Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi Undang-Undang Kejaksaan menegaskan bahwa Jaksa Agung tidak harus berasal dari internal kejaksaan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan, Jaksa Agung tidak harus berasal dari internal kejaksaan, misalnya jaksa karier ataupun mantan jaksa. Menjadi hak prerogatif presiden untuk memilih siapa pun untuk menjadi Jaksa Agung, dengan catatan bukan anggota ataupun pengurus partai politik. Keterkaitan Jaksa Agung dengan partai dikhawatirkan mengancam independensi dan kemerdekaan institusi kejaksaan dalam melaksanakan penegakan hukum.
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023) dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman. MK menolak permohonan yang diajukan seorang analis penuntutan pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una (Wakai), Jovi Andrea Bachtiar, yang menguji sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, khususnya terkait syarat menjadi Jaksa Agung dan larangan rangkap jabatan sebagai anggota/pengurus partai politik.
Terhadap Pasal 20 UU Kejaksaan yang mengatur syarat-syarat menjadi Jaksa Agung, Jovi Andrea meminta MK menambahkan norma (syarat): lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa (PPPJ), kemudian berstatus jaksa aktif atau pensiunan jaksa dengan jabatan terakhir paling rendah jaksa utama (IV/e), dan tidak pernah atau tidak sedang terdaftar sebagai anggota dan pengurus partai.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, penambahan syarat seperti diminta pemohon akan menciptakan proses rekrutmen Jaksa Agung secara tertutup. Artinya, jabatan Jaksa Agung tidak dapat diisi seseorang yang berasal dari luar institusi kejaksaan yang sebenarnya memiliki kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas.
Selain tidak memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk mengabdi di institusi kejaksaan, tambah Enny, MK menilai syarat-syarat tambahan tersebut juga telah membatasi hak prerogatif presiden dalam menentukan siapa yang akan membantunya dalam melaksanakan tugas penuntutan.
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih
MK mengutip keterangan Kejaksaan Agung dalam persidangan sebelumnya yang menyatakan bahwa Jaksa Agung yang berlatar belakang jaksa karier memiliki nilai lebih karena memahami secara lebih komprehensif pengetahuan teknis penyelesaian permasalahan hukum. Selain itu, jaksa karier juga memiliki pengalaman manajerial dan mengetahui anatomi kelembagaan sehingga akan dapat segera beradaptasi dalam melaksanakan tugas seorang Jaksa Agung.
Akan tetapi, apabila Jaksa Agung bukan berasal dari jaksa karier, kejaksaan mengungkapkan bahwa Jaksa Agung memiliki supporting system dari unsur pembantu pimpinan, yaitu Wakil Jaksa Agung dan beberapa Jaksa Agung Muda. Sehingga, yang bersangkutan diharapkan dapat segera beradaptasi dalam melaksanakan tugasnya.
Jovi Andrea juga mempersoalkan larangan menjadi anggota atau pengurus partai bagi Jaksa Agung. Terkait dengan hal tersebut, MK sependapat dengan hal tersebut. Sebab, jabatan Jaksa Agung sangat strategis dalam penegakan hukum karena bersinggungan dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Prinsip tersebut menuntut hadirnya seorang Jaksa Agung yang dapat menjadi pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara merdeka.
”Merdeka atau mandiri berarti adanya kebebasan bagi Jaksa Agung dari intervensi dan pengaruh seseorang, suatu kekuasaan pemerintah, partai politik, dan pihak mana pun dalam pengambilan keputusan serta kebijakan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan ketentuan undang-undang,” ujar Enny.
Namun, apabila presiden ingin mengangkat seseorang yang memiliki latar belakang anggota partai, MK menegaskan perlunya ada masa jeda 5 tahun sebelum yang bersangkutan menjadi Jaksa Agung. Hal ini tidak mengurangi hak prerogatif presiden karena dimaksudkan untuk menjaga independensi kedudukan lembaga kejaksaan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (27/6/2022).
Dalam putusannya, MK juga menegaskan bahwa pengangkatan Jaksa Agung merupakan hak prerogatif presiden serta tidak perlu campur tangan dari parlemen/DPR. Hak prerogatif presiden tersebut sudah dibatasi oleh mekanisme checks and balances oleh DPR, dalam rangka membatasi besarnya dominasi dan peran seorang peran presiden. Dalam konteks kejaksaan, mekanisme tersebut dilakukan antara lain dengan rapat dengar pendapat antara kejaksaan dan Komisi III DPR.
Pendapat berbeda
Dalam perkara ini, tiga hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda. Mereka adalah Saldi Isra, Suhartoyo, dan Guntur Hamzah. Ketiganya berbeda pendapat di antaranya dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung. Baik Saldi, Suhartoyo, maupun Guntur sepakat bahwa pengangkatan Jaksa Agung perlu melibatkan DPR.
Dalam pertimbangannya, Saldi mengungkapkan, pertimbangan DPR dibutuhkan untuk mengisi jabatan yang memiliki peran sentral dalam penegakan hukum. Karena itu, ia setuju jika DPR dilibatkan dengan memberikan pertimbangan, bukan persetujuan. Pertimbangan itu tidak dilakukan dengan cara menyelenggarakan fit and proper test, tetapi menyampaikan catatan DPR kepada presiden atau pembahasan terbatas antara DPR dan presiden.
Senada dengan Saldi, Suhartoyo dan Guntur Hamzah menyampaikan, pengangkatan Jaksa Agung sebaiknya melibatkan DPR mengingat kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum bersifat constitutional importance dan mempunyai kewenangan pro justicia (upaya-upaya paksa) yang berakibat pada perampasan kemerdekaan seseorang. Untuk itu, pertimbangan DPR selaku representasi wakil rakyat dalam pengangkatan Jaksa Agung sangat penting.