Upaya RI Memperluas Bantuan Hukum bagi Kelompok Rentan Diapresiasi
Indonesia memperoleh penghargaan sebagai Juara 1 Open Government Partnership (OGP) Awards 2023 untuk wilayah Asia Pasifik.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia memperoleh penghargaan juara 1 Open Government Partnership (OGP) Awards 2023 untuk wilayah Asia Pasifik. Penghargaan itu diraih karena pemerintah dinilai berkomitmen terhadap perluasan bantuan hukum bagi kelompok rentan di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang diterima Kompas, Rabu (6/9/2023) malam, penghargaan diterima dalam OGP Global Summit 2023 di Tallinn, Estonia. Indonesia diwakili oleh Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas) Bogat Widyatmoko, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Ekatjahjana, dan Direktur Eksekutif Indoensia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana.
Bogat Widyatmoko melalui keterangan resmi menuturkan, penghargaan itu merupakan salah satu wujud nyata Pemerintah Indonesia telah melaksanakan tujuan negara, yaitu melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia. Komitmen itu perlu terus diperkuat dan dikembangkan untuk menjamin hadirnya keterbukaan dan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia.
”Semoga setelah ajang penghargaan ini, Pemerintah Indonesia dan masyarakat sipil semakin berkomitmen untuk bekerja sama dan mewujudkan pelayanan publik yang lebih inklusif dan berkualitas bagi seluruh warga Indonesia,” ujar Bogat.
Saat menerima penghargaan OGP 2023, pemerintah dinilai telah memberikan jaminan bantuan hukum kepada masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Penyelenggaraan bantuan hukum diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan pendampingan dalam perkara litigasi maupun nonlitigasi.
Komitmen itu juga ditunjukkan melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang berkewajiban mendampingi penerima bantuan hukum untuk menghadapi proses hukum yang dimiliki. Biaya selama proses itu pun ditanggung oleh pemerintah.
”Sejak tahun 2013, jumlah penyelanggara bantuan hukum terus meningkat. Hingga saat ini berjumlah 619 OBH. Berdasarkan data penerima bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi 2016-2022 dari BPHN, komitmen itu pun telah membantu 94.633 masyarakat miskin. Dengan rincian 72.139 masyarakat miskin dengan proses litigasi, dan 22.494 masyarakat miskin dengan proses nonlitigasi,” imbuh Bogat.
Dengan manfaat yang tinggi itu, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan bantuan hukum yang tidak hanya terbatas bagi masyarakat miskin, tetapi juga kelompok rentan lainnya. Pada tahun 2022, misalnya, Kementerian Hukum dan HAM berkolaborasi dengan koalisi masyarakat sipil untuk keterbukaan pemerintah di sektor akses terhadap keadilan. Pemerintah berupaya menghadirkan manfaat bantuan hukum yang lebih luas berlandaskan kondisi dan kebutuhan hukum di lapangan melalui penyelenggaraan Survei Kebutuhan Hukum bagi kelompok rentan.
Sejak tahun 2013, jumlah penyelanggara bantuan hukum terus meningkat. Hingga saat ini berjumlah 619 OBH. Berdasarkan data penerima bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi 2016-2022 dari BPHN, komitmen itu telah membantu 94.633 masyarakat miskin
Dalam survei itu kemudian muncul beberapa rekomendasi di antaranya untuk menghadirkan bantuan hukum yang lebih inklusif melalui revisi Undang-undang Bantuan Hukum. Revisi UU itu diperlukan untuk memperluas kelompok yang dapat memperoleh manfaat bantuan hukum sehingga tidak hanya terbatas untuk masyarakat miskin, tetapi juga mengakomodasi kepentingan kelompok rentan lainnya.
Rekomendasi juga membahas tentang peningkatan jumlah anggaran bantuan hukum untuk menyelaraskan nilai anggaran untuk layanan nonlitigasi, biaya untuk prosedur perdata, dan administrasi. Selain itu, juga implementasi standar layanan bantuan hukum yang lebih luas. Dengan kolaborasi antara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Pemerintah di Sektor Akses terhadap Keadilan, ditingkatkan standardisasi pemberian bantuan hukum bagi kelompok rentan dengan membentuk Panduan Asistensi Penyusunan Standar Operasional (Stopela) Layanan Bantuan Hukum dan penguatan kapasitas organisasi bantuan hukum untuk pemberian layanan terhadap kelompok rentan.
OGP adalah inisiatif global yang digagas oleh Indonesia dan tujuh negara lainnya untuk mendorong terwujudnya nilai-nilai keterbukaan pemerintah, yaitu pemerintah yang transparan, partisipatif, akuntabel, dan inklusif. OGP didirikan sejak tahun 2011 dan memiliki 76 negara yang tergabung sebagai anggota. OGP mengarusutamakan keterbukaan pemerintah secara kolaboratif melalui proses kreasi bersama dengan masyarakat sipil. Penghargaan diumumkan setiap dua tahun sekali.
Baca juga: Kepercayaan Publik Jadi Kunci Pemerintahan yang Efektif
””Kali ini, Indonesia berhasil bersaing dengan delapan nomine lainnya dari wilayah Asia-Pasifik, termasuk Korea Selatan dan Filipina," kata Bogat.
