SBY: Persatuan Elemen Bangsa Mampu Patahkan Belenggu Mitos Negatif
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono berpandangan mitos-mitos berkonotasi negatif yang menghantui Indonesia dapat dipatahkan. Hal ini dimungkinkan jika semua elemen bangsa bersatu dan melakukan yang terbaik.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan sejumlah mitos yang telah menghantui masyarakat Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Mayoritas mitos tersebut berkonotasi negatif. Mitos-mitos itu sangat mungkin dapat dipatahkan jika semua elemen bangsa, termasuk pemimpinnya, bersatu serta berkomitmen melakukan sesuatu yang terbaik bagi Indonesia.
Dalam acara bertajuk ”Merajut Persatuan: Pesan dalam 78 Tahun Kemerdekaan” yang digagas oleh Jogja Disability Arts dan Yayasan Urun Daya Kota, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (24/8/2023) malam, Yudhoyono menyampaikan pidato kebudayaannya berjudul ”Mematahkan Mitos-mitos yang Membelenggu Kita”.
Ia memaparkan ada mitos-mitos terkait watak masyarakat Indonesia yang ditulis oleh beberapa tokoh pada puluhan tahun lalu. Bahkan, ada pula mitos-mitos yang membayangi pada masa Orde Baru.
Baca juga: Korban Berharap Ada Pelurusan Sejarah
Mitos pertama disampaikan oleh Mochtar Lubis pada tahun 1977. Kala itu, wartawan yang juga novelis senior itu menulis sebuah pidato kebudayaan berjudul ”Manusia Indonesia”. Dalam pidatonya itu, Mochtar menggambarkan manusia Indonesia dengan enam watak, yakni munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, berkarakter lemah, dan berjiwa seni.
Baca juga: Sikap Mochtar Lubis Perlu Tecermin dalam Pers Indonesia Saat Ini
Kemudian, pada tahun yang sama, mitos lain juga disampaikan sosiolog Syed Hussein Alatas. Ia menulis buku berjudul Mitos Pribumi Malas. Dalam bukunya itu, Alatas justru menentang para kolonialis yang mengecap pribumi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berkarakter pemalas, terbelakang, dan memiliki intelektualitas rendah.
Sembilan tahun sebelumnya, peraih Hadiah Nobel, Gunnar Myrdal, menulis buku berjudul Asian Drama. Melalui bukunya, Myrdal ingin menyampaikan bahwa kultur manusia di Asia ialah sulit untuk maju karena pengetahuan yang rendah, tidak berkarakter, dan miskin.
Yudhoyono berpandangan, selama ini tiga mitos tersebut seolah-olah telah membelenggu dan mematok pikiran bangsa Indonesia sehingga bangsa ini kehilangan kepercayaan untuk terus bergerak menjadi bangsa yang maju. Apalagi, ia melihat, ada dua mitos lain yang justru berkembang saat masa Orde Baru.
Mitos pertama, seakan-akan bangsa ini diminta memilih. Jika ingin sejahtera, pilihannya ingin mengutamakan pembangunan ekonomi atau melupakan demokrasi.
Mitos kedua, bangsa ini diminta memilih antara kebebasan dikurangi sehingga situasi keamanan terkendali, atau kebebasan tidak dikontrol sehingga situasi keamanan tidak stabil.
Menurut Yudhoyono, mitos itu tidak bisa dilepaskan dalam konteks ruang dan waktu. Ia melihat, bangsa ini terus mengalami perubahan dari dekade demi dekade.
Di sisi lain, patut disadari, adanya pengaruh globalisasi juga tentu ikut membawa pergeseran nilai-nilai, perilaku, cara berpikir, sistem sosial, dan sistem budaya bangsa.
”Saya punya keyakinan bahwa watak-watak negatif itu sudah ada pergeseran menjadi lebih bagus dan menjadi lebih positif. Menurut saya, sekarang kita makin produktif, makin berkeinginan untuk maju. Artinya, we are changing,” ucap Yudhoyono.
