Saat Napi Kembali ke Kehidupan Semula
Bukan perkara mudah bagi narapidana kembali ke masyarakat setelah bertahun-tahun berada di dalam penjara. Stigma sebagai napi jadi salah satu ketakutan mereka untuk kembali ke lingkungan kehidupan sebelumnya.
"Oh kawan dengar lagu ini. Hidup di bui menyiksa diri. Jangan sampai kawan mengalami. Badan hidup terasa mati".
Demikian petikan syair lagu Hidup di Bui oleh D'Lloyd. Kiranya nyanyian lirih yang populer di tahun 1970 itu cukup menggambarkan kehidupan di dalam bui atau penjara di mana ruang gerak sehari-hari dibatasi oleh tembok dan jeruji besi, membuat dunia narapidana pun tak berkembang luas. Interaksi yang dijalani hanyalah dengan sesama narapidana dan juga petugas lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan.
Apabila berada di dalamnya selama lebih dari 10 tahun, untuk keluar dari lingkungan yang sudah digeluti selama itu pun akan menjadi tantangan tersendiri. Tentunya, tidak mudah.
Hari pertama keluar dari penjara, 21 Agustus lalu, ia merasa lingkungan di luar LP demikian ramai.
Baca juga: Para Narapidana Lahir Kembali di Hari Kemerdekaan
Ini setidaknya dialami oleh seorang klien Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Barat. Perempuan berusia 60 tahun yang tidak memberi izin kepada Kompas untuk menyebutkan nama dan perkaranya tersebut mengaku belum terbiasa dengan “dunia luar” yang disebutnya begitu ramai, bahkan setelah 2,5 pekan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Tangerang.
“Masih adjustment. Saya lama banget di dalam, 11 tahun (dari total masa pidana 20 tahun). Sampai mengalami enam atau tujuh kali ganti Kalapas,” kata nenek dua cucu tersebut.
Hari pertama keluar dari penjara, 21 Agustus lalu, ia merasa lingkungan di luar LP demikian ramai. “Kok ramai banget. (Ketika) di jalan pusing. Kayak jetlag bener, tapi lebih parah dari jetlag,” ungkapnya.
Takut distigma
Ia pun diajak makan bersama oleh keluarganya di salah satu mall yang ada di Jakarta. “Mau naik escalator saja pusing,” keluhnya.
Hingga seminggu berada di rumah, ia pun terus berusaha beradaptasi dengan keadaan baru. Selain mengendari mobil yang membuatnya pusing Ketika duduk di kursi depan, Perempuan berkulit putih tersebut juga masih berjuang untuk membiasakan menggunakan telepon genggam. Ia harus menyesuaikan dengan teknologi yang berkembang demikian pesat. Saat pertama kali, masuk ke penjara tahun 2012, telepon genggam yang ada Ketika itu belum secanggih saat ini.
“Yang lucu, saya kan pakai hp. Video call. Saya taruh di kuping. Teman saya yang menelepon bilang, kok saya lihatnya Cuma kuping kamu sama rambut,” kisahnya sambil mengungkapkan bahwa waktu dirinya masuk (penjara) belum ada video call seperti saat ini.
Baca juga: Wamenkumham RI Sebut Masalah Kelebihan Penghuni Diantisipasi UU Pemasyarakatan
Ia memang harus belajar dari awal kembali menggunakan sarana komunikasi. Selama di penjara, ia mengaku tak membawa ponsel sebab takut ketahuan yang nantinya justru membuatnya kehilangan hak untuk mendapatkan remisi atau pemotongan hukuman. Selain itu, ia tidak mau menyusahkan keluarga apabila harus mendapatkan masalah di penjara.
Dalam screening atau proses pemeriksaan terkait dengan kebutuhan reintegrasi yang dilakukan oleh petugas kemasyarakatan, Perempuan ini hanya menuliskan satu kata Ketika menjawab permasalahan yang dihadapi selepas memeroleh pembebasan bersyarat. Stigma. Ia khawatir, Ketika memulai hidupnya kembali ke Tengah komunitas, stigma sebagai narapidana melekat di dahinya. Ia takut orang-orang mengenali dirinya sebagai pelaku tindak pidana.
Selain stigma, hasil screening yang dilakukan oleh petugas kemasyarakatan menunjukkan, sulitnya mencari pekerjaan menjadi persoalan yang banyak dihadapi oleh para narapidana setelah keluar dari lapas dan rutan. Ada pula yang mengungkapkan tantangan yang dihadapi setelah keluar lapas/rutan adalah persoalan keluarga. Tidak sedikit yang mengeluhkan tentang munculnya masalah di dalam keluarga karena mendapatkan anggota keluarga seperti anak atau istri/suami/orang tua turut menanggung stigma Masyarakat.
Memberikan pendampingan
Terkait dengan persoalan-persoalan inilah, Bapas Kelas IA Jakarta Barat pada akhirnya mengumpulkan para napi penerima pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas untuk berbagi sekaligus mengatasi persoalan sedikit demi sedikit. Bapas Jakbar membuat program Orientasi Reintegrasi Sosial (Perintis) selama lima hari untuk mereka yang baru saja keluar penjara.
