Rahmat Bagja: Mengawasi Pemilu Tanpa Pandang Bulu
Di tengah pemilu yang kompleks dan keterbatasan akses pengawasan, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja berkomitmen untuk menegakkan aturan pemilu tanpa pandang bulu. Apa saja upaya yang dilakukan untuk menjalankan komitmen itu?
Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu punya tugas besar memastikan Pemilihan Umum 2024 berlangsung demokratis. Sebagai badan yang diberi kewenangan mengawasi pemilu, Bawaslu harus memastikan pemilu berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tugas Bawaslu menjadi semakin berat karena di tengah kontestasi politik yang sangat kompetitif, para peserta pemilu cenderung menggunakan segala cara untuk menang, termasuk menerabas aturan yang berlaku.
Sejak jauh-jauh hari sebelum masa kampanye dimulai, para peserta pemilu sudah melancarkan berbagai upaya untuk menarik simpati massa. Tak hanya partai politik (parpol) yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu, upaya menarik dukungan pemilih juga sudah dilancarkan oleh para bakal calon anggota legislatif (caleg) dan bakal calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres).Tidak sedikit dari mereka yang terbukti melakukan pelanggaran telah mendapatkan sanksi dari Bawaslu.
Di tengah kerja-kerja Bawaslu dalam mengawasi tahapan Pemilu 2024, Kompas berkesempatan berbincang dengan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja pada Jumat (22/9/2023). Selama sekitar satu jam di Kantor Bawaslu, Jakarta, Bagja mengungkapkan sejumlah langkah untuk memastikan semua peserta pemilu berkontestasi sesuai aturan yang berlaku. Selain itu juga upaya yang disiapkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan semua tahapan Pemilu 2024 sesuai dengan prosedur, transparan, dan akuntabel.
Bagja menuturkan, durasi masa kampanye yang lebih singkat mengakibatkan situasi lima bulan menjelang pemungutan suara pada pemilu kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2024, masa sosialisasi berlangsung selama sekitar 11 bulan dan dilanjutkan dengan kampanye selama 75 hari. Padahal, pada Pemilu 2019, masa sosialisasi hanya sekitar satu bulan, sedangkan masa kampanye berlangsung selama sekitar tujuh bulan.
Durasi masa kampanye yang lama pada Pemilu 2019 membuat masyarakat merasakan keriuhan pesta demokrasi lima tahunan itu sejak tujuh bulan sebelum pemungutan suara. Peserta pemilu saling berlomba memengaruhi pemilih, baik melalui serangan darat dengan kampanye langsung menyapa pemilih maupun serangan udara melalui media sosial. Bagaimanapun, keriuhan itu juga membuat masyarakat menyadari akan digelarnya pemilu.
Berdasarkan pengalaman itulah, penyelenggara pemilu berupaya menciptakan suasana Pemilu 2024 sama dengan situasi pada Pemilu 2019, di tengah keterbatasan masa kampanye. Salah satu caranya adalah dengan mengatur masa sosialisasi. Setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu pada 14 Desember 2022, partai-partai politik diperbolehkan memperkenalkan diri kepada khalayak luas. Namun, syaratnya, tidak boleh ada unsur ajakan dalam sosialisasi. Selain itu, sosialisasi juga tidak boleh digelar di tempat ibadah.
Dalam pengawasan selama masa sosialisasi itu, Bawaslu sudah menemukan dugaan pelanggaran pemilu. Bawaslu juga menerima laporan dari masyarakat tentang adanya indikasi pelanggaran aturan pemilu. Tak hanya parpol, pelanggaran juga diindikasikan dilakukan oleh bakal caleg ataupun bakal capres dan cawapres.
Bagja menuturkan, belum lama ini Bawaslu menetapkan sejumlah kepala daerah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) melanggar Pasal 283 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Video mereka yang berisi ajakan untuk memilih Ganjar Pranowo, bakal capres dari PDI-P dan diunggah di media sosial PDI-P itu, memenuhi unsur pelanggaran seperti diatur dalam UU Pemilu. Bawaslu kemudian meminta Kementerian Dalam Negeri memberikan pembinaan kepada para kepala daerah tersebut.
Tidak hanya itu, Bawaslu juga telah memberikan imbauan kepada Ganjar dan bakal capres dari Koalisi Perubahan, Anies Rasyid Baswedan, untuk tidak melakukan politisasi identitas. Imbauan itu disampaikan kepada Ganjar setelah mantan Gubernur Jawa Tengah itu muncul dalam video azan di sebuah televisi nasional. Sementara Anies pada akhir tahun lalu mengadakan kegiatan sosialisasi di masjid.
Bawaslu terus mengingatkan para peserta pemilu untuk menahan diri, mengingat saat ini belum memasuki masa kampanye. Sesuai dengan jadwal dan tahapan yang telah ditetapkan KPU, masa kampanye baru dimulai pada 28 November 2023 dan berakhir tanggal 10 Februari 2024.
