Soal Ada Bakal Caleg Bekas Terpidana Kasus Korupsi, Parpol Serahkan ke Rakyat
Sejumlah elite partai politik menekankan tidak menyoal bahwa ada sejumlah bakal caleg DPR yang mereka calonkan merupakan bekas terpidana kasus korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik pengusung bakal calon anggota legislatif berlatar belakang bekas terpidana kasus tidak mempersoalkan status bakal calon anggota legislatif mereka tersebut. Bagi partai, mereka kini telah memiliki hak politik yang sama dengan masyarakat lainnya seusai menjalani masa hukuman. Partai juga meyakini masyarakat sudah cerdas dalam memilih calon yang dianggap bisa mewakili suara mereka di parlemen nanti.
Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada sembilan nama mantan terpidana (napi) korupsi yang akan ikut Pemilihan Legislatif 2024 tingkat nasional atau DPR. Data ini bersumber dari daftar calon sementara (DCS) bakal calon anggota legislatif (caleg) yang dipublikasikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Sembilan nama itu berasal dari Partai Nasdem (5 orang), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (2 orang), Partai Golkar (1 orang), dan Partai Kebangkitan Bangsa (1 orang).
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Pemenangan Pemilu Partai Nasdem Effendi Choirie saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/7/2023), mengatakan, secara legal formal mantan napi korupsi boleh mecalonkan diri dalam pemilihan anggota legislatif. Namun, secara moral, ia menyadari, sebenarnya Nasdem menginginkan caleg yang maju ialah mereka yang mempunyai rekam jejak bersih.
”Periode ke depan, saya kira kita harus sama-sama komitmen. Sama-sama memiliki semangat yang sama bahwa calon-calon pemimpin ke depan harus bersih, tidak ada problem hukum, tidak ada problem (rekam) jejak yang buruk sehingga Indonesia dipimpin oleh orang yang baik,” tutur Choirie.
Ia melihat KPU sudah membuka data bakal caleg. Persoalan bakal caleg mantan napi korupsi bukan urusan KPU. Sebab, KPU hanya menerima data bakal caleg yang direkrut partai. ”Semua (bakal caleg) yang direkrut pasti secara hukum diperbolehkan menurut hukum. Secara moral boleh jadi dipertanyakan karena punya rekam jejak korupsi dan segala macam, pernah masuk penjara. Namun, mereka secara hukum telah selesai. Kan ada hak politiknya dicabut. Kalau dirinya daftar dan diterima berarti dia sudah punya hak politik,” kata Choirie.
Choirie juga mengakui, ada bakal caleg dari Nasdem yang merupakan mantan napi korupsi. Terkait itu, ia menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat dalam memilih. Ia pun meyakini, dalam menentukan pilihannya, rakyat akan mempertimbangkan rekam jejak setiap caleg, calon presiden, dan calon wakil presiden.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Golkar Lodewijk Freidrich Paulus berpandangan, konstitusi dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia telah menjamin setiap orang berhak dipilih dan memilih. Untuk itu, menurutnya, jika ada mantan napi korupsi yang ingin maju kontestasi, itu merupakan bagian dari hak asasi manusia.
”Nah, ada hak asasi manusia juga di situ. Ya, kita gimana, ya, mereka katakan sudah segala aturan mereka sudah penuhi,” ucap Lodewijk.
Golkar pada prinsipnya merupakan partai yang terbuka bagi siapapun. Meski demikian, Golkar juga senantiasa mengingatkan kepada para kadernya untuk tidak melanggar hukum. “Tetapi sekali lagi, mereka punya hak sebagai warga negara,” tuturnya.
Ia mempersilakan KPU jika ingin menyampaikan secara terbuka ke publik terkait status bakal caleg mantan napi korupsi itu. Menurut dia, masyarakat sudah semakin cerdas dalam memilih sehingga tidak bisa dibawa ke kampanye hitam.
“Masyarakat kita, kan, sudah makin pinter. Gitu lho, sudah semakin dewasa, ya itu saja. Masyarakat bisa memilih yang baik, sudah tahulah masyarakat, masak masyarakat kita masih terbelakang terus,” ujar Lodewijk.
Pertimbangan matang
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P telah menyeleksi dan mempertimbangkan secara seksama dan sangat matang terkait bakal caleg yang m didaftarkan ke KPU. Ia menyebut, sebelum partainya mengajukan seorang mantan napi korupsi menjadi bakal caleg, partai telah menerima surat rekomendasi dari beberapa pihak yang menunjukkan bakal calon tersebut telah memiliki suatu iktikad baik.
Menurut Hasto, dua bakal caleg mantan napi korupsi yang didaftarkan ke KPU, juga telah membuktikan iktikad baik dengan menjalankan berbagai tuntutan hukumnya. “Mereka yang memang di masa lalu punya persoalan dengan hukum itu dengan menjalani tindak keputusan dari pidana tersebut itu oleh lembaga pemasyarakatan, kan juga diminta dan diproses menjadi rakyat Indonesia yang baik, yang sadar hukum,” katanya.
Ia mencontohkan Rokhmin Dahuri yang sempat tersangkut kasus korupsi dana nonbujeter Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia menyebut, kala itu, penetapan Rokhmin Dahuri sebagai tersangka korupsi tidak bisa terlepas dari aspek politik. Rokhmin Dahuri pun, lanjut Hasto, sudah dimintai klarifikasi oleh PDI-P. Hasto menilai bakal caleg dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat II itu masih sangat diperlukan kontribusinya berkaitan dengan kemaritiman.
“Kami telah melihat jati dirinya Prof Rokhmin menjadi seorang pemimpin yang baik yang turun ke bawah dan prosesnya sudah berlangsung sejak lama. Kami melakukan survei ke Prof Rokhmin, kepemimpinan intelektual diterima dan memberikan sumbangsih di dalam kemajuan di dalam blue economy untuk masa depan,” kata Hasto.
Mengumumkan ke publik
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat ditemui seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen mengatakan, undang-undang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih, tetapi ada batasannya, yakni tidak dipidana lima tahun atau lebih dan tidak sedang menjalani hukuman pidana. Selain itu, caleg tersebut juga harus mengumumkan bahwa dia pernah menjadi narapidana.
“Dia (caleg) juga memberikan pernyataan kepada masyarakat bahwa dia pernah berkasus, kasus apa, perkara apa, dan hukum berapa tahun. Dan ini penting, pentingnya adalah supaya rakyat paham oh ternyata dia pernah menjadi narapidana,” kata Firli.
Ia menambahkan, rakyat yang akan menentukan apakah tetap memilih caleg tersebut atau tidak. Menurut Firli, ketika proses hukum caleg tersebut sudah selesai, maka dia memiliki hak untuk dipilih maupun memilih dengan batasan sesuai ketentuan undang-undang. Firli menegaskan, persoalan bakal caleg mantan narapidana kasus korupsi ini sudah dikomunikasikan ke KPU.