Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyayangkan konsistensi aparat penegak hukum untuk memedomani SKB Implementasi Pasal-pasal Karet UU ITE ataupun UU ITE secara proporsional.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau RUU ITE yang berlarut-larut, ditambah dengan penegakan Surat Keputusan Bersama Implementasi UU ITE yang tidak berjalan, membuat kriminalisasi dengan pasal karet regulasi terus terjadi. Pemerintah berharap perubahan kedua UU ITE ini segera disahkan oleh DPR agar tidak ada lagi fenomena serupa.
Kasus terbaru, Wahyu Dwi Nugroho, pedagang di Bogor, Jawa Barat, disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena memprotes kebijakan larangan berbelanja di warung-warung di sekitar Majelis Taklim Zaadul Muslim Al-Busyro. Protes kebijakan itu dia unggah di akun Tiktok. Wahyu akhirnya dilaporkan oleh keluarga majelis taklim di Bogor itu.
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kamis (20/7/2023), mengungkapkan, pemerintah menyayangkan konsistensi aparat penegak hukum untuk memedomani SKB Implementasi Pasal-pasal Karet UU ITE ataupun UU ITE secara proporsional.
SKB yang ditandatangani oleh Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Komunikasi dan Informatika itu sudah mengatur tentang penyelesaian dengan cara keadilan restoratif (restorative justice/RJ). Keadilan restoratif adalah memproses hukum dengan mengutamakan mediasi antarpihak. Hal itu seharusnya bisa digunakan untuk tindak pidana ringan.
”Fitnah, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan itu sudah diatur supaya diselesaikan secara RJ. Hal-hal kecil, tetapi langsung dilaporkan ke kantor polisi, kejaksaan dan masih diteruskan kasusnya (sampai pengadilan), seharusnya tidak boleh seperti itu,” kata Mahfud.
Fitnah, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan itu sudah diatur supaya diselesaikan secara restorative justice. Hal-hal kecil, tetapi langsung dilaporkan ke kantor polisi, kejaksaan, dan masih diteruskan kasusnya (sampai ke pengadilan), seharusnya tidak boleh seperti itu.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menambahkan, sudah ada parameter terukur di SKB Implementasi Pasal Karet UU ITE untuk menindak kasus-kasus kejahatan ITE yang memicu kerusuhan atau keonaran. Hal itu memang bisa ditindak setelah melalui proses mediasi di aparat penegak hukum. Namun, orang yang sudah meminta maaf untuk perkara kecil, seperti protes kebijakan, dan masih diproses hukum melalui pengadilan, menurutnya, sangat disayangkan.
”Hal-hal yang tidak boleh diselesaikan dengan kasus-kasus korupsi malah diselesaikan dengan RJ. Misalnya korupsi, atau penganiayaan. Tetapi, hal-hal yang kecil malah masih diteruskan (sampai ke pengadilan). Konsistensi aparat penegak hukum dipertanyakan di sini,” katanya.
Hal-hal yang tidak boleh diselesaikan dengan kasus-kasus korupsi malah diselesaikan dengan RJ. Misalnya korupsi, atau penganiayaan. Tetapi hal-hal yang kecil malah masih diteruskan (sampai ke pengadilan). Konsistensi aparat penegak hukum dipertanyakan di sini.
Banyaknya kasus seperti ini, lanjut Mahfud, menandakan bahwa revisi UU ITE memang penting dan mendesak. Pemerintah telah menyelesaikan tugasnya menyusun naskah akademik dan draf revisi UU ITE. Saat ini, draf regulasi itu sedang dibahas di Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR. Dia berharap regulasi itu bisa segera disahkan karena pembahasan pun sudah sampai pada titik akhir.
”Persoalannya sekarang norma pasal di UU ITE itu sudah diatur di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah disahkan. Tetapi, itu baru berlaku tahun 2026. Menurut saya, revisi UU ITE penting untuk segera disahkan, tetapi nanti diberi peraturan peralihan,” lanjutnya.
Aturan peralihan itu, katanya, mengatur agar revisi UU ITE berlaku sampai KUHP baru berlaku di tahun 2026. Dengan demikian, tidak terjadi kekosongan hukum.
