Panja DPR Berkomitmen Tak Ingin Langgengkan Pasal-pasal Karet RUU ITE
Meski rapatnya digelar tertutup dan tak ingin melanggengkan pasal-pasal karet RUU ITE, Panja DPR seharusnya tetap membuka usulan dan masukan dari publik dalam pembahasan revisi RUU ITE tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Panja RUU ITE mulai membuka forum dengar pendapat bagi sejumlah kalangan untuk mendapatkan masukan terkait RUU tersebut. Panja menyampaikan permohonan maaf karena beberapa kali rapat kerja digelar secara tertutup. Alasannya, ada beberapa pembahasan isu-isu sensitif yang dikhawatirkan justru menjadi polemik di publik apabila dibuka kepada publik.
Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE yang terbengkalai sejak akhir 2021 mulai dibahas pada akhir Mei lalu. Namun, rapat yang melibatkan Panja RUU ITE dari Komisi I DPR dan pemerintah itu tak satu pun dilaksanakan secara terbuka.
Baca juga: Pembahasan Revisi UU ITE Tidak Transparan
Rapat baru digelar secara terbuka pada Rabu (23/8/2023) di Kompleks Parlemen, Jakarta. Selama lebih dari satu jam, Panja RUU ITE mendengarkan berbagai masukan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKHT-FH UI), Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI), dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (P2RMedia).
Ketua Panja RUU ITE Abdul Kharis Almasyhari di sela-sela rapat dengar pendapat tersebut mengatakan, beberapa kali rapat dilaksanakan secara tertutup karena panja ingin mengkaji dan mengeksplor lebih jauh tentang pasal-pasal di UU ITE yang bakal direvisi. Ia menegaskan, tidak ada niatan sedikit pun dari panja untuk mempertahankan pasal karet.
Jadi, saya mohon maaf karena ada sebagian, ada salah persepsi, ’ini mau mempertahankan pasal karet’. Tidak ada. Justru, semangat kami itu bagaimana tidak terjadi pasal yang sering dikatakan pasal karet itu. (Abdul Kharis)
”Jadi, saya mohon maaf karena ada sebagian, ada salah persepsi, ’ini mau mempertahankan pasal karet’. Tidak ada. Justru, semangat kami itu bagaimana tidak terjadi pasal yang sering dikatakan pasal karet itu,” ujar Abdul Kharis.
Ia mengungkapkan, dalam sejumlah rapat tertutup, kerap dibahas mengenai isu-isu yang sensitif. Kemudian, ada pula proses di mana kepolisian dan kejaksaan dimintai pendapat terkait draf atau usulan pasal dengan dihadapkan pada isu-isu yang muncul di publik. Panja tidak ingin proses pengkajian tersebut justru direkam, kemudian rekaman tersebut dipotong-potong sehingga substansi masalah tidak dipahami secara utuh oleh publik.
”Padahal itu dalam konteks meng-exercise. Misalnya, kalau istilah ini terjadi, kena lagi atau tidak? Kami berusaha bagaimana norma yang dihasilkan atau rumusan yang dihasilkan itu jangan sampai kemudian mengulang apa yang sudah pernah direvisi pertama. Jadi, rapat ditutup bukan untuk tujuan gimana-gimana, bukan, tetapi untuk melindungi agar tidak disalahgunakan pembahasan dalam rapat itu,” ucap Abdul Kharis.
Di akhir rapat Abdul berharap, RUU ITE bisa diselesaikan di Masa Sidang I Tahun Sidang 2023-2024. Adapun, masa sidang ini akan berakhir pada 3 Oktober 2023.
Tanggung jawab platform media sosial
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah berharap, RUU ITE bisa memberikan perlindungan kepada anak dalam memberikan pendapat dan pandangan di dunia siber. Selain itu, perlu juga untuk memberikan perlindungan atas situasi kekerasan berbasis siber.
Data KPAI sejak 2017, anak korban pornografi dan kekerasan siber selalu masuk lima kasus terbesar. Kemudian, di 2021, setidaknya terdapat 177 kasus anak korban perundungan.
