Anggaran Pemerintah Terbatas, Skema PPPK Paruh Waktu Jadi Solusi
PPPK paruh waktu menjadi salah satu jalan keluar yang ditawarkan karena pemerintah kesulitan untuk membayar gaji para tenaga honorer.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meyakini rencana penerapan skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK paruh waktu bisa menjadi solusi terbaik untuk menghindari pemutusan hubungan kerja massal para tenaga honorer pada November 2023. Skema itu juga dianggap mampu mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah. Namun, forum tenaga honorer menolak skema itu dan berkukuh agar tetap bisa diangkat menjadi PPPK melalui seleksi.
Asisten Deputi Perancangan Jabatan, Perencanaan, dan Pengadaan Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Aba Subagja melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (2/8/2023), mengatakan, penyelesaian kasus tenaga honorer menjadi salah satu kluster yang dibahas dalam revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Salah satu solusinya, para tenaga honorer tidak dipecat, melainkan dialihkan menjadi PPPK paruh waktu.
Ia mengungkapkan, PPPK paruh waktu menjadi salah satu jalan keluar karena selama ini instansi pemerintah mengalami kesulitan untuk membayar gaji para tenaga honorernya. Dengan skema itu, para pegawai ini hanya akan bekerja selama beberapa jam sesuai kebutuhan. Honor yang diberikan juga disesuaikan dengan lamanya waktu bekerja.
”Ini persoalannya (keterbatasan) uang, anggaran. Kalau dibayar Rp 5 juta, kami tidak mampu. Berarti, terlepas dari sebutan apa pun, ya sudahlah, dibayar Rp 1 juta, seminggu cukup dua kali saja ke kantor. Sisanya, Anda bisa usaha yang lain,” ujar Aba.
Menurut Aba, skema ini hanya bersifat sementara. Namun, sewaktu-waktu instansi itu sudah memiliki anggaran yang cukup, mereka bisa bekerja secara penuh. ”Jadi, ini masa transisi supaya mereka tidak dikeluarkan sehingga mereka punya status yang kuat. Boleh dong bekerja cuma seminggu tetapi dibayar cuma segini. Jadi, itu jalan tengah salah satunya dari problematika yang kita hadapi saat ini,” ujarnya.
Dipertimbangkan secara matang
Dihubungi secara terpisah, Ketua Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional (TIRBN) Soni Sumarsono menyampaikan, penyelesaian kasus tenaga honorer ini perlu dipertimbangkan secara matang karena menyangkut kapasitas fiskal daerah. ”Jangan sampai semua ditangani dan daerah tidak bisa membangun. Itu namanya sebuah dilema,” ujarnya.
PPPK paruh waktu menjadi salah satu jalan keluar karena selama ini instansi pemerintah mengalami kesulitan untuk membayar gaji para tenaga honorer.
Berkaitan dengan PPPK paruh waktu, hal tersebut masih berupa wacana dan belum menjadi sebuah kebijakan. Sebab, pembahasan revisi UU ASN hingga saat ini masih berjalan. Namun, menurut dia, penting untuk mendetailkan skema PPPK paruh waktu agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
”Paruh waktu itu tergantung jenis pekerjaannya. Kalau jenis pekerjaan pelayanan publik, kan, sulit. Semua jadi berantakan. Tetapi, kalau jenis pekerjaan yang sifatnya outsourcing, seperti petugas kebersihan, petugas perpustakaan, kan, masih dimungkinkan dengan model seperti itu,” ujar Soni.
Ia mendukung langkah Kemenpan dan RB yang mana melarang keras para pimpinan instansi untuk merekrut kembali tenaga honorer. Sebab, jika keran itu terus dibuka, persoalan tenaga honorer ini tidak akan pernah selesai. Sebagaimana diketahui, jumlah tenaga honorer terus meningkat dari tahun ke tahun.
Secara terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, meminta pemerintah agar terus mengkaji lebih dalam baik dan buruk penerapan skema PPPK paruh waktu. Di sisi lain, ia juga sepakat dengan Soni, perlu ada pengategorian yang jelas terkait jenis pekerjaan yang bisa dilakukan melalui skema tersebut.
”Jadi, artinya, soal mana jenis pekerjaan yang full time dan tidak full time, sepenuhnya diserahkan ke pemerintah. Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam, mana-mana saja pekerjaan tersebut,” kata Guspardi.
Ia meyakini, tidak mudah dalam mengkaji hal-hal tersebut. Sebab, setiap daerah memiliki tantangan dan situasi yang berbeda-beda. ”Artinya, Kemenpan dan RB ini harus melakukan koordinasi, rapat kerja dengan pimpinan instansi, terutama di daerah-daerah, agar mendapat masukan yang pas dan akhirnya bisa dirumuskan dengan baik,” ujarnya.
Guspardi juga mengingatkan agar ada mekanisme perekrutan yang jelas dalam PPPK ini. Sebab, keberadaan mereka sangat memengaruhi kualitas birokrasi. ”Sistem merit harus menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan. Sistem merit merupakan keniscayaan. Para pegawai ini, kan, pelayanan masyarakat. Sebagai pelayan, masalah kompetensi, kapabilitas, integritas, dalam rangka menjamin sistem merit itu menjadi bagian penting dalam perekrutan ASN,” tegasnya.
Menolak
Ketua Umum Perkumpulan Honorer Kategori 2 Indonesia (PHK2I) Sahirudin Anto menegaskan, pihaknya menolak skema PPPK paruh waktu. Sebab, di Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, tidak ada satu pasal pun yang mengatur mengenai skema PPPK paruh waktu.
Dalam upaya penyelesaian kasus tenaga honorer, kata Sahirudin, pemerintah harus mengacu pada regulasi yang ada. Artinya, pengangkatan tenaga honorer diatur melalui skema rekrutmen calon ASN. ”Penerapan skema PPPK paruh waktu tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Kami merasa dirugikan karena inkonsistensi pemerintah,” kata Sahirudin.
Adapun, saat ini jumlah tenaga honorer K2 hanya berkisar 200.000 orang. Pada 2018, jumlah tenaga honorer K2 bisa mencapai 438.000. Namun, banyak dari tenaga honorer sudah diangkat menjadi PPPK melalui rekrutmen calon ASN pada 2019, 2020, dan 2021.
”Kami harap, dalam rekrutmen nanti, pemerintah lebih memberikan afirmasi kepada tenaga teknis. Dari rekrutmen sebelum-sebelumnya, mayoritas yang lolos itu guru dan tenaga kesehatan. Sekarang, dari 200.000 orang, banyak tenaga teknis telantar,” kata Sahirudin.