Hingga Kini Belum Ada Wacana Revisi UU Peradilan Militer
Kalangan DPR menyatakan, meski pemerintah sudah membuka wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, belum pernah ada pembicaraan terkait di Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pemerintah sudah membuka wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, belum pernah ada pembicaraan terkait di DPR. Bahkan, Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional 2020—2024. Sejumlah anggota Komisi I DPR berdalih, perubahan setiap undang-undang harus didasarkan pada kajian yang matang, bukan berdasar pada kasus tertentu.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, mengakui, pembicaraan tentang revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak pernah dilakukan oleh Komisi I. Ketika polemik penanganan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) muncul dan memicu masyarakat sipil mendorong revisi UU Peradilan Militer, DPR sedang dalam masa reses. Namun, sebelum reses pun rencana revisi itu tak pernah dibicarakan.
”Revisi UU TNI (UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI) saja tidak dibahas lagi, apalagi peradilan militer,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (7/8/2023).
”Revisi UU TNI (UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI) saja tidak dibahas lagi, apalagi peradilan militer. ”
Ia tidak memungkiri, revisi UU Peradilan Militer tidak masuk dalam prioritas sehingga tidak ada dalam daftar Prolegnas 2020—2024. Berdasarkan penelusuran di daftar Prolegnas 2020—2024, Rancangan UU (RUU) yang akan dibahas terkait dengan militer adalah RUU TNI dan RUU Tugas Perbantuan Militer.
Menurut Dave, perubahan UU bukan pekerjaan mudah. Hal itu harus dilakukan secara detail dan dengan pertimbangan matang, bukan berdasar pada kasus tertentu. ”Jangan sampai ada dampak panjang yang akhirnya menyulitkan TNI secara institusi,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan, menambahkan, setiap UU yang akan diubah harus didasarkan pada pandangan sejumlah pihak termasuk kondisi terkini yang dianggap memerlukan perubahan aturan. Kendati demikian, persoalan itu hingga saat ini belum pernah dibicarakan di internal Komisi I.
Sebab, polemik penanganan korupsi Basarnas, menurut dia, hanya memerlukan peningkatan koordinasi antara TNI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukan revisi UU.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Tubagus Hasanuddin, mengatakan, pihaknya setuju jika revisi UU Peradilan Militer akan dilakukan. Namun, ia meminta agar pemerintah yang mengusulkan revisi itu, bukan DPR. Hal itu dinilai lebih tepat karena pemerintah lebih mengetahui kebutuhan untuk mengubah UU Peradilan Militer.
”Pihaknya setuju jika revisi UU Peradilan Militer akan dilakukan."
Sebelumnya, wacana untuk merevisi UU Peradilan Militer disuarakan masyarakat sipil seiring dengan polemik penanganan korupsi di Basarnas yang melibatkan Kepala Basarnas 2021—2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto.
Penetapan Henri dan Afri sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai protes dari Pusat Polisi Militer TNI dengan alasan, mengacu UU Peradilan Militer, anggota TNI aktif yang melanggar hukum harus ditangani Polisi Militer. KPK pun menyerahkan dua tersangka itu ke Pusat Polisi Militer TNI untuk diproses lebih lanjut.
Menanggapi usul masyarakat sipil untuk merevisi UU Peradilan Militer, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sempat memberikan sinyal positif. Keduanya terbuka jika revisi akan dilakukan, bahkan Mahfud menyatakan mempertimbangkan usulan masyarakat sipil.
Desakan
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, pihaknya sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sistem Keamanan mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU Peradilan Militer. ”UU Peradilan Militer sudah tidak relevan pascalahirnya UU TNI. UU Peradilan Militer juga memiliki permasalahan norma dan penerapannya,” kata Andi.
”UU Peradilan Militer sudah tidak relevan pascalahirnya UU TNI. UU Peradilan Militer juga memiliki permasalahan norma dan penerapannya. ”
Permasalahan tersebut di antaranya terkait dengan kekeliruan implementasi UU Peradilan Militer, yakni dengan menarik prajurit TNI yang melanggar hukum ke yurisdiksi militer. Padahal, jika mengacu ke Tap MPR Nomor VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri, diatur bahwa prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam pelanggaran pidana umum. Ketentuan itu diperkuat Pasal 65 Ayat (2) dan Ayat (3) UU TNI yang berbicara tentang prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum.
”Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya langkah untuk merevisi UU Peradilan Militer. Dalam rangka mengakhiri arogansi hukum militer dan demi mewujudkan supremasi sipil di Indonesia.”
Selain itu, sejumlah peraturan yang menjadi dasar UU Peradilan Militer sudah tidak berlaku atau telah diubah dengan UU baru. UU tersebut juga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa peradilan militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada UU No 48/2009, semestinya peradilan militer hanya mengadili pidana yang terkait tindakan militer, bukan pidana umum.
Dilihat dari hukum internasional hak asasi manusia (HAM), pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Kovenan ini mewajibkan setiap negara untuk tidak menjalankan peradilan khusus dengan hukum acara tersendiri yang dalam praktiknya membeda-bedakan proses hukum antara warga sipil dan anggota militer. ”Dalam praktik di tingkat nasional, peradilan militer kerap kali hanya menjadi panggung sandiwara serta melanggengkan praktik-praktik impunitas dengan proses kasus yang banyak pelakunya tidak dihukum atau divonis ringan,” kata Andi.
Koalisi mencatat, sepanjang Oktober 2021—September 2022, ada 65 perkara yang diadili peradilan militer dengan jumlah terdakwa 152 orang. Hukuman yang diberikan kepada para terdakwa mayoritas vonis penjara dalam hitungan bulan. Hukuman ringan itu juga diberikan terhadap pelanggar HAM berat masa lalu.
”Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya langkah untuk merevisi UU Peradilan Militer. Dalam rangka mengakhiri arogansi hukum militer dan demi mewujudkan supremasi sipil di Indonesia,” ujar Andi.