemerintah adalah Rp 18,5 juta per keluarga dengan rincian Rp 15 juta untuk bahan bangunan rumah ditambah uang tunai Rp 3,5 juta.
La Ode Arci mengatakan, akibat pecahnya konflik sosial di tempat asalnya di Maluku, dia dan keluarganya mengungsi di Sulawesi Tenggara sejak 2003. Pria yang akrab di sapa Arce ini bolak-balik datang ke Jakarta untuk menanyakan kepastian hukum dari putusan pengadilan tentang pembayaran ganti rugi warga korban konflik di Maluku tahun 1999.
”Kita ke sini untuk meminta kepastian hukum kenapa pemerintah belum juga membayar hak kita,” kata Arce saat ditemui di Kantor Komnas HAM.
FRANSISKUS PATI HERIN
Suasana bedah buku Merawat Perdamaian 20 Tahun Konflik Maluku di Kampus Universitas Pattimura, Ambon, Rabu (11/12/2019).
Dia menambahkan, perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai korban konflik sosial di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 sejatinya tidak sebanding dengan nilai ganti rugi yang akan dibayarkan oleh pemerintah. Besaran nilai ganti rugi yang hanya Rp 18,5 juta per keluarga itu sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini karena harga rumah dan tanah yang mereka tinggalkan jauh lebih tinggi.
Bahkan, nilai ganti rugi itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya operasionalisasi yang dikeluarkan oleh para korban konflik saat mereka mengajukan perkara gugatan masyarakat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu karena warga korban harus mengeluarkan biaya pembelian tiket pesawat untuk melakukan perjalanan dari Maluku ataupun Sulawesi Tenggara.
Sementara itu, komisioner Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, mengatakan, pihaknya telah menerima pengaduan dari korban eksodus warga Maluku yang didampingi oleh kuasa hukumnya. Pengaduan itu terkait eksekusi putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan class action mereka.
”Kuasa hukum (warga korban) meminta Komnas HAM untuk memediasi. (Menyikapi hal itu), kami, bidang pemantauan Komnas HAM, akan mengoordinasikan dengan bidang mediasi. Nanti, bidang mediasi yang akan menindaklanjutinya,” kata Uli Parulian Sihombing.