Bagja menegaskan, imbauan serta penindakan atas pelanggaran pemilu diberikan kepada semua pelanggar tanpa pandang bulu. Bagi Bawaslu, posisi semua parpol peserta pemilu sama. Bawaslu tidak mengenal dikotomi parpol pemerintah atau parpol nonpemerintah. Karena itu, Bawaslu tetap akan menindak semua parpol yang melanggar, tak terkecuali parpol yang berada di lingkaran kekuasaan.
”Dalam melakukan penindakan, Bawaslu tidak melihat asal partainya. Maka, banyak yang mempertanyakan kami, kok, yang ditindak hanya Ganjar dan Anies saja. Kalau Pak Prabowo melanggar, tentu kami akan mengatakan ini melanggar,” katanya.
Sebenarnya, menurut dia, Bawaslu kerap menghadapi tantangan ketika harus mengeluarkan keputusan yang tidak menguntungkan peserta pemilu. Namun, Bawaslu tetap harus tegas menindak pelanggar demi menjamin semua peserta pemilu mengikuti kontestasi sesuai aturan yang berlaku.
Dalam melakukan penindakan, Bawaslu tidak melihat asal partainya. Maka, banyak yang mempertanyakan kami, kok, yang ditindak hanya Ganjar dan Anies saja. Kalau Pak Prabowo melanggar, tentu kami akan mengatakan ini melanggar.
Ia mencontohkan, banyak risiko yang dihadapi Bawaslu ketika harus menjalankan fungsi pengawasan. Bawaslu di daerah, misalnya. ketakutan ketika harus memeriksa kepala daerah karena diduga melakukan pelanggaran pemilu. Mereka khawatir pemeriksaan tersebut berpengaruh pada proses perumusan hingga penetapan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pemilihan kepala daerah. Bahkan, mereka juga khawatir pemeriksaan terhadap kepala daerah itu akan menghambat pemberian hibah dari pemerintah daerah untuk Bawaslu.
”Makanya, saya sampaikan ke seluruh jajaran pengawas, kadang-kadang hidup kita sebagai pengawas pemilu mungkin tidak dalam tepukan. Kalau KPU berhasil, pasti ditepuk. Tapi, kalau tidak berhasil, yang pertama ditunjuk adalah Bawaslu. Kamu ngapain aja ngawasinnya, kok, KPU jadi begini. Tapi, kalau berhasil, KPU yang pertama kali mendapatkan tepukan,” tutur Bagja.
Politik uang dan hoaks
Selain potensi pelanggaran pemilu, lanjutnya, Bawaslu telah memetakan potensi kerawanan dengan membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). IKP yang menjadi peringatan dini bagi penyelenggaraan pemilu di daerah telah diluncurkan pada akhir 2022 lalu. Sementara IKP tematis yang menjadi isu-isu krusial pemilu baru mulai diluncurkan.
Ada lima isu krusial yang dipetakan dalam IKP tematik. Kelima tema itu adalah kerawanan pada politik uang; netralitas aparatur sipil negara; politisasi atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA; kampanye di media sosial; serta kerawanan pemilu di luar negeri.
Bagja mengatakan, potensi terjadinya politik uang di Pemilu 2024 sangat besar. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan politik bagi pemilih untuk menolak politik uang yang dilakukan oleh peserta pemilu. Pemilih harus diberikan edukasi dan pemahaman bahwa politik uang tidak baik untuk demokrasi sehingga harus ditolak. Akan lebih baik lagi jika masyarakat berani melaporkan pemberian uang dari peserta pemilu ke Bawaslu. Ini penting agar praktik yang merusak pemilu tersebut bisa dihentikan.
Ia menambahkan, politik uang merupakan pangkal dari tindakan koruptif. Sebab, setelah terpilih, baik pejabat eksekutif maupun legislatif cenderung berupaya mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan untuk menyuap pemilih.
Karena itu, Bawaslu berupaya memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menolak politik uang. Bukan ambil uangnya, lalu memilih sesuai hati nurani. Apalagi, baik pemberi maupun penerima politik uang bisa dijatuhi sanksi.
”Pertanyaannya, dari mana politik uangnya. Apakah bukan dari APBN? Apa bukan dari perizinan tambang, perizinan usaha, apakah dengan politik uang itu berasal dari sumber lain, bukan APBN? No way, nggak mungkin,” tuturnya.
Baca juga : Hasyim Asy’ari: Menjembatani Pemilih dengan Partai Politik
Di sisi lain, lanjutnya, hoaks dan disinformasi tetap menjadi ancaman serius di Pemilu 2024. Dalam Konsolidasi Nasional Bawaslu pada Desember 2022, Presiden Joko Widodo sampai meminta khusus kepada Bawaslu untuk mengawasi media sosial.
Menanggapi permintaan itu, Bawaslu kini menyiapkan sistem pengawasan media sosial. Tim siber untuk mendeteksi konten-konten hoaks dan disinformasi terus disiapkan agar media sosial tidak dipenuhi konten yang menyesatkan pemilih, apalagi sampai membuat masyarakat terbelah.
