Usut Kasus Polisi Tembak Polisi, Polri Dituntut Obyektif
Tewasnya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage karena tertembak oleh sesama rekannya menambah panjang kasus polisi tembak polisi dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –JAKARTA, KOMPAS Kepolisian Negara RI dituntut lebih obyektif dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan anggotanya, seperti tertembaknya Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage (21) di Rumah Susun Polri, Cikeas, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu lalu. Penghilangan nyawa seseorang, termasuk anggota kepolisian, bukan hanya ranah disiplin dan etik internal, melainkan juga pidana umum.
Brigadir Dua (Bripda) Ignatius tewas setelah tertembak senjata api rekannya sesama anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Saat ini, Polri tengah mengusut dugaan pelanggaran etik dan juga pidana dalam peristiwa itu. Kepolisian Resor (Polres) Bogor telah menetapkan dua tersangka, yakni Bripda IM dan Brigadir Kepala (Bripka) IG.
Kasus ini menambah panjang daftar perkara polisi tembak polisi di internal Korps Bhayangkara. Pada awal Juli 2022, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J tewas ditembak. Peristiwa itu terjadi di rumah dinas Ferdy Sambo yang kala itu menjabat Kepala Divisi Propam Polri.
Peristiwa serupa terjadi pada September 2022. Seorang polisi di Lampung juga tewas tertembak rekannya sendiri.
Melihat rentetan kasus penembakan itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, Jumat (28/7/2023), mengatakan, kepolisian harus obyektif dalam menangani kasus-kasus semacam itu. Kepolisian perlu melibatkan pihak eksternal, terutama dari ahli waris atau keluarga korban.
”Publik tidak akan percaya jika pengusutan hanya melibatkan Kompolnas. Dalam kasus Sambo, misalnya, Kompolnas seolah bertindak hanya jadi alat legitimasi polisi,” katanya.
Selain itu, menurut Bambang, penghilangan hak hidup atau nyawa seseorang, meskipun itu personel kepolisian, bukan hanya ranah disiplin dan etik internal, melainkan juga masuk pidana umum. Itu artinya keluarga korban berhak menuntut dilibatkan dalam proses penyelidikan dengan pendampingan kuasa hukum.
Kepolisian harus obyektif dalam menangani kasus-kasus semacam itu. Kepolisian perlu melibatkan pihak eksternal, terutama dari ahli waris atau keluarga korban
Pelibatan pihak keluarga dapat dilakukan saat rekonstruksi. Polisi juga harus membuka informasi hasil otopsi korban penembakan kepada pihak eksternal tersebut. ”Olah tempat kejadian perkara (TKP), rekonstruksi, dan hasil otopsi biasanya bisa membuka kejanggalan-kejanggalan,” ujarnya.
Anggota Kompolnas, Poengky Indarti, sepakat dengan pelibatan pihak eksternal dalam pengusutan kasus-kasus dugaan penembakan di kepolisian. Pihak keluarga dapat diundang saat rekonstruksi agar ada transparansi.
Meski demikian, menurut Poengky, keluarga dan pihak eksternal lain tidak dapat dilibatkan dalam seluruh proses penyidikan. Selain mengganggu dan membuka peluang intervensi, pelibatan pihak eksternal dalam seluruh proses penyidikan juga melanggar Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Penyidikan berlanjut
Penyidikan kasus tertembaknya Bripda Ignatius terus berlanjut. Kapolres Bogor Ajun Komisaris Besar Rio Wahyu Anggoro mengatakan, penyidik Polres Bogor telah memeriksa delapan saksi dan menyita sejumlah barang bukti. Beberapa di antaranya rekaman CCTV Rusun Polri, 1 pucuk senjata api jenis pistol rakitan non-organik, 1 selongsong peluru kaliber 45 ACP, 1 proyektil peluru kaliber 45 ACP, serta telepon seluler korban dan saksi.
Polres Bogor juga telah menetapkan dua tersangka. Mereka adalah IM (23) sebagai pengguna senjata api serta IG (33) sebagai pemilik senjata api. Keduanya dijerat dengan pasal pembunuhan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan mengatakan, selain perkara pidana, Polri juga menangani dugaan pelanggaran disiplin dan kode etik oleh IM dan IG. Perkara dugaan pelanggaran kode etik itu ditangani Divisi Propam Polri.