Perlu koordinasi
Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Wicipto Setiadi mengapresiasi penghargaan yang diterima RI untuk program bantuan hukum gratis yang dilakukan. Wicipto merupakan Kepala BPHN pertama yang ikut membahas dan memperjuangkan UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum, serta melaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 2013.
Menurut dia, anggaran bantuan hukum yang diberikan pemerintah hingga saat ini masih belum seperti yang diharapkan. Anggaran itu tersebar di berbagai kementerian dan lembaga tertentu, misalnya Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, dan pengadilan/Mahkamah Agung.
”Akan sangat membantu kalau anggaran yang tersebar di kementerian dan Lembaga tersebut diintegrasikan. Waktu di BPHN, saya sudah mencoba mendiskusikan ini dengan Kementerian Keuangan, agar anggaran yang tersebar dimana-mana itu kalau boleh diintegrasikan ke anggaran bantuan hukum karena menyangkut orang miskin,” kata Wicipto.
Namun, upaya tersebut hingga kini belum berhasil. Anggaran itu masih ada di kementerian tertentu untuk membantu sumber daya manusianya yang terkena masalah.
Pada tahun 2023, pemerintah menganggarkan Rp 56,36 miliar untuk bantuan hukum gratis. Anggaran tersebut dimaksudkan untuk kegiatan litigasi Rp 47,87 miliar untuk membantu 5.984 orang dan nonlitigasi Rp 8,49 miliar untuk 796 kegiatan.
Selain anggaran kementerian dan lembaga, ia juga berharap agar ada koordinasi antara BPHN dan pemerintah daerah-pemerintah daerah yang turut menganggarkan bantuan hukum untuk masyarakat miskin. Ini untuk mencegah adanya dobel klaim anggaran yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum.
“Artinya perlu diawasi. Jangan dobel anggaran sehingga bantuan hukum tidak tepat tujuannya/sasarannya,” ujarnya.
Sebenarnya layanan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu tidak hanya dapat diakses oleh masyarakat melalui pemberian bantuan hukum gratis dari pemerintah ataupun BPHN. Pengadilan juga memberikan layanan serupa berupa layanan pembebasan biaya perkara, pos bantuan hukum di gedung pengadilan, sidang di luar gedung pengadilan untuk masyarakat yang memiliki hambatan sarana transportasi, serta sidang keliling.
Mengacu pada data Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2022, layanan pembebasan perkara diberikan di tiga lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum sebanyak 166 perkara, peradilan agama sebanyak 36.671 perkara, dan peradilan tata usaha negara diberikan untuk 13 perkara. Dengan demikian, pembebasan perkara sepanjang 2022 diberikan untuk 36.850 perkara.
Sementara itu, layanan posbakum diberikan untuk masyarakat yang tidak mampu membayar jasa konsultasi hukum. Layanan yang diberikan meliputi pemberian informasi, konsultasi, advis hukum, dan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan untuk penyelesaian perkara di pengadilan. Pengguna layanan ini meningkat dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2022, sebanyak 111.368 perkara menggunakan jasa posbakum di peradilan umum, 372.834 perkara di peradilan agama, serta 1.790 perkara di peradilan tata usaha negara.
Baca juga: Libatkan Peran Masyarakat, Pelayanan Publik Dilengkapi Pengaduan
Bantuan berupa kemudahan akses untuk masyarakat yang kesulitan mencapai lokasi pengadilan diberikan sepanjang tahun lalu oleh peradilan umum sebanyak 1.059 sidang, peradilan agama 56.039 sidang, dan peradilan militer 438 sidang. Selain itu, pengadilan juga memberikan layanan terpadu sidang keliling dengan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Agama, dan Kantor Urusan Agama. Pengadilan agama/mahkamah syariah pada tahun 2022 telah memberikan layanan sebanyak 11.543 perkara.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan, prestasi itu adalah hasil kerja keras, dorongan, dan paksaan dari masyarakat sipil. Namun, sayangnya, regulasi itu saat ini sudah tidak relevan lagi dan membutuhkan revisi. Sampai saat ini, revisi itu belum terlaksana karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional. Jika pemerintah ingin memperbaiki aspek yang bolong-bolong itu sebaiknya UU tentang Bantuan Hukum perlu diprioritaskan.
”Kalau ko-kolaborasi masyarakat sipil dan pemerintah dinilai bagus, sebaiknya pemerintah lebih banyak mendengarkan masukan dari masyarakat sipil. Kepentingan masyarakat sipil harus lebih banyak diakomodasi,” katanya.
Isnur juga menyoroti soal masih kecilnya dana anggaran untuk bantuan hukum bagi kelompok rentan. Se-Indonesia, nilai anggaran bantuan hukum hanya senilai Rp 56 miliar. Jika dibandingkan dana kepolisian yang mencapai Rp 106 triliun, nilainya masih cenderung kecil. Ini hanya mencukupi 10 persen dibandingkan dengan kebutuhan riil untuk kelompok rentan. Jika anggaran ini bisa ditingkatkan, tentu bisa membantu lebih banyak kelompok rentan seperti perempuan, dan anak.
”Selama ini yang lebih banyak dibantu adalah kelompok miskin. Itu pun anggarannya Rp 8 juta per kasus sehingga kecil sekali untuk organisasi bantuan hukum (OBH). Ini harus lebih ditingkatkan ke depannya," kata Isnur.