Adapun materi Perintis berbeda tiap hari. Hari pertama, penggalian potensi diri melalui analisis SWOT, yaitu dengan mengetahui kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang dihadapi selama menjalani program reintegrasi. Untukmembantu mencapai tujuan. Hari kedua, penggalian minat bakat klien pemasyaraatan agar bisa bekerja di bidang yang diminati.
Baca juga: Napi Lapas Kasongan Kendalikan Peredaran Sabu dari Aceh
Hari Ketiga, pembekalan rohani, kemudian dilanjutkan hari keempat screening kebutuhan reintegrasi di masyarakat. Screening kebutuhan tersebut terutama terkait dengan kelengkapan administarsi kependudukan, serta kebutuhan dasar pada aspek ekonomi sosial.
Setiap napi yang memperoleh pembebasan bersyarat atau sedang menjalani masa asimilasi harus lapor setiap satu bulan sekali.
Pada hari terakhir, petugas kemasyarakatan lebih focus pada pendampingan untuk keluarga atau wali dari para klien. Pihak keluarga diminta datang ke Bapas Jakarta Barat untuk membangun komitmen bersama dalam rangka mendukung program reintegrasi klien pemasyarakatan. Seperti diketahui, pihak keluarga tersebut merupakan penjamin untuk para napi tersebut agar tidak melarikan diri atau kembali berbuat pidana.
Kepala Bapas Kelas I Jakarta Barat, Sri Susilarti, mengungkapkan, fungsi Bapas adalah mengawasi narapidana yang sedang dalam proses integrasi dengan masyarakat. Mereka yang menjadi klien Bapas adalah napi-napi yang mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, dan asimilasi. Selama menjalani masa tersebut, mereka harus terus berkelakuan baik dan tidak boleh melakukan pelanggaran hukum. Apabila melanggar, mereka akan ditangkap kembali untuk diproses hukum untuk kasus barunya dan ditambahi dengan masa pidana tersisa yang harus kembali dijalani di dalam penjara.
Setiap napi yang memperoleh pembebasan bersyarat atau sedang menjalani masa asimilasi harus lapor setiap satu bulan sekali. Pada saat lapor tersebut, mereka juga akan ditanya mengenai kegiatan dan berbagai persoalan yang dihadapi.
Program Perintis dimaksudkan sebagai salah satu kegiatan untuk membantu klien untuk berkegiatan sesuai dengan bakat dan talentanya. Bagi mereka yang belum memiliki keahlian, Bapas juga menyelenggarakan pelatihan-pelatihan seperti ketrampilan menjadi barista, laundry sepatu, salon, dan lainnya.
“Setelah itu, kami akan ajukan ke Kementerian Sosial agar mendapatkan bantuan anggaran untuk membuka usaha. Dari 30 orang yang diajukan, sebanyak 13 orang mendapatkan bantuan,” ujar Sri.
Selain itu, Bapas Kelas I Jakbar juga memberdayakan tiga klien pemasyarakatan yang sudah dilatih menjadi barista. Ada kafe kecil yang bisa baru dibuka sejak Senin (4/9) lalu untuk melayani para pengunjung Bapas dan warga sekitar. Maklum, kantor Bapas berada di area pemukiman di Jalan Palmerah Barat V, Jakarta Barat.
“Untuk kafe ini, kita masih tes ombak. Skalanya masih kecil. Tapi nanti kita akan Kelola untuk melayani penjualan online. Harus terus bergerak,” kata Sri. Pada hari pertama dibuka, kafe Bapas telah memeroleh penghasilan sekitar Rp 250 ribu. Pada hari berikutnya, penghasilan meningkat menjadi Rp 500 ribu.
Tak hanya pelatihan keterampilan, bagi klien pemasyarakatan yang memiliki masalah perilaku (sesuai hasil screening) akan didampingi oleh ulama. Bapas bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama untuk menyelesaikan persoalan semacam ini.
Perlu dukungan
Namun hingga kini, menurut Direktur Program Center for Detention Studies, Gatot Goei, belum semua Bapas bisa memenuhi standarisasi kerja dan program inovasi pelayanan publik, meski sudah ada aturannya dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Gatot mengungkapkan, Bapas masih mengalami sejumlah kendala khususnya terkait keterbatasan sarana, anggaran, dan juga sumber daya manusia. Namun, di luar persoalan tersebut, saat ini yang paling penting sebenarnya adalah menambah jumlah pembimbing kemasyarakatan, khususnya untuk menyongsong Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Ada beban kerja baru yang harus dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas, yaitu melakukan pekerjaan penelitian kemasyarakatan (litmas).
Selain litmas, tugas Bapas adalah melakukan layanan pendampingan, layanan pembimbingan, dan layanan pengawasan. Litmas, contohnya, dilakukan terhadap klien dewasa dan anak. Dengan adanya KUHP, menurut Gatot, setidaknya dibutuhkan 6000 orang pembimbing kemasyarakatan. Padahal saat ini, baru ada sekitar 2800 pembimbing kemasyarakatan.
Agar kerja Bapas menjadi optimal dalam memberikan pendampingan bagi narapidana, tentunya dukungan yang dibutuhkan perlu mendapatkan perhatian pemerintah.