Sikap Mochtar Lubis Perlu Tecermin dalam Pers Indonesia Saat Ini
Mochtar Lubis tidak hanya berkomitmen tinggi pada prinsip kemerdekaan pers, tetapi juga tidak mau berkompromi dengan kekuasaan. Sikap ini perlu tecermin dalam pers di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai tokoh pers Indonesia, Mochtar Lubis dipandang sebagai sosok yang peka terhadap penderitaan orang dan tidak mau berkompromi dengan kekuasaan. Sikap dan prinsip inilah yang dinilai perlu tecermin serta dikedepankan oleh pers atau media Indonesia saat ini.
Pakar kajian media Indonesia di Murdoch University, Australia, David T Hill, mengemukakan, Mochtar Lubis telah dididik untuk menjadi seorang nasionalis saat masih berumur 20 tahunan atau pada masa perjuangan kemerdekaan tahun 1940-an. Saat itu, Mochtar ikut bekerja di sebuah dinas pemantauan radio Pemerintah Jepang karena fasih berbahasa Inggris.
”Mochtar bertugas mendengar siaran dalam bahasa Inggris dan mencatat ringkasannya. Ia juga ditugaskan membuat film propaganda yang dibuat tentara Jepang mengenai keadaan tahanan Belanda dan Indonesia. Film itu kemudian dikirim untuk meyakinkan sekutu bahwa Jepang memerintah dengan baik,” ujarnya dalam peringatan 100 tahun Mochtar Lubis secara daring, Rabu (27/4/2022).
Melalui pengalaman ini, kata David, Mochtar merasa memutarbalikkan keadaan menjadi propaganda sangat mudah. Sejak saat itulah Mochtar menyadari peran penting media untuk melakukan tugasnya dengan jujur. Mochtar juga meyakini bahwa media seharusnya menulis atau memberitakan kejadian tanpa interpretasi untuk memutarbalikkan fakta.
Menurut David, sejak umur 20 tahunan, Mochtar juga sudah memiliki sikap kecurigaan terhadap pemimpin politik dan peka pada orang di sekitarnya. Bahkan, Mochtar pernah kecewa dengan sikap Soekarno karena berkrompomi dengan Pemerintah Jepang dalam isu romusa, yakni mengirim ratusan ribu pekerja dari Jawa ke luar negeri.
”Mochtar Lubis telah menjadi seorang figur internasional. Ia tidak hanya berkomitmen tinggi pada prinsip kemerdekaan pers, tetapi juga tidak mau berkompromi dengan kekuasaan di Indonesia. Jadi, Indonesia benar-benar membutuhkan media berprinsip dan independen yang tercermin dalam semangat hidup Mochtar Lubis,” ungkapnya.
Sebagai seorang akademisi yang menulis Mochtar Lubis dan peranannya terhadap pers Indonesia, David harus menempatkan Mochtar dalam suatu konteks politik yang luas dan mempertimbangkan baik buruknya. Namun, ia menjamin bahwa hal ini bukan bermaksud untuk mengikis peran dan sumbangan Mochtar terhadap pers Indonesia.
”Mochtar bukan gading yang tak retak dan bukan manusia sempurna, tetapi dia patut dikagumi. Sebab, dia memiliki sikap yang tegas, berani berkorban atau ditahan, dan tidak berkompromi dengan prinsip yang dianutnya. Tidak hanya di Indonesia, di Australia juga memerlukan orang seperti Mochtar Lubis,” tuturnya.
Ikon perlawanan
Semasa hidupnya, Mochtar Lubis juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya yang terbit dua hari setelah pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia, yakni 29 Desember 1949. Harian ini banyak menyajikan berita politik mengingat saat itu banyak partai politik muncul karena Indonesia baru mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, mengatakan, harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis telah menjadi salah satu ikon perlawanan pers terhadap kekuasaan yang mencengkeram. Bahkan, Indonesia Raya juga kerap melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan Soekarno dan Orde Baru.
Sejak saat itulah Mochtar menyadari peran penting media untuk melakukan tugasnya dengan jujur. Mochtar juga meyakini bahwa media seharusnya menulis atau memberitakan kejadian tanpa interpretasi untuk memutarbalikkan fakta.
Pada periode pertama, sejumlah liputan dari Indonesia Raya cukup mengguncang dan menghebohkan publik. Salah satunya, terkait peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Indonesia Raya lebih condong mendukung para perwira yang tak puas dengan persoalan reorganisasi dalam ketentaraan. Hal ini tidak terlepas dari sikap Mochtar yang kurang cocok dengan Jenderal AH Nasution.
Selain itu, liputan lainnya yang menghebohkan ialah pernikahan diam-diam Soekarno dengan Hartini pada 1954. Dalam tajuknya, Mochtar menyindir Soekarno yang menulis buku Sarinah tetapi kemudian mempraktikkan poligami yang merendahkan perempuan.
Sementara pada periode kedua (1968-1974), tajuk Indonesia Raya menunjukkan dukungan kepada pemerintah Orde Baru. Namun, redaksi juga tak sungkan mengkritik pemerintah atau aparat yang mencoba menyeleweng. Liputan korupsi menjadi fokus besar Indonesia Raya yang banyak dilakukan Pertamina dan Bulog.
Dari pengalaman memimpin redaksi harian tersebut, Haryanto memandang bahwa Mochtar merupakan orang yang memiliki idealisme dalam melakukan kerja jurnalistik dan peka untuk mendengar suara orang kecil. Di sisi lain, Mochtar juga mau mengembangkan investigasi terhadap pihak pemerintah atau perusahaan yang merugikan publik.