Untuk Ke-31 Kalinya, MK Diminta Hapus ”Presidential Threshold”
Untuk ke-31 kalinya, MK diminta untuk menghapus ”presidential threshold”. Padahal, MK telah berpendapat bahwa ”presidential threshold” yang diatur dalam UU Pemilu itu konstitusional.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi atau MK kembali diminta untuk menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Kali ini gugatan diajukan oleh Partai Buruh karena menilai pasal yang mengatur presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu diskriminatif. Dengan adanya gugatan itu, berarti sudah 31 kali Pasal 222 UU Pemilu digugat ke MK.
Sidang perdana perkara gugatan syarat ambang batas pencalonan presiden dengan pemohon Partai Buruh dan dua kadernya itu digelar pada Rabu (23/8/2024). Sidang dipimpin oleh ketua majelis panel Saldi Isra dengan hakim anggota Suhartoyo dan Arief Hidayat.
Dalam sidang perdana itu, hakim MK meminta Partai Buruh dan kuasa hukumnya memberikan alasan luar biasa atau extraordinary agar dapat menggeser pendapat MK. Selama ini, MK berpandangan ketentuan mengenai presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu konstitusional. Sikap MK tersebut telah dinyatakan dalam 29 putusan sebelumnya terkait pengujian norma serupa.
”Ini menjadi pekerjaan rumah untuk didiskusikan bagaimana menjebol pendirian MK yang sudah berlapis-lapis melalui banyak sekali putusannya,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo, saat memberi nasihat kepada Partai Buruh dan kuasa hukumnya dalam sidang perdana perkara nomor 80/PUU-XXI/2023 tersebut.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur bahwa hanya partai politik (parpol) atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi DPR atau meraih paling sedikit 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang dapat mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Pengujian Pasal 222 UU yang diajukan Partai Buruh ini menjadi perkara ke-31 yang ditangani oleh MK sejak tahun 2017. Sebelumnya, sebanyak 29 perkara diputus MK dan satu perkara dicabut melalui Ketetapan MK.
Kuasa hukum Partai Buruh, Feri Amsari, mengungkapkan, permohonan yang diajukan kali ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Pengujian syarat ambang batas pencalonan presiden ini diajukan karena ketentuan tersebut telah merugikan Partai Buruh dan dua perseorangan lainnya. Ketentuan itu memaksa pemohon harus bergabung dengan parpol lain saat ingin mengusung capres dan cawapres pada Pemilu 2024.
Ini menjadi pekerjaan rumah untuk didiskusikan bagaimana menjebol pendirian MK yang sudah berlapis-lapis melalui banyak sekali putusannya.
Padahal, berat bagi Partai Buruh untuk bergabung ke partai-partai politik lain yang tidak memiliki ideologi yang sama. Partai Buruh beralasan, partai-partai politik di parlemen turut menyetujui Undang-Undang Cipta Kerja.
Feri menilai, Pasal 222 UU Pemilu tersebut sangat diskriminatif karena membuat keseragaman yang tidak diperlukan dalam penyelenggaraan pemilu. Ketua Umum Partai Buruh Said Iqbal mengungkapkan, partainya memang partai berbasis identitas, yakni kelas pekerja (working class). Anggotanya terdiri dari 11 konfederasi, 60 serikat buruh di tingkat nasional, dan satu serikat petani. Anggotanya teregister, ada iuran keanggotaan. Setidaknya ada 10 juta anggota, yang jika ditambah keluarga para pekerja tersebut bisa mencapai 20-an juta. Salah satu tujuan mendirikan Partai Buruh adalah untuk memperjuangkan ideologi para pekerja yang anti-omnibus law, antipekerja alih daya (outsourcing), antipegawai honorer dan lain-lain. Salah satu yang paling getol ditolak oleh partai ini adalah UU Cipta Kerja.
”Kami mendirikan Partai Buruh untuk mengurangi ketidakadilan di jalan. Oleh karena itu, kami ijtihad membuat partai. Karena (aspirasi itu) tidak bisa dapat disalurkan di partai (yang ada),” ujarnya. Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk mengontestasikan Pasal 222 UU Pemilu tersebut dengan 10 pasal UUD 1945 yang menjadi batu uji yang digunakan pemohon. Ia melihat, pemohon baru menjelaskan pertentangan Pasal 222 UU Pemilu tersebut dengan Pasal 6A UUD 1945. Ia meminta ada uraian lain yang bisa meyakinkan hakim. Hal senada juga diungkapkan oleh Saldi Isra. Menurut Saldi, menggunakan banyak pasal sebagai alas pengujian konstitusional pasal terkadang justru menjadi jebakan bagi pemohon. Sebab, pemohon perlu menguraikan pertentangan norma tersebut satu per satu. Selain itu, Saldi juga meminta kuasa hukum Partai Buruh menjelaskan dengan lebih detail perbedaan permohonan yang diajukan dengan 29 perkara yang sama yang sudah diputus MK sebelumnya.