Pemulangan Perempuan dan Anak Terasosiasi Teroris Masih Jadi Perdebatan
Hingga saat ini masih muncul pro dan kontra terkait pemulangan ratusan perempuan dan anak terasosiasi teroris di luar negeri.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulangan perempuan dan anak warga negara Indonesia yang terasosiasi dengan kelompok teroris di luar negeri atau foreign terrorist fighter masih menjadi perdebatan. Pro dan kontra masih terjadi, terutama terkait dengan aspek hukum, proses deradikalisasi, serta kemauan politik.
”Hingga saat ini masih terus muncul pro dan kontra terkait pemulangan atau repatriasi perempuan dan anak terasosiasi FTF (foreign terrorist fighter),” kata psikolog forensik, Zora A Sukardi, dalam diskusi tentang ”Repatriasi dan Penanganan Perempuan dan Anak Terasosiasi Jaringan Foreign Terrorist Fighter (FTF)” yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) secara daring dan luring, Selasa (5/9/2023).
Padahal, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), terdapat sekitar 300 WNI perempuan dan anak yang berada di kamp-kamp di wilayah Suriah dan Irak. Mereka terdiri dari 181 perempuan dan 145 anak.
”Apakah kita mau pulangkan atau biarkan? Kalau kontranya mereka dianggap virus. Seorang yang sudah terekspos dunia perang, kalau pulang apa efeknya? Kita di dalam negeri saja pendidikan Pancasilanya belum optimal. Tapi dari yang pro, kita tidak bisa membuat orang itu menjadi stateless atau tanpa kewarganegaraan,” kata Zora.
Menurut Zora, beberapa hal yang diperdebatkan adalah terkait status hukum perempuan dan anak apakah sebagai pelaku atau korban. Dari perdebatan selama ini, semua sepakat bahwa anak diidentifikasi sebagai korban. Namun, tidak semua pihak mendukung perempuan ditempatkan sebagai korban karena mereka memiliki daya untuk mengatakan tidak.
Selama ini, menurut Zora, kelompok masyarakat sipil yang bergerak di dunia terorisme selalu optimistis bahwa mereka memiliki kapasitas untuk bisa menerima, menampung, dan memberdayakan perempuan dan anak yang terasosiasi FTF.
”Aspek berikutnya adalah aspek keamanan itu sendiri. Orang yang hidup di sana hidup di bawah naungan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS). Doktrin mereka berkembang di dalam hidup keseharian sehingga habitus yang muncul akan memengaruhi pikiran yang bersangkutan,” terang Didik.
Terlepas dari perdebatan itu, lanjut Zora, kemauan politik sangat penting terkait masalah perempuan dan anak yang terasosiasi FTF tersebut. Jika memang memutuskan memulangkan mereka, harus disiapkan mekanisme penilaian risiko, melakukan rehabilitasi dan deradikalisasi, serta membuat tempat penampungan bagi mereka.
Kepala Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI Muhammad Syauqillah mengatakan, kerentanan yang dihadapi Indonesia FTF adalah masih adanya aliran dana dari Indonesia ke mereka yang berada di Suriah. Selain itu, hingga saat ini masih terdapat jalur tradisional di perbatasan Turki denga Suriah yang memungkinkan FTF keluar dan masuk. Hal itu turut membuka kemungkinan peluang bagi mereka untuk kembali ke Indonesia karena memiliki uang.
”Mitigasi apa yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia, baik yang berkenaan dengan perempuan maupun anak, tapi juga yang dewasa. Kalau pemerintah saat ini tidak mampu memutuskan, setidaknya melakukan asesmen,” kata Syauqillah.
Beberapa hal yang diperdebatkan adalah terkait status hukum perempuan dan anak apakah sebagai pelaku atau korban. Dari perdebatan selama ini, semua sepakat anak diidentifikasi sebagai korban.
Pada kesempatan itu, Kepala Satuan Tugas FTF BNPT Komisaris Besar Didik Novi Rahmanto menyampaikan adanya beberapa masalah terkait repatriasi perempuan dan anak yang terasosiasi FTF. Dari aspek hukum, mereka tetap masuk kategori melanggar pidana menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena pada prinsipnya mereka adalah orang yang terasosiasi.
Namun, ketika mereka dipulangkan dan kemudian dilakukan proses penegakan hukum di Indonesia, aparat penegak hukum memerlukan barang bukti yang kuat. Dari aspek politik, terdapat pihak yang kontra yang beralasan bahwa kepergian mereka ke luar negeri merupakan kehendak sendiri. Dengan demikian, mereka tidak perlu dipulangkan karena tidak ada alasan untuk itu.
Meski demikian, dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor 90 Tahun 2023 tentang Satgas Pengamanan Penanggulangan WNI di Luar Negeri, Satgas FTF dapat mengambil langkah untuk mempersiapkan jika nantinya Pemerintah Indonesia memutuskan memulangkan mereka. Sebab, terdapat tekanan internasional yang cukup kuat dari dunia internasional agar Indonesia melakukan repatriasi.
Pada kesempatan itu, Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden Sri Yunanto berpandangan, selain mempelajari pro dan kontra yang muncul, perlu dikaji pula tentang keuntungan dan kerugian dilakukannya repatriasi atau tidak dilakukannya repatriasi. Jika salah satu kerugiannya adalah Indonesia mendapat sanksi dari dunia internasional, hal itu perlu diterangkan sampai konkret sebagai pertimbangan kepada pemerintah.