Bawaslu memprediksi, perang di media sosial akan semakin kencang setelah penetapan capres-cawapres 13 November mendatang. Untuk memitigasinya, Bawaslu telah berkoordinasi dengan platform media sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Direktorat Tindak Pidana Siber Polri. Bawaslu telah membuat nota kesepahaman dengan sejumlah platform media sosial untuk menghapus konten yang melanggar aturan kampanye.
Koordinasi dengan Kemenkominfo juga dilakukan agar konten-konten hoaks dan disinformasi dapat segera dihapus. Sebab, kewenangan untuk menurunkan konten ada di Kemenkomifo. Sementara Bawaslu menjadi pihak yang menentukan suatu konten melanggar aturan kampanye atau tidak. ”Kerja sama untuk men-take down konten dilakukan dengan tidak mengganggu kebebasan berpendapat dan berekspresi,” kata Bagja.
Sumber daya manusia
Untuk melakukan pengawasan pemilu yang sarat potensi masalah, Bawaslu juga telah mempersiapkan sumber daya manusia. Di satu sisi, Bawaslu sudah melantik 1.912 anggota Bawaslu di 514 kabupaten/kota serta memberikan pelatihan dan bimbingan teknis kepada para pengawas. Namun, di sisi lain, Bawaslu akan kehilangan kekuatan untuk melakukan pengawasan karena lebih dari 7.000 tenaga honorer akan diberhentikan akibat kebijakan penghapusan tenaga honorer. Jumlah itu setara dengan 50 persen personel Bawaslu.
Saat semua sumber daya dikerahkan untuk memastikan peserta pemilu berkontestasi sesuai regulasi, Bawaslu justru menghadapi tantangan dalam mengontrol kerja KPU. Bawaslu masih kesulitan mengawasi tahapan pencalonan anggota legislatif karena tidak mendapatkan akses untuk membuka dokumen yang diunggah dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon). KPU justru menutup akses Bawaslu terhadap dokumen pencalonan dengan dalih melindungi data pribadi.
”Tentu publik mengetahui bagaimana keberatan Bawaslu terhadap proses-proses sistem informasi yang dilakukan KPU, yang seharusnya transparan dan akuntabel, akhirnya malah tertutup,” ujarnya.
Bagja menuturkan, Bawaslu mendukung langkah KPU menggunakan sistem elektronik dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, sistem tersebut seharusnya membuat pelaksanaan tahapan semakin transparan dan akuntabel, bukan justru semakin tertutup. Sebab, ketertutupan itu membuat pengawasan sulit dilakukan. Padahal, Bawaslu bisa bersepakat mengenai sejauh mana data bisa diberikan dan siap dipidana jika terbukti membocorkan data pribadi bakal caleg yang digunakan untuk pengawasan.
Menurut dia, pembatasan akses dokumen pencalonan secara tidak langsung menutup pintu temuan pelanggaran dan laporan masyarakat. Informasi yang diberikan KPU sangat terbatas sehingga Bawaslu dan masyarakat kesulitan melacak latar belakang caleg.
”Pemilu 2019 dokumennya fisik terbuka dan kami masih bisa melakukan pengawasan. Tetapi, ketika menggunakan sistem informasi, justru tertutup. Kan, jadi masalah. Harus ditanyakan kepada KPU, apalagi anggota KPU yang pernah menjadi pengawas pemilu,” kata Bagja.
Oleh karena itu, lanjutnya, persoalan perdebatan tentang transparansi dan akuntabilitas penyelenggara pemilu seharusnya sudah selesai. Tidak ada lagi ego sektoral lembaga di tengah tantangan penyelenggaraan pemilu yang kompleks. KPU diminta memahami kewenangan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu agar sesuai prosedur. Jangan sampai penyelenggara satu sama lain tidak punya kesepahaman terhadap dokumen dan data agar bisa mewujudkan pemilu langsung, bersih, jujur, dan adil.
Baca juga : Tertarik Jadi Wakil Rakyat? Lewati Dulu Serangkaian Tes di Parpol
Ia berharap semua peserta pemilu mendapatkan kesempatan dan hak yang sama dalam mengikuti kontestasi. Partisipasi masyarakat juga mesti diperkuat dan difasilitasi oleh KPU. Dengan demikian, pemilu bisa menjadi pesta demokrasi yang menyenangkan. Apabila ada perdebatan antara Bawaslu dan KPU, hal itu biarlah diselesaikan melalui forum tripartit dan forum lain.
Dalam kesempatan itu, Bagja juga menyampaikan pesan yang dikutip dari Benjamin ”Ben” Parker atau Paman Ben dalam film Spiderman. Pesannya adalah, ”Ketika memiliki kewenangan yang besar, maka tanggung jawab juga akan semakin besar.”
Dengan kewenangan yang besar untuk mengawasi pemilu, Bawaslu memiliki tanggung jawab terhadap bangsa, negara, transparansi, akuntabilitas, dan prinsip-prinsip pemilu. ”Kami menginginkan pemilu yang transparan, akuntabel, dan berlangsung dengan gembira. Kehadiran Bawaslu untuk mengawasi tahapan pemilu sebagai badan pengawas pemilu, bukan menjadi badan pembuat waswas,” ujarnya.