Menurut Ai, jika situasi seperti ini tidak diantisipasi dengan baik, dampaknya akan sangat luar biasa terhadap situasi dan kondisi anak Indonesia. ”Dampaknya, 30 persen di antara anak-anak kita itu mengalami kesulitan belajar. Ini ancaman atas sumber daya manusia yang sangat kritis,” tegasnya.
Ai Maryati pun meminta DPR dan pemerintah bisa menjelaskan secara detail makna kesusilaan dan kekerasan siber terhadap anak di RUU ITE. Ia berharap, makna kesusilaan bisa merujuk pada UU Perlindungan Anak serta UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dampaknya, 30 persen di antara anak-anak kita itu mengalami kesulitan belajar. Ini ancaman atas sumber daya manusia yang sangat kritis.
Peneliti PR2Media Engelbertus Wendratama menambahkan, perlu ada penambahan ayat di Pasal 15 dalam draf RUU ITE. Dalam Pasal 15 Ayat 2 dituliskan, penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya. Menurut dia, tidak cukup hanya sebatas peyelenggara sistem elektronik, tetapi penyelenggara media sosial.
Penyelenggara media sosial wajib mempunyai tata cara dalam mengenali dan menentukan konten yang melanggar hukum, baik dilakukan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI)maupun dilakukan oleh manusia. Kemudian, harus ada kewajiban bagi penyelenggara untuk menjelaskan alasan konten itu dihapus atau akun dibekukan.
Poin berikutnya, mendorong penyelenggara media sosial menerbitkan laporan tahunan mengenai aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten yang memiliki muatan melanggar hukum serta tindakan pengelola media sosial dalam menindaklanjutnya. ”Jadi, semua ini untuk mendorong transparansi supaya masyarakat tahu,” katanya.
Harus lebih mendengar
Dihubungi secara terpisah, Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad meminta Panja RUU ITE agar lebih memberikan ruang kepada korban UU ITE untuk dimintai masukan dalam penyempurnaan draf RUU ITE. Hal ini dinilai penting karena mereka paling merasakan masalah sebenarnya yang terjadi di lapangan dan alasan hukum yang disampaikan oleh penyidik ketika memeriksa mereka.
Kami yang pernah mengalami dan tahu persis di mana sisi lemah dari UU ITE yang lama dan bagaimana keinginan orang-orang yang melaporkan kami. Kalau DPR dan pemerintah, kan, hanya sebatas mengatur secara regulasi dan tata bahasa.
”Kami yang pernah mengalami dan tahu persis di mana sisi lemah dari UU ITE yang lama dan bagaimana keinginan orang-orang yang melaporkan kami. Kalau DPR dan pemerintah, kan, hanya sebatas mengatur secara regulasi dan tata bahasa, tetapi kami ini yang menjalani, menerima akibat itu, merasakan bagaimana tindakan diskriminatif dari penegak hukum,” kata Arsyad.
Baca juga: Cegah Kriminalisasi Pasal Karet, Revisi UU ITE Mendesak Disahkan
Ia berharap, forum dengar pendapat ini tidak hanya dijadikan sebatas formalitas belaka. DPR dan pemerintah harus lebih luas lagi mendengar masukan publik, terutama dari para korban penerapan pasal karet dari UU ITE. Tak hanya didengar, masukan tersebut juga harus dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU ITE yang baru.
Ia pun mengingatkan DPR dan pemerintah agar tidak asal mengebut pengesahan RUU ITE. Jika itu yang terjadi, RUU ITE ini tidak akan menuntaskan masalah yang pernah ada.
”Saya takutnya terbukanya ini hanya untuk dasar awal karena, kan, mereka ngebut nih untuk pengesahan. Jangan ini jadi formalitas, dalam waktu dua bulan menerima aspirasi masyarakat, padahal draf untuk penyusunan sudah disiapkan. Harusnya dari awal dong menerima masukan, sejak pembahasan awal,” ungkapnya.