”Mengepung” MK demi Batas Usia Capres-Cawapres 35 Tahun
Setidaknya empat permohonan perubahan batas minimal usia capres-cawapres masuk saat MK tengah menyidangkan tiga perkara untuk norma yang sama. Akankah MK mengabulkan permohonan itu?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F21%2F401fde33-867b-4a3b-b20f-770afd2af6a1_jpg.jpg)
Mural bergambar wajah Presiden Republik Indonesia dari masa ke masa menghiasi tembok di kawasan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2022).
Ramai-ramai ”mengepung” Mahkamah Konstitusi dengan permohonan pengujian konstitusionalitas suatu norma atau suatu undang-undang bisa jadi kini menjadi strategi untuk menggoyang pendapat sembilan hakim konstitusi agar mengikuti kemauan para pemohon. Namun, apakah strategi tersebut akan efektif dan membawa hasil?
Jawabannya, bisa iya tetapi juga bisa tidak. Mengapa demikian? Tengok saja pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, baik undang-undang pertama yang dihasilkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2020, pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja, dan yang terakhir pengujian UU Penetapan Perppu Cipta Kerja. Ada banyak sekali perkara pengujian peraturan perundang-undangan tersebut.
Ada juga perkara yang baru saja berlalu, pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya terkait konstitusionalitas penerapan sistem proporsional daftar terbuka dalam pemilihan anggota legislatif. Perkara tersebut diajukan oleh sejumlah kader partai yang ingin agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional daftar tertutup pada Pemilu 2024.
Meski hanya diajukan oleh satu pihak, perkara tersebut mengundang lebih dari 10 pihak untuk bisa ”nimbrung” sebagai pihak terkait. Bisa dikatakan, keinginan sebagian besar publik yang tecermin dalam pendapat pihak-pihak terkait tersebut yang intinya meminta MK tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka. Upaya pihak-pihak terkait tersebut berhasil meski suara sembilan hakim terbelah.

Keinginan pemohon untuk mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup gagal. Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka seperti yang diatur dalam UU Pemilu.
Batas usia capres
Saat ini, MK sedang diminta untuk menguji konstitusionalitas norma batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang diatur di dalam Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Pasal itu mengatur syarat capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun. Pada mulanya, ada tiga permohonan yang diajukan. Salah satunya permohonan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersama empat warga (perkara 29/PUU-XXI/2023). Kemudian, permohonan Ahmad Ridha Sabana dan Yohanna Murtika yang merupakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Garuda (perkara 51/PUU-XXI/2023), serta permohonan yang diajukan sejumlah kepala daerah, seperti Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Mudhlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Albarraa (perkara 55/PUU-XXI/2023).
Persidangan untuk ketiga perkara itu sudah memasuki tahap pembuktian di mana para pihak akan mengajukan ahli yang mendukung dalil-dalil mereka. Hanya PSI yang merasa sudah yakin dengan dalil yang diajukan sehingga memutuskan untuk tidak mengajukan ahli.

Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Di tengah persidangan yang masih terus berlangsung, muncul permohonan-permohonan baru dengan perkara yang sama didaftarkan ke MK. Pada Senin (7/8/2023), ada empat permohonan baru yang masuk ke Kepaniteraan MK yang masing-masing diajukan oleh seorang pemohon, yaitu Melisa Mylitiachristi Tarandung (27), warga Minahasa yang merupakan calon advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi); warga Depok, Jawa Barat, Riko Andi Sinaga (29); Guy Rangga Boro (27) yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat; serta Hite Badenggan Lumbantoruan (31) yang menyebutkan NIK-nya tanpa menjelaskan domisilinya.
Alasan Hite Badenggan dan Riko Andi Sinaga menguji syarat batas usia minimal capres dan cawapres sangat mirip. Keduanya mengaku hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya norma batas minimal usia capres-cawapres 40 tahun. Sebab, ketentuan tersebut menghalangi anak-anak muda yang ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilu mendatang.
Sementara itu, Guy Rangga dan Melisa mendalilkan bahwa hak konstitusional mereka dirugikan karena ada peraturan usia minimal menjadi capres-cawapres yang dinilai diskriminatif. Keduanya merasa tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu, mereka juga tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena pengaturan usia minimal capres-cawapres 40 tahun.
Banyaknya permohonan tersebut tidak menjamin MK kemudian akan mengabulkan apa yang diminta oleh para pengaju uji materi. Sebab, MK akan memeriksa legal standing atau kedudukan hukum para pemohon secara ketat.
Hingga Rabu (9/8/2023) malam, keempat permohonan tersebut belum diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) oleh Kepaniteraan MK. Belum jelas pula apakah keempat pemohon tersebut saling berkoordinasi ataukah tidak dalam mengajukan pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu.
Sangat ketat
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengungkapkan, banyaknya permohonan pengujian suatu norma merupakan suatu hal yang biasa dilakukan dan dimungkinkan oleh hukum acara MK. Namun, banyaknya permohonan tersebut tidak menjamin MK kemudian akan mengabulkan apa yang diminta oleh para pengaju uji materi. Sebab, MK akan memeriksa legal standing atau kedudukan hukum para pemohon secara ketat.
”Hanya mereka yang benar-benar dirugikan oleh suatu norma (yang bisa mengajukan permohonan) meskipun kerugian yang bersifat potensial juga sering dipertimbangkan,” kata Allan.
UU MK memberikan kesempatan kepada semua orang, bahkan kelompok masyarakat, untuk mengajukan gugatan. Namun, ada batasan yang diatur di dalam Pasal 51 UU MK yang menyebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakukan undang-undang. Dengan demikian, tiap pemohon harus dapat membuktikan kerugian konstitusional yang dideritanya baik bersifat actual ataupun potensial untuk dapat berperkara di MK.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, Ketua MK Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat (dari kiri ke kanan) berbincang saat sidang putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung MK, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Allan tidak menolak gagasan bahwa semakin banyak pihak yang menguji konstitusionalitas suatu norma menunjukkan bahwa publik menaruh atensi atau perhatian besar terhadap isu tertentu. Atensi yang besar tersebut berefek pada peliputan media yang juga meluas serta menghidupkan diskusi-diskusi akademik.
”Dengan begitu, pengawasan juga otomatis berjalan. Karena opini publik itu juga bagian dari kontrol masyarakat sipil terhadap proses peradilan,” ungkap Allan.
Salah satu contoh nyata pentingnya opini publik dalam sebuah persoalan norma adalah terkait sistem pemilu yang oleh beberapa pihak dipersoalkan. MK dalam memutuskan untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka meskipun putusan tersebut tidak bulat. Sebelum putusan MK dibacakan, wacana publik terkait isu tersebut sempat memanas. Bahkan, DPR menyatakan akan menggunakan kewenangan budgeting-nya jika MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
”MK pasti akan mempertimbangkan semua usulan/kritik/opini yang berkembang di masyarakat soal pengujian atas UU tertentu,” kata Allan meskipun pada akhirnya semuanya ditentukan oleh sikap dari sembilan hakim konstitusi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F15%2F5fed09f7-9842-4b0e-bc9f-67e7a7ed0aa8_jpg.jpg)
Hakim konstitusi bersidang perkara terkait uji konstitusional sistem pemilu proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (15/6/2023).
Khusus mengenai pengujian batas minimal usia capres-cawapres, Allan meyakini tak hanya publik yang turut memantau persidangan perkara tersebut. Semua politisi dan elite partai politik juga dipastikan turut memonitor.
Bukan isu konstitusional
Setara Institute, dalam siaran persnya, mengkritisi langkah MK yang tetap melanjutkan persidangan pengujian Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Sebab, apabila mengacu pada putusan-putusan sebelumnya, MK sudah bisa memutus pengujian konstitusionalitas batas usia minimal capres-cawapres sejak sidang pemeriksaan pendahuluan. Sebab, uji materi batas usia minimal tersebut bukanlah isu konstitusional sehingga sejak awal harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Setara Institute juga mengungkapkan, batas usia dalam pengisian jabatan publik jelas merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka sehingga bukan menjadi kewenangan MK untuk mengaturnya. Pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) menjadi pihak yang berwenang untuk menetapkan batas usia minimal capres-cawapres.
Setara Institute juga meyakinkan MK agar tidak terbawa irama politik menjelang pemilu dengan mempertaruhkan konsistensi, integritas, dan berbagai pengetahuan yang telah dihasilkan oleh MK sendiri dengan memaksakan diri menguji norma yang sebenarnya tidak mengandung isu konstitusionalitas.

Safari Politik Akhir Pekan Tiga Bakal Capres
”MK mesti mewaspadai gejala judisialisasi politik otoritarianisme dengan mengakomodasi kehendak rezim, termasuk agenda terselubung di balik pengujian norma batas usia minimal capres-cawapres hanya beberapa bulan menuju batas waktu pendaftaran. Untuk menjaga integritas pemilu yang tahapannya tengah berlangsung, MK sebaiknya menunda sidang perkara pengujian batas usia ini hingga pemilu usai,” kata Ismail Hasani, peneliti senior Setara Institute.
MK hingga saat ini sudah beberapa kali menyidangkan perkara tersebut. Pada 1 Agustus 2023, pemerintah dan DPR sudah memberikan keterangan yang intinya menyerahkan sepenuhnya persoalan batas minimal usia capres-cawapres tersebut kepada MK. Baik pemerintah maupun DPR berpandangan bahwa persoalan angka/usia pejabat publik memang menjadi kewenangan mereka untuk mengaturnya (open legal policy).
Namun, pemerintah dan DPR mendalilkan bahwa MK bisa saja mengambil alih open legal policy tersebut apabila menilai ada pengaturan yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas, rasionalitas, serta mengandung ketidakadilan. Salah satu contohnya putusan terkait pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur tentang syarat menjadi pimpinan KPK.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F17%2F3cf28fbd-1b14-4925-a684-4e810f4ee06f_jpg.jpg)
Pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Maaruf Amin berfoto bersama unsur pimpinan sembilan parpol pendukungnya usai mendaftarkan diri sebagai bacapres dan bacawapres periode 2019-2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (10/8/2018).
Selain pemerintah dan DPR, MK juga sudah mendengarkan keterangan dari pihak terkait, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Partai Gerindra, pada persidangan 8 Agustus 2023. MK masih akan menggelar setidaknya dua kali sidang untuk mendengarkan keterangan ahli yang akan diajukan oleh pemohon uji materi 51/2023 dan 55/2023 yang masing-masing mengajukan satu ahli, pemerintah menghadirkan satu ahli, dan juga Perludem yang akan menghadirkan dua ahli.
Dengan demikian, MK akan mendengarkan total lima ahli dalam perkara ini. Tiga ahli akan didengarkan keterangannya pada persidangan 22 Agustus mendatang. Setelah itu, bola ada di tangan sembilan hakim konstitusi untuk memutuskan berapa usia minimal capres dan cawapres.