Lebih dari 186 Pejabat Kementerian Diusulkan Jadi Calon Penjabat Kepala Daerah
Kemendagri didesak untuk membuka nama-nama calon penjabat kepala daerah kepada publik.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri telah menerima lebih dari 100 nama pejabat kementerian dan lembaga yang diusulkan menjadi calon penjabat bupati/wali kota serta 86 nama pejabat yang diajukan sebagai calon penjabat gubernur. Nama-nama itu diharapkan dapat dibuka kepada publik agar rekam jejak mereka dapat diuji sebelum ditetapkan sebagai penjabat kepala daerah.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan saat dihubungi, Kamis (10/8/2023), mengatakan, tenggat pengumpulan nama-nama calon penjabat kepala daerah sudah berakhir pada Rabu (9/8/2023). Kemendagri telah menerima sedikitnya 100 nama pejabat kementerian dan lembaga yang diusulkan sebagai calon penjabat bupati/wali kota. Selain itu, ada 86 nama pejabat kementerian dan lembaga yang juga masuk daftar usulan calon penjabat gubernur.
Saat ini, usulan nama calon penjabat kepala daerah itu masih dikompilasi oleh Kemendagri. Sebab, selain usulan nama dari kementerian dan lembaga, Kemendagri juga menerima usulan nama dari DPRD tiap-tiap provinsi serta kabupaten/kota.
”Itu data per kemarin. Masih ada tambahan karena ada pejabat dari daerah mengantarkan langsung baik dari DPRD maupun dari pemda. Hari ini masih dikompilasi oleh teman-teman di direktorat jenderal otonomi daerah,” kata Benni.
Benni juga menyampaikan, Kemendagri belum bisa membuka kepada publik nama-nama yang diusulkan karena masih menunggu hasil kompilasi dari ditjen otonomi daerah. Selain itu, Kemendagri juga khawatir publikasi nama-nama calon penjabat kepala daerah akan berdampak buruk, termasuk menjadikannya sebagai bahan bakar konflik.
”Posisinya saya sekarang masih menunggu hasil kompilasi dari otda. Kalau data sudah dikompilasi, saya akan lihat kemungkinan data dari daerah mana yang kami bisa sampaikan. DPRD daerah sebenarnya, kan, terbuka,” katanya.
Meski demikian, Kemendagri mempersilakan instansi lain, seperti Ombudsman RI, yang telah memiliki data dari temuan langsung ataupun dari DPRD atau pemerintah daerah, untuk membuka kepada publik. Hanya, Benni mengingatkan, membuka data seseorang ke publik tidak mudah karena ada aturan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi.
Sementara itu, terkait dengan masih adanya usulan nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI atau Polri aktif, ia mengatakan, nama-nama itu tetap akan disaring sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota. Tak hanya disaring, semua nama yang masuk akan diidentifikasi dan dikompilasi sebelum diajukan ke sidang pra-tim penilai akhir (TPA). Sejumlah syarat juga harus dipenuhi, di antaranya penjabat gubernur harus berstatus jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya struktural, bukan fungsional.
Sepanjang memenuhi syarat, lanjutnya, figur itu masih mungkin diusulkan. Namun, jika tidak memenuhi syarat (TMS), nama-nama itu tetap tidak akan diloloskan ke sidang TPA.
”Kalau itu yang menjadi concern dari publik, kami akan melihat berapa dari TNI/Polri itu yang betul-betul memenuhi syarat atau tidak. Kalau tidak memenuhi syarat, tidak akan kami lepaskan,” ujarnya.
Bukan data rahasia
Dihubungi terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, seharusnya Kemendagri memahami bahwa seluk-beluk berkaitan dengan penjabat kepala daerah adalah informasi terbuka yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Selain itu, sudah ada preseden putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang memenangkan ICW terkait sengketa informasi melawan Kemendagri.
”Sudah ada putusan KIP yang menyatakan bahwa informasi seputar pengangkatan penjabat kepala daerah, termasuk nama-nama calon penjabat kepala daerah, itu adalah informasi publik,” katanya.
Kurnia menyebut, nama-nama calon penjabat kepala daerah penting untuk dibuka karena mereka akan memimpin dalam hitungan waktu yang lama, hingga tahun 2024, setelah ada kepala daerah definitif hasil pilkada serentak 2024. Selain itu, penjabat kepala daerah harus mendapatkan masukan dari publik sebelum mereka diangkat resmi.
Sudah ada putusan KIP yang menyatakan bahwa informasi seputar pengangkatan penjabat kepala daerah, termasuk nama-nama calon penjabat kepala daerah, itu adalah informasi publik.
”Lebih dari itu, secara legal formal kami menilai langkah Kemendagri itu sendiri masih keliru. Karena putusan MK maupun rekomendasi Ombudsman RI sudah mengatakan bahwa pengangkatan penjabat harus menggunakan peraturan pemerintah,” lanjutnya.
Kurnia menambahkan, sebagai calon pejabat publik, para calon penjabat justru harus diuji dulu rekam jejaknya sehingga mendapatkan verifikasi dari masyarakat. Karena itu, Kemendagri seharusnya tidak menafikan peran aktif masyarakat dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah.
”Seorang pejabat publik memang harus dikuliti (rekam jejaknya). Karena kalau kita lihat data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Itu diperoleh dari mekanisme pencoblosan, apalagi ini tidak menggunakan sistem pencoblosan. Maka dari itu, urgensi untuk membuka rekam jejak mereka semakin tinggi,” katanya.
Adapun terkait dengan nama-nama calon penjabat kepala daerah yang berasal dari unsur TNI/Polri aktif, Kurnia menilai, hal itu bukanlah persoalan baru. Isu itu pernah menguat pada gelombang pengangkatan penjabat tahun 2022 yang kemudian juga disoroti dalam laporan hasil pemeriksaan Ombudsman RI. Jika DPRD sebagai representasi masyarakat masih mengusulkan calon dari TNI/Polri aktif, artinya mereka tidak menyerap aspirasi publik secara nyata.
Karena hal itu adalah problem berulang, menurut dia, perkara ini perlu didudukkan ulang antara Kemendagri, TNI, dan Polri. Harus ada penekanan dari institusi TNI dan Polri sehingga Kemendagri tidak lagi menawarkan pengangkatan penjabat kepala daerah yang berasal dari instrumen alat pertahanan dan keamanan negara.