Mahkamah Konstitusi: SIM Tak Bisa Berlaku Seumur Hidup
MK menolak permohonan yang diajukan oleh Arifin Purwanto yang menguji Pasal 85 Ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal itu mengatur SIM berlaku lima tahun dan dapat diperpanjang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan, ketentuan perpanjangan masa berlaku surat izin mengemudi atau SIM setiap lima tahun di dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak bertentangan dengan konstitusi. Mekanisme evaluasi melalui penerbitan perpanjangan SIM diperlukan untuk menilai kecakapan seseorang dalam mengemudikan kendaraan bermotor.
Data menunjukkan, mayoritas (sekitar 79 persen) kecelakaan lalu lintas terjadi pada pengemudi yang tidak memiliki SIM. Oleh karena itu, pemberian SIM dan evaluasinya diharapkan dapat menurunkan tingkat kecelakaan di jalan raya.
Hal tersebut terungkap dalam putusan MK yang dibacakan pada Kamis (14/9/2023) dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman. MK menolak permohonan yang diajukan oleh Arifin Purwanto yang menguji Pasal 85 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal itu mengatur SIM berlaku lima tahun dan dapat diperpanjang.
Pemohon mendalilkan, apabila ketentuan SIM berlaku lima tahun dibatalkan, hal tersebut akan menguntungkan rakyat, di antaranya mengurangi biaya pengeluaran untuk memperpanjang masa berlaku SIM, uang bisa digunakan untuk keperluan lain seperti membiayai pendidikan, tidak stres apabila masa berlaku SIM akan habis, mengendarai kendaraan dengan lebih tenang karena tidak memikirkan perpanjangan SIM sehingga bisa mengurangi kecelakaan.
Negara juga diuntungkan apabila masa berlaku SIM lima tahunan dihapus. Pemohon mendalilkan, pemerintah dapat berhemat karena bisa mengurangi jumlah pegawai di kantor SIM, biaya perawatan kantor berkurang, dan hilangnya biaya cetak blanko dan material lainnya.
Dengan dasar tersebut, Arifin Nugroho meminta MK menghapus Pasal 85 Ayat (2) UU LLAJ dan meminta MK untuk menyatakan SIM berlaku seumur hidup, sama seperti Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el).
Namun, permohonan tersebut ditolak oleh MK. Saat membacakan pertimbangan putusan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, dokumen SIM dan KTP-el memiliki fungsi yang berbeda. KTP-el merupakan identitas kependudukan yang wajib dimiliki oleh penduduk berusia 17 tahun atau telah/pernah kawin. Masa berlaku KTP-el adalah seumur hidup karena dalam penggunaannya KTP-el tidak memerlukan evaluasi kompetensi pemiliknya. Penggantian atau pembaruan KTP-el hanya dilakukan apabila ada perubahan data, hilang, atau rusak.
Adapun SIM hanya diwajibkan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang untuk mendapatkannya harus melalui berbagai ujian, baik tes tertulis maupun praktik. Penggunaan SIM sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kompetensi seseorang yang erat kaitannya dengan keselamatan dalam berlalu lintas. Oleh karena itu, diperlukan proses evaluasi dalam penerbitannya.
”Oleh karena kedua dokumen tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda, maka tidak mungkin menyamakan sesuatu yang memang berbeda, termasuk terhadap jangka waktu pemberlakuannya,” kata Enny.
Selain itu, pembentuk undang-undang mengatur batas waktu lima tahun sebagai masa berlakunya SIM dengan maksud untuk menyediakan waktu bagi fase evaluasi dan pengawasan terhadap kondisi kesehatan jasmani/rohani, serta kompetensi atau keterampilan pengemudi.
Menurut MK, masa berlaku SIM lima tahun tersebut cukup beralasan (reasonable) untuk mengevaluasi perubahan yang terjadi pada pemegang SIM. Perubahan yang dimaksud bisa terjadi pada kemampuan penglihatan, pendengaran, fungsi gerak, kemampuan kognitif, psikomotorik, dan lainnya.
Mekanisme evaluasi dalam perpanjangan masa berlaku SIM, menurut Enny, juga merupakan upaya untuk membangun budaya tertib berlalu lintas. Hal ini diyakini dapat mengurangi angka kecelakaan yang saat ini didominasi (71-79 persen) oleh pengemudi yang tidak memiliki SIM. Adapun mayoritas pelaku kecelakaan ada pada rentang usia 22-29 tahun dengan persentase 17 persen hingga 20 persen.
”Oleh karena itu, evaluasi kompetensi melalui perpanjangan SIM sangat diperlukan karena merupakan salah satu faktor penurun tingkat fatalitas kecelakaan,” kata Enny.
MK juga meminta agar Kepolisian Negara RI untuk lebih intens dalam mengedukasi masyarakat agar menaati Pasal 77 UU No 22/2009 yang mewajibkan semua orang yang mengendarai kendaraan bermotor memiliki SIM. Edukasi tersebut perlu dilakukan terutama kepada anak-anak yang masih di bawah umur demi mengurangi potensi terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Tak lupa MK mengingatkan agar petugas yang memberikan layanan penerbitan SIM juga harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara professional dengan menjaga integritas dan memberikan layanan yang optimal. ”Bukan justru menjadikan evaluasi dimaksud sebagai formalitas dan untuk mencari pendapatan sebagaimana yang selama ini kerap dikeluhkan oleh sebagian masyarakat,” kata MK.