Saya punya keyakinan bahwa watak-watak negatif itu sudah ada pergeseran menjadi lebih bagus dan menjadi lebih positif. Menurut saya, sekarang kita makin produktif, makin berkeinginan untuk maju.
Warga ikut membentangkan bendera merah putih sepanjang 3.522 meter mengelilingi Setu Parigi, Tangerang Selatan, Banten, dalam acara Pondok Aren Berkibar, Kamis (18/8/2022). Kegiatan ini digelar untuk memeriahkan HUT Ke-77 Kemerdekaan Indonesia.
Yudhoyono berharap mitos-mitos itu dapat dipatahkan. Setidaknya semua anak bangsa, baik orang per orang, bangsa, maupun negara, memiliki kesadaran untuk membereskan mana yang masih kurang baik.
Ia pun tidak sependapat dengan mitos-mitos yang dilontarkan pada masa Orde Baru. Nyatanya, pasca-reformasi, ekonomi bangsa ini tetap tumbuh dan kebebasan demokrasi tidak dilupakan.
Begitu pula negara tetap bisa aman terkendali ketika ruang kebebasan dibuka. ”Kiranya jangan kita terbelenggu oleh mitos. Jangan kita dihantui lagi oleh mitos itu. Bebaskan. Patahkan,” tegasnya.
Baca juga: Publik Yakin Generasi Indonesia Berdaya Saing Global
Yudhoyono mengungkapkan, setidaknya ada satu kunci penting jika bangsa ini ingin sukses dalam perubahan dan meninggalkan mitos-mitos itu sehingga mimpi menjadi negara yang kuat pada 2045 bisa tercapai.
Yang terpenting adalah kebersamaan dari semua elemen bangsa ini. Mulai dari pemimpin, dan semua elemen bangsa, bertekad bulat untuk melakukan sesuatu secara serius membawa Indonesia menjadi lebih baik.
”Mitos-mitos yang lampau itu saya yakini bisa kita patahkan. Jangan sampai ada dalih politik apa pun, seperti ’seharusnya kita harus memilih kalau ekonomi, maka demokrasi harus terseok’. Should not be that way. Kita bisa buktikan semua bisa dihadirkan,” tutur Yudhoyono.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2009-2014 Mohammad Nuh, yang juga hadir pada acara tersebut, mengapresiasi pemaparan Yudhoyono yang berikhtiar mengajak bangsa ini terbebas dari belenggu mitos. Ia pun berpandangan pentingnya manusia memiliki logika, etika, dan estetika.
”Jangan ada ruang kosong dalam logika, etika, dan estetika. Ilustrasi paling sederhana, logika untuk kebenaran, etika untuk kebaikan, estetika untuk keindahan. Kalau hidup hanya mengandalkan logika, bubar kita. Karena itu, tidak cukup hanya mengandalkan logika, tetapi ada etika. Di balik itu semua, yang lebih dahsyat lagi adalah wilayah estetika,” ucap Nuh.
Fasilitasi kebudayaan
Di sesi terpisah, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan juga hadir membicarakan seputar kebudayaan masa kini dan nanti. Anies berpandangan, pemerintah bertanggung jawab dalam membangun ekosistem seni budaya di Indonesia.
Kegiatan kebudayaan, lanjutnya, harus dipandang sebagai aktivitas investasi karena manfaatnya baru akan didapat dalam jangka panjang. Untuk itu, negara harus hadir bagi para pelaku seni dan harus mendengarkan masukan serta kebutuhan mereka. Mereka harus difasilitasi. Tak hanya fiskal, tetapi juga program-program yang sifatnya mendukung kegiatan.
Pemerintah harus memandang budaya Indonesia sebagai bagian dari konstelasi kebudayaan global, bukan hanya memikirkan kebudayaan tersebut hanya bertumbuh kembang di Indonesia. ”Ini kita memiliki sebuah potensi yang luar biasa besar. Di situ kita lihat pelaku-pelakunya hebat, tetapi kita di pemerintah kurang memberikan fasilitasi,” kata Anies.