Hilangkan Hak Politik Perempuan, Ketujuh Anggota KPU Dinilai Langgar Pedoman Perilaku
Para pengadu memohon ke DKPP untuk memutuskan ketujuh pimpinan KPU dinilai telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kode etik berat dan melanggar pedoman perilaku. Tindakan KPU itu membuat hilangnya hak politik perempuan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
KOMPAS/HIDAYAT SALAM
Ketua Majelis DKPP Ratna Dewi Pettalolo didampingi tiga anggota majelis, yakni I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, J Kristiadi, dan M Tio Aliansyah, saat sidang pembacaan pengaduan dan tanggapan dari teradu (KPU RI) di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jakarta, Jumat (22/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan ketujuh pimpinan Komisi Pemilihan Umum yang menyusun norma pembulatan desimal ke bawah dalam penghitungan keterwakilan calon legislatif perempuan dinilai telah melakukan pelanggaran serius, yakni prinsip mandiri, jujur, profesional, dan kepastian hukum yang tidak dipenuhi. Sebab, ketentuan tersebut mengakibatkan hilangnya hak politik perempuan.
Temuan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, aturan ini juga menyebabkan 17 partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen bakal caleg perempuan DPR di 290 daerah pemilihan pada tahapan penetapan daftar caleg sementara.
Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Muhammad Ihsan Maulana, dalam sidang pembacaan pengaduan dan tanggapan dari teradu (KPU RI) di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jakarta, Jumat (22/9/2023). Ketua KPU Hasyim Asy’ari beserta anggota KPU, yakni Idham Holik, August Mellaz, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Mochammad Afifuddin, hadir langsung di persidangan, sedangkan Betty Epsilon Idroos hadir melalui virtual.
Turut hadir para pengadu, yakni Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mikewati Vera Tangka, Ketua Yayasan Kalyanamitra Listyowati, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development Misthohizzaman, dan Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay. Sidang etik dipimpin oleh Ketua Majelis DKPP Ratna Dewi Pettalolo didampingi tiga anggota majelis, yakni I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, J Kristiadi, dan M Tio Aliansyah.
Temuan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, aturan ini juga menyebabkan 17 partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen bakal caleg perempuan DPR di 290 daerah pemilihan pada tahapan penetapan daftar caleg sementara.
Suasana sidang pembacaan pengaduan dan tanggapan dari teradu (KPU RI) di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jakarta, Jumat (22/9/2023).
Ihsan menjelaskan, KPU sampai saat ini juga belum melaksanakan Putusan Mahkamah Agung No 24 P/HUM/2023 yang memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU No 10/2023. Putusan MA memerintahkan agar KPU mengembalikan isi PKPU No 10/2023 kepada pembulatan ke atas supaya keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif sekurangnya 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil) dapat terpenuhi.
Sebelum adanya Putusan MA tersebut, lanjut Ihsan, pihaknya sudah meminta agar KPU segera merevisi Pasal 8 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Bahkan, KPU dinilai telah melakukan pembohongan publik karena pernah berjanji merevisi aturan itu. Namun, janji tersebut tidak pernah ditepati,
KPU menyampaikan dalam pernyataan publik akan melakukan revisi. Namun, setelah berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, pengubahan isi PKPU juga tak pernah dilaksanakan.
”KPU menyampaikan dalam pernyataan publik akan melakukan revisi. Namun, setelah berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, pengubahan isi PKPU juga tak pernah dilaksanakan,” katanya.
Dengan demikian, tindakan tujuh teradu ini dinilai melakukan pelanggaran serius, yakni prinsip mandiri, jujur, profesional, dan kepastian hukum yang tidak dipenuhi. Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan meminta tanggung jawab KPU secara etik untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu sehingga terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang inklusif, jujur, dan adil.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari (tengah) didampingi anggota KPU, August Mellaz (kiri) dan Yulianto Sudrajat, memberikan keterangan pers terkait dengan logistik Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Atas hal tersebut, pengadu memohon kepada DKPP berdasarkan kewenangannya untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut, yakni menyatakan ketujuh pimpinan KPU telah melakukan pelanggaran-pelanggaran kode etik berat dan telah melanggar pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada para teradu.
Bertentangan UU Pemilu
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Menurut Misthohizzaman, regulasi tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni pengaturan daftar bakal calon anggota legislatif pada setiap daerah pemilihan yang memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Regulasi itu juga inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi Pasal 28 h Ayat 2 UUD 1945, yang memberikan jaminan tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara.
Sebab, ketentuan itu berdampak terhadap pencalonan perempuan di ribuan daerah pemilihan yang tersebar di 38 provinsi. ”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan mendapat perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,” kata Misthohizzaman.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Kuasa hukum Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Haykal (ketiga dari kanan) memberikan surat pengaduan kepada staf Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Leon di Gedung DKPP, Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Hadar menyampaikan, akibat aturan tersebut, sebanyak 17 partai politik tidak bisa memenuhi kuota 30 persen bakal caleg DPR RI perempuan di 290 dapil pada tahapan penetapan daftar caleg sementara. Adapun di tingkat DPRD provinsi, sebanyak 860 dapil jumlah bakal caleg perempuannya tidak mencapai 30 persen serta pada DPRD kota/kabupaten ditemukan di 6.821 dapil. Data tersebut diperoleh dari laman resmi KPU RI.
Karena itu, KPU memutuskan metode perhitungan pembulatan ke atas dan ke bawah. Setiap kebijakan yang diatur pasti memiliki landasan yuridis yang jelas dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan serta berpedoman pada asas prinsip penyelenggara pemilu.
Tak eksplisit beri pengaturan teknis
Anggota KPU, Idham Holik, membantah Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 bertentangan dengan UU Pemilu. Sebab, UU Pemilu tidak mengatur metode perhitungan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Kebijakan pembulatan itu didasarkan karena UU Pemilu tidak secara eksplisit memberikan pengaturan teknis terkait dengan cara perhitungan pembulatan.
”Karena itu, KPU memutuskan metode perhitungan pembulatan ke atas dan ke bawah. Setiap kebijakan yang diatur pasti memiliki landasan yuridis yang jelas dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan serta berpedoman pada asas prinsip penyelenggara pemilu,” ujar Idham.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/9/2023).
August Mellaz juga membantah adanya ketidakmandirian dalam menyusun PKPU No 10/2023. Ia menegaskan, persetujuan dalam rapat konsultasi rancangan PKPU dengan DPR bukanlah bentuk ketidakmandirian. Karena kemandirian atau independensi tidak bisa dinilai dari KPU menerima atau tidak usulan dalam merancang kebijakan. Namun, harus dilihat dari proses pengambilan kebijakannya.
Hasyim Asy’ari menambahkan, secara pribadi dirinya tak pernah ada punya niat untuk berbohong kepada publik saat menyampaikan rencana perubahan PKPU No 10/2023. Ia mengatakan, adanya Putusan MA, KPU menjamin akan melaksanakan hasil putusan tersebut. Perubahan Pasal 8 Ayat 2 PKPU No 10/2023 itu masih dirumuskan dan tengah dikonsultasikan kepada lembaga pembentuk undang-undang.
Pihaknya meminta majelis hakim DKPP agar menyatakan tidak melanggar kode etik. ”Selanjutnya, nasib saya dalam putusan etik DKPP kami serahkan kepada majelis DKPP,” ujar Hasyim.
DKPP kemudian menutup sidang tersebut. Para pihak diberi waktu dua hari untuk memberikan tambahan keterangan ataupun kesimpulan dalam persoalan tersebut.