”Kami berharap mudah-mudahan segera disahkan karena (draf revisi UU ITE) sudah didiskusikan lama lintas lembaga, lintas negara, lintas lembaga masyarakat. Masyarakat sipil juga sudah ikut membahas ini. DPR harus segera memutuskan setuju atau tidak di sana,” ungkapnya.
Hampir selesai
Dihubungi terpisah, Ketua Panja RUU ITE Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, pembahasan revisi UU ITE sudah hampir selesai. Dia berharap RUU itu bisa selesai dalam pembahasan satu masa sidang lagi. Dia juga sepakat dengan pemerintah bahwa regulasi itu perlu segera disahkan, walaupun sejumlah norma sudah diatur di KUHP baru yang akan berlaku di tahun 2026. Revisi UU ITE penting untuk segera disahkan agar tidak ada lagi kriminalisasi pasal karet seperti yang menimpa pedagang di Bogor.
”Mudah-mudahan setelah RUU ITE disahkan, apalagi KUHP baru juga sudah berlaku tidak akan ada pasal karet lagi. Munculnya kasus-kasus kriminalisasi pasal karet itu bagian dari exercise UU yang kami buat. Kalau sudah ada perubahan, tidak akan lagi hal itu terulang,” ujarnya.
Mudah-mudahan setelah RUU ITE disahkan, apalagi KUHP baru juga sudah berlaku tidak akan ada pasal karet lagi. Munculnya kasus-kasus kriminalisasi pasal karet itu bagian dari exercise UU yang kami buat. Kalau sudah ada perubahan, tidak akan lagi hal itu terulang.
Sebab, lanjutnya, di dalam revisi UU ITE sudah ada perubahan norma pasal mendasar yang semakin tegas, dan jelas, agar tidak menjadi celah kriminalisasi pasal karet seperti dulu. Dengan rumusan pasal yang jelas dan tegas, aparat penegak hukum akan lebih mudah mengimplementasikan agar pasal tak multitafsir. Orang yang mengkritik di media sosial tidak akan dengan mudahnya terjerat hukum. Apalagi, jika kritik itu menyangkut kebijakan dan didasarkan pada argumen yang kuat.
”Fraksi-fraksi pun juga sudah sepakat bahwa kritik yang disertai dasar argumen kuat boleh saja. Fokus dari revisi UU ITE memang menghilangkan pasal-pasal karet,” katanya.
Fraksi-fraksi pun juga sudah sepakat bahwa kritik yang disertai dasar argumen kuat boleh saja. Fokus dari revisi UU ITE memang menghilangkan pasal-pasal karet.
Meskipun demikian, pembahasan revisi UU ITE yang sejak Mei hingga Juli ini juga menuai kritik tajam dari masyarakat sipil karena tidak digelar secara terbuka. Namun, Kharis menyebut pembahasan dilakukan secara tertutup karena kerap terjadi diskusi-diskusi sensitif yang bisa menimbulkan kegaduhan jika tersiar secara parsial di hadapan publik. Diskusi itu termasuk pasal-pasal karet yang selama ini mendapat kritik keras oleh masyarakat sipil.
Terkait dengan kasus kriminalisasi pedagang di Bogor, saat ini kasusnya sudah bergulir dan sedang diperiksa perkaranya oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, ICJR sudah mengirimkan surat sahabat pengadilan (amicus curiae) sebagai pertimbangan majelis hakim untuk perkara dengan nomor register 283/Pid.Sus/2023/PN JKT.SEL atas nama Wahyu Dwi Nugroho. Terdakwa adalah pedagang yang mengkritik spanduk seruan larangan berbelanja di daerah ruko miliknya. Atas video keluhannya, terdakwa dilaporkan melakukan ujaran kebencian terhadap kelompok yang memasang seruan itu.
”Dengan surat amicus curiae itu, ICJR berharap majelis hakim bisa mempertimbangkan beberapa kekeliruan secara formil dan catatan terhadap penafsiran delik Pasal 28 Ayat (2) UU ITE,” ucapnya.