Siapa Berhak Persoalkan Masa Jabatan Ketua Umum Partai?
Upaya anak-anak muda mengusulkan agar ada regulasi yang mengatur pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik kandas. Semua permohonan agar ada norma pembatasan masa jabatan ketua umum parpol ditolak MK.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
Beberapa waktu lalu, sekumpulan anak muda mencoba peruntungan untuk mempersoalkan pembatasan masa jabatanketua umum partai politik di negeri ini yang belum pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Mereka datang dari berbagai wilayah di Indonesia dan berasal dari beragam profesi.
Ada mahasiswa, ada pula karyawan swasta. Beragam pula status mereka di hadapan partai. Ada yang baru ingin masuk partai (perkara nomor 69/PUU-XXI/2023), ada yang baru saja mendaftarkan diri sebagai anggota partai yang ditunjukkan dengan kartu anggota (perkara nomor 77/2023), dan ada pula yang belum bisa menunjukkan kartu keanggotaan partai, tetapi pernah terlibat dalam kegiatan kepartaian (perkara nomor 69/2023).
Dari dua perkara yang diamati, seluruh upaya mengusulkan pembatasan masa jabatan ketua umum parpol tersebut kandas, bahkan terhenti di tahap awal karena dinilai tak memiliki kapasitas untuk mempersoalkan masa jabatan pimpinan/pengurus parpol. Perkara yang mereka ajukan mentok pada sidang kedua dan tidak sampai masuk fase pembuktian pokok perkara.
Pada Rabu (30/8/2023), MK menyatakan permohonan Risky Kurniawan, mahasiswa dari Kepulauan Riau, yang menyoal UU Parpol tidak dapat diterima. Risky adalah anggota Partai Golkar sejak 30 Juni 2023 atau sembilan hari sebelum mendaftarkan permohonan pengujian pembatasan masa jabatan ketua umum partai. Ia mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) Huruf b UU Parpol.
Dalam permohonannya, Risky meminta MK untuk menafsirkan pasal tersebut dengan menambahkan norma pembatasan masa jabatan ketua umum parpol. Ia merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas pemberlakuan pasal itu karena menghalangi kesempatannya menjadi pengurus/ketua umum Partai Golkar ketika tiba waktunya ia menargetkan posisi tersebut.
Selama ini memang ada sejumlah ketua umum partai yang menjabat terlalu lama. Ia mencontohkan, Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan sejak 1999 hingga saat ini, Muhaimin Iskandar menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sejak 2005, dan Yusril Ihza Mahendra yang menjabat Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) periode 1998-2005, lalu 2015 hingga saat ini.
Meski banyak dalil yang diungkapkan, MK menilai permohonan Risky tersebut tidak jelas atau kabur (obscuur libel). Sebab, ia mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) Huruf b UU Parpol yang merupakan bagian dari Bab II Pembentukan Partai Politik. Pasal tersebut mengatur tentang larangan rangkap jabatan bagi pendiri dan pengurus partai sebagai anggota partai lain. Karena itu, MK menilai, tidak tepat apabila mengaitkan pasal itu dengan permasalahan masa jabatan ketua umum parpol.
Menurut MK, Risky seharusnya menguji norma di Bab X tentang Kepengurusan dalam UU Parpol, bukan Bab II tentang Pembentukan Partai Politik. ”Dengan demikian, pasal yang dimohonkan pengujiannya menjadi tidak tepat sehingga mengakibatkan petitum yang dimohonkan juga menjadi tidak jelas,” kata MK dalam pertimbangannya.
Batasi penguji
Apabila permohonan yang disampaikan tidak kabur, Risky pun belum tentu memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mempermasalahkan masa jabatan ketua umum parpol. Sebab, MK telah membatasi secara spesifik pihak-pihak yang dapat menguji persoalan tersebut. Ini termaktub dalam putusan MK No 69/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 31 Juli 2023.
Perkara tersebut diajukan oleh Eliadi Hulu dan Saiful Salim, anggota Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi); Andreas Laurencius (dokter yang pernah terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana Partai Golkar); dan Daniel Heri Pasaribu (anggota Partai Nasdem).
Sebagai infrastruktur politik, parpol mutlak memiliki kedaulatan. UU Parpol mengatur bahwa parpol memiliki anggaran dasar yang berfungsi sebagai konstitusi partai yang penjabarannya lebih jauh dilakukan di dalam anggaran rumah tangga partai.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Eliadi dan Saiful tidak memiliki kualifikasi untuk menguji norma masa jabatan ketua umum partai. Keduanya tidak dapat membuktikan causaal verband atau hubungan sebab akibat antara norma yang diuji dan potensi kerugian hak konstitusional.
MK juga menilai Andreas tidak punya kedudukan hukum untuk menguji UU Parpol. Sebab, MK tidak mendapatkan keyakinan bahwa yang bersangkutan adalah anggota parpol.
Lantas, apakah pemohon keempat yang merupakan anggota Partai Nasdem lolos dari ketatnya MK menyaring kedudukan hukum para pemohon uji materi? Ternyata tidak juga. Memang benar bahwa Daniel adalah anggota Partai Nasdem. Namun, yang bersangkutan tetap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mempersoalkan norma jabatan ketua umum parpol. Salah satu alasannya adalah pemohon tidak pernah menggunakan haknya untuk menyalurkan aspirasi untuk membatasi masa jabatan ketua umum kepada internal parpolnya dalam forum musyawarah nasional atau sebutan lainnya.
Salah satu hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, mengajukan alasan berbeda atau concurring opinion berkaitan dengan jabatan ketua umum parpol. Menurut Arief, sebagai infrastruktur politik, parpol mutlak memiliki kedaulatan. UU Parpol mengatur bahwa parpol memiliki anggaran dasar yang berfungsi sebagai konstitusi partai yang penjabarannya lebih jauh dilakukan di dalam anggaran rumah tangga partai.
”Dari ketentuan ini menjadi jelas bahwa AD berfungsi sebagai konstitusi bagi partai politik yang mengatur rules of the games dan prinsip-prinsip organisasi yang bersifat mendasar dari suatu partai politik, sedangkan ART berfungsi layaknya undang-undang yang merupakan penjabaran dari AD,” kata Arief.
Dengan demikian, pengaturan masa jabatan ketua umum partai merupakan domain dari partai politik itu sendiri untuk menentukannya. Mengatur masa jabatan ketua umum partai politik secara langsung atau tidak langsung telah berpretensi mereduksi daulat partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi.
Meskipun permohonan para pemuda itu kandas, setidaknya mereka berhasil menguak pendapat salah satu hakim MK tentang masa jabatan ketua umum partai politik. Juga menjadi terang siapa yang memiliki kedudukan hukum untuk mempersoalkan hal tersebut, yaitu anggota/pengurus partai yang telah memperjuangkan masalah masa jabatan ketua umum partai di internal partainya sendiri.