Laksanakan Putusan MA, KPU Diminta Segera Revisi PKPU Pencalonan Anggota Legislatif
KPU diminta segera mengubah PKPU Nomor 10 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut dari putusan MA yang membatalkan aturan penghitungan keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar caleg.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Perwakilan Institut Perempuan, Valentina Sagala (ketiga dari kiri), memberikan pernyataan sikap mengenai penolakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Pasal 8 didampingi para peserta aksi di kompleks Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat, Senin (8/4/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Anggota Legislatif perlu segera direvisi menyusul adanya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan metode penghitungan keterwakilan 30 persen calon anggota legislatif perempuan yang diatur dalam regulasi itu. Komisi Pemilihan Umum harus memberikan waktu yang cukup bagi partai-partai politik peserta Pemilu 2024 untuk mengubah komposisi bakal calon anggota legislatif agar dapat memenuhi keterwakilan perempuan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada 29 Agustus 2023, Mahkamah Agung mengabulkan seluruh permohonan pengujian Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal tersebut mengatur cara penghitungan 30 persen jumlah bakal calon anggota legislatif perempuan di setiap daerah pemilih (dapil).
Apabila penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Apabila penghitungannya menghasilkan angka pecahan 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
MA membatalkan norma tersebut karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita. Dengan demikian, norma tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai penghitungan 30 persen persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan dilakukan pembulatan ke atas.
Pemohon uji materi, Titi Anggraini, mengatakan, putusan MA tersebut tetap perlu ditindaklanjuti dengan Perubahan PKPU No 10/2023 sebagaimana dahulu pernah terjadi di Pemilu 2019. Kala itu, ada pasal terkait pelarangan pencalonan mantan terpidana korupsi di PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dibatalkan oleh MA yang kemudian diikuti dengan menerbitkan PKPU Nomor 31 Tahun 2018 sebagai bentuk revisinya.
”Saat itu, KPU tidak membutuhkan waktu lama untuk merevisi PKPU No 20/2018 dan bisa langsung dioperasionalisasikan. KPU mengatur teknis bagaimana mantan terpidana korupsi diakomodir dalam daftar calon yang sedang berproses,” katanya di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Terkait putusan MA No.24/P/HUM/2023, lanjut Titi, sejatinya KPU tidak butuh waktu lama untuk menindaklanjutinya. Sebab, pengaturannya tidak jauh berbeda dengan pemilu terdahulu dari sisi administratif. KPU bahkan sudah menyusun draf revisi yang mengatur pembulatan ke atas, tetapi batal dilakukan karena ada penolakan dari Komisi II DPR.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
”Hanya saja, KPU perlu mengatur alur proses dan kerangka waktunya sehingga sejalan dengan tenggat penetapan DCT pada 3 November 2023. Tidak boleh ada dalih dari KPU untuk memperlama atau mengulur-ulur revisi PKPU,” ujarnya.
Menurut Titi, situasi hari ini yang memunculkan perubahan aturan di tengah jalan turut diikontribusikan oleh ketidakprofesionalan dan pelanggaran atas norma undang-undang yang dilakukan KPU. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi pelanggaran yang lain dalam menindaklanjuti putusan MA itu. Sebab, kredibilitas KPU dan kepercayaan publik, terutama kelompok perempuan menjadi taruhannya.
”Kekecewaan mereka sudah banyak selama ini, jangan dilukai kembali saat tindak lanjut putusan MA,” ucap Titi yang merupakan dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia ini.
KPU perlu mengatur alur proses dan kerangka waktunya sehingga sejalan dengan tenggat penetapan DCT pada 3 November 2023. Tidak boleh ada dalih dari KPU untuk memperlama atau mengulur-ulur revisi PKPU.
Pemohon uji materi, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, putusan MA tersebut menunjukkan bahwa KPU telah melakukan kekeliruan yang mendasar dalam mengatur cara penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap dapil. Di sisi lain, MA mampu menangkap maksud dari politik afirmasi kepada perempuan di undang-undang pemilu.
”Putusan ini sangat positif dan mengembalikan politik afirmasi terhadap perempuan di pemilu. Semua pihak, mulai dari KPU dan partai politik harus melaksanakan putusan MA,” ujarnya.
Hadar yang juga Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) menilai, masih cukup waktu bagi KPU untuk segera merevisi aturan di PKPU No 10/2023 yang mengatur cara penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap dapil. Sebab, di tahapan pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, masih ada dua sub-tahapan yang bisa digunakan parpol untuk mengubah komposisi daftar bakal caleg.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Direktur Eksekutif Netgrit Hadar Nafis Gumay (62) saat menyelesaikan rute bersepeda di Kilometer Nol, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (19/6/2022).
Kedua tahapan tersebut, yakni pengajuan pengganti calon sementara anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pasca-masukan dan tanggapan masyarakat atas daftar calon sementara (DCS) yang akan berlangsung pada 14-20 September. Selain itu, parpol masih bisa mengganti bakal caleg saat pencermatan rancangan daftar calon tetap (DCT) pada 24 September hingga 3 Oktober.
”KPU bisa memberikan waktu bagi parpol untuk melakukan perbaikan bakal caleg di sub-tahapan tersebut sehingga implementasi putusan MA tidak akan mengganggu tahapan pencalonan anggota legislatif yang sedang berjalan,” kata Hadar.
Berdasarkan hasil analisis Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan pada saat pendaftaran bakal caleg, ditemukan banyak parpol di banyak dapil tidak memenuhi jumlah minimal 30 persen keterwakilan perempuan. Koalisi menemukan ada 290 kursi bakal caleg DPR, 860 bakal caleg DPRD provinsi, dan 6.821 bakal caleg DPRD kabupaten/kota, yang seharusnya diisi perempuan, justru diberikan kepada laki-laki. Kekurangan bakal caleg perempuan terjadi di dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak empat, tujuh, delapan, dan sebelas.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para kader dan simpatisan Partai Perindo saat menanti Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo menyerahkan berkas bakal calon anggota DPR dari parpolnya untuk Pemilu 2024 kepada Ketua KPU Hasyim Asyari di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Minggu (14/5/2023).
Menurut Hadar, parpol semestinya sudah menyiapkan kader-kader perempuan untuk mengganti komposisi daftar bakal caleg di setiap dapil. Sebab, aturan 30 persen keterwakilan perempuan dengan pembulatan ke atas sudah berlaku dalam dua kali pemilu. Terlebih, ada beberapa parpol yang telah menyiapkan kader lebih dari 100 persen dari kuota maksimal di setiap dapil.
”Apabila tidak bisa menambah bakal caleg perempuan, bisa mengurangi jumlah bakal caleg di setiap dapil agar persentase perempuan mencapai 30 persen. Parpol kan tidak harus mengajukan jumlah maksimal 100 persen kursi di setiap dapil,” katanya.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, pihaknya masih menunggu secara resmi putusan dari MA. Namun, KPU memastikan akan melaksanakan putusan MA sebagai aktualisasi dari penyelenggaran pemilu yang berkepastian hukum. ”KPU akan melaksanakan apa yang menjadi putusan MA tersebut,” ujarnya.