Reformasi birokrasi di Indonesia sudah berjalan hampir 20 tahun. Sejumlah target berhasil dicapai, tetapi juga masih ada pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan.
Oleh
Karina Isna Irawan/Litbang Kompas
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana diskusi Afternoon Coffee#7 Kompas Collaboration Forum - City Leaders Community #APEKSinergi yang ke-7 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (25/8/2023). Diskusi yang membahas penguatan dan efektivitas tata kelola aparatur sipil negara ini dihadiri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi)/Wali Kota Bogor Bima Arya, Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, Wali Kota Gorontalo, Marten A Taha, dan Wakil Wali Kota Tarakan Effendy Djuprianto.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), total aparatur sipil negara (ASN) per Desember 2022 berjumlah 4,25 juta orang. Sebagian besar ASN berstatus pegawai negeri sipil atau PNS (91 persen), dan sisanya adalah pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Secara nasional, rasio ASN saat ini berada dalam kisaran ideal, yakni 1,54 persen. Rasio ideal bagi Indonesia 1,5 persen mempertimbangkan jumlah ASN terhadap jumlah penduduk setiap tahun. Adapun jumlah ASN didominasi guru (37,6 persen), lalu tenaga pelaksana atau umum (34,1 persen) dan tenaga medis (9,9 persen).
Kendati rasio ASN Indonesia sudah ideal, tetapi kondisi ini tidak merata hingga tingkat daerah. Terdapat 15 dari 38 provinsi yang memiliki rasio ASN di atas 1,5 persen. Lima belas provinsi ada di luar Jawa, dan didominasi wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Kondisi sebaliknya terpotret di tingkat pemerintah kota, yakni 54 dari 93 kota memiliki rasio ASN di bawah 1,5 persen.
Di sisi lain, hasil analisis kuadran menunjukkan, sebagian besar kota dengan rasio ASN rendah justru memiliki skor indeks evaluasi kerja tinggi. Beberapa kota itu ialah Denpasar, Bandar Lampung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Tangerang, Bogor, Batu, Cilegon, Pangkal Pinang, dan Makassar.
Analisis kuadran membandingkan antara rasio ASN dan sejumlah indikator pengukuran evaluasi kinerja berdasarkan Keputusan Menpan RB Nomor 1035 Tahun 2022. Dari pemetaan kuadran tersebut juga akan terlihat sejumlah daerah yang perlu tambahan ASN karena dinilai memiliki kinerja pelayanan publik kurang baik. Namun, jumlahnya tak banyak, dan mayoritas berada di luar Jawa.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas memaparkan kondisi pengelolaan aparatur sipil negara (ASN) saat menjadi pembicara dalam diskusi Afternoon Coffee#7 Kompas Collaboration Forum - City Leaders Community #APEKSinergi yang ke-7 di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (25/8/2023).
Tetap terjaganya kinerja layanan publik di tengah keterbatasan jumlah ASN bukan tanpa sebab. Mereka yang juga memiliki peran vital dalam menjaga kinerja pemerintah adalah tenaga honorer. Sebagian besar tenaga honorer adalah garda terdepan layanan dasar, seperti guru dan tenaga medis, baik di pusat maupun daerah. Hal ini juga yang mendasari alasan pemda merekrut tenaga honorer.
Mengutip data Kemenpan RB, total tenaga honorer atau non-ASN per 1 April 2023 berjumlah 2,36 juta orang. Honorer didominasi tenaga administrasi (31 persen), pendidik (31 persen), dan tenaga teknis (26 persen). Adapun honorer yang bekerja sebagai tenaga medis berjumlah 204.902 (9 persen), dan penyuluh 3 persen.
Masa kerja sebagian besar honorer berkisar 1-5 tahun. Namun, ada juga yang sudah lebih dari 15 tahun jadi honorer. Mayoritas tenaga honorer berusia di bawah 40 tahun dengan gaji pokok Rp 1 juta-1,5 juta per bulan. Secara regulasi tenaga honorer memang tidak mendapat tunjangan sebagaimana ASN.
Polemik tenaga honorer
Meski memiliki peran cukup vital dalam pelayanan publik, nasib tenaga honorer hingga saat ini masih terkatung-katung. Polemik tenaga honorer mengemuka setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Empat tahun kemudian, terbit PP Nomor 49 Tahun 2018 yang mengatur status kepegawaian ASN hanya dua jenis, yakni PNS dan PPPK. Penerbitan PP dibarengi surat edaran Menpan RB terkait pemetaan dan penghentian perekrutan tenaga honorer pada 31 Mei 2022.
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Peserta aksi beristirahat di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (7/8/2023). Para peserta aksi yang merupakan tenaga honorer menuntut revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang manajemen PPPK dengan memuat pengangkatan secara langsung menjadi PPPK tanpa batasan jenjang pendidikan. Mereka mendesak pemerintah mengeluarkan PP tentang pengangkatan tenaga Non ASN menjadi ASN.
Pemerintah pusat sudah berjanji mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS, dan menjamin tidak ada pemutusan hubungan kerja massal meski Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 menyatakan tak ada lagi pegawai non-ASN per November 2023. Rumusan kebijakan untuk pegawai non-ASN ini ditargetkan rampung akhir tahun ini.
Janji pemerintah pusat untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja massal terhadap tenaga honorer bukan tanpa alasan. Jika kebijakan itu ’nekat’ ditempuh, pemerintah harus mengantisipasi meningkatnya jumlah penganggur dan menurunnya mutu pelayanan publik. Dalam jangka panjang, persoalan yang mungkin muncul adalah terganggunya stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri.
Sebelum terbit edaran Menpan RB, sejumlah pemda menjadikan perekrutan tenaga honorer sebagai salah satu cara menekan pengangguran dan angka kemiskinan. Langkah ini ternyata menjadi simalakama untuk jangka panjang. Sejauh ini belum ada regulasi yang tegas terkait nasib para tenaga honorer.
Komitmen pemerintah agaknya mulai diwujudkan secara bertahap. Terbaru, Kemenpan RB menetapkan formasi ASN nasional 2023 sebanyak 572.496 per 1 Agustus 2023. Dari formasi tersebut, sebesar 80 persen untuk pelamar dari tenaga honorer atau non-ASN, dan 20 persen untuk pelamar umum. Perekrutan tenaga honorer menjadi ASN didominasi guru dan tenaga kesehatan.
Jika diasumsikan seluruh formasi non-ASN tahun 2023 terisi, tenaga honorer yang terserap baru sekitar 24 persen dari total tenaga honorer yang ada. Artinya, masih ada sekitar 1,78 juta tenaga honorer (76 persen) yang masih menunggu kepastian status pengangkatannya menjadi ASN.
Untuk menyelesaikan persoalan tenaga honorer dibutuhkan kebijakan tegas dan terkonsep. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan basis data yang kuat. Di sisi lain, pengujian tenaga honorer menjadi ASN juga dapat melibatkan lembaga independen dan kredibel untuk memastikan kualitas pegawai yang direkrut. Kompensasi juga dapat diberikan bagi tenaga honorer usia tua yang sudah tak memungkinkan untuk diangkat.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Para guru honorer menandatangani daftar presensi setelah upacara pelantikan di aula gedung Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (28/7/2023).
Upaya mereformasi birokrasi saat ini menjadi keniscayaan. Namun, dalam prosesnya, sejumlah pekerjaan rumah harus segera diselesaikan, termasuk kepastian bagi tenaga honorer. Hal yang harus diingat, agenda besar pembangunan berkelanjutan, termasuk reformasi birokrasi, berjalan dengan prinsip tidak meninggalkan satu pun kelompok masyarakat.