MA Larang Pengadilan Lakukan Penetapan Perkawinan Beda Agama
Kebijakan MA dianggap sebagai kemunduran hukum. Pasalnya, perkawinan beda agama diizinkan oleh Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Gedung Mahkamah Agung
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung meminta seluruh pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum agama.
Kebijakan tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Seperti diketahui, Pasal 32 Huruf a UU Adminduk berbunyi ”Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”. Adapun penjelasan Pasal 38 Huruf a UU Adminduk berbunyi, ”Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antarumat yang berbeda agama atau yang dilakukan penganut kepercayaan”.
Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Suharto, saat dikonfirmasi pada Selasa (18/7/2023) malam mengungkapkan, mencermati dua atau lebih undang-undang yang terkesan bertentangan, paling bijak adalah menggunakan asas-asas perundang-undangan. Surat edaran Ketua MA pada dasarnya memberikan petunjuk kepada pengadilan di bawah MA dengan bersandarkan pada Pasal 2 UU Perkawinan.
Selain itu, ia juga meminta semua pihak membedakan secara jernih antara perkawinan dan pencatatan perkawinan.
Ilustrasi. Potret Pengadilan Agama Indramayu di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (26/1/2023).
Pada 17 Juli 2023, Ketua MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antarumat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. SEMA tersebut mengacu pada Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Huruf f UU 1/1974 tentang Perkawinan. Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Menurut Suharto, surat edaran tersebut ditujukan kepada ketua pengadilan tingkat pertama dan banding yang isinya petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat beda agama dan kepercayaan. Tujuannya untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam menangani perkara tersebut. Sesuai Pasal 32 UU MA, MA berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan kepada seluruh pengadilan tanpa mengurangi kebebasan dan kemandirian hakim.
Kemunduran hukum
Salah satu advokat yang pernah mendampingi klien menguji UU Perkawinan terkait perkawinan beda agama, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mempertanyakan langkah MA mengeluarkan SEMA No 2/2023. Ia menilai SEMA tersebut sebagai sebuah kemunduran hukum. ”Secara substansi, isinya bermasalah. Secara prosedural, pembentukannya bermasalah,” ujar Zico.
Menurut dia, seharusnya pelarangan bagi pengadilan menetapkan perkawinan beda agama dilakukan dengan undang-undang.
Baca juga: Bahagia Dulu, Beda Agama Kemudian
”Nikah beda agama itu diizinkan oleh UU Adminduk. Kenapa sekarang dilarang oleh selevel SEMA yang jelas-jelas bukan peraturan perundang-undangan. Kalau mau melarang, harus dengan UU. Ini MA melewati batas kewenangannya, mengambil kewenangan DPR,” ujarnya.
Beberapa kali PN mengeluarkan putusan terhadap permohonan penetapan perkawinan beda agama. Misalnya, PN Surabaya dalam penetapannya Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby mengizinkan pasangan berbeda agama (Islam dan Kristen) untuk menikah di dinas kependudukan dan catatan sipil setempat. Penetapan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Putusan MK
Persoalan mengenai perkawinan beda agama juga sudah beberapa kali dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Terakhir, pada 2022, MK menolak permohonan E Ramos Patege yang menguji konstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan.
Dalam putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, MK tidak melihat adanya alasan untuk bergeser dari pendapat sebelumnya bahwa pasal yang diuji tidak bertentangan dengan konstitusi. Khususnya, jaminan terhadap hak memeluk agama dan beribadat sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, dan hak-hak lain yang terkait.
Baca juga: Dukcapil Jakarta Selatan Keluarkan Empat Akta Perkawinan Beda Agama di 2022
MK juga mempertimbangkan UU Adminduk, khususnya terkait Pasal 35 Huruf a, terkait pencatatan untuk perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan (perkawinan antarumat yang berbeda agama). Namun, menurut MK, hal itu bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama.
"Sebagai peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut, termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan pengadilan," demikian pertimbangan MK.
Dua hakim konstitusi, yaitu Daniel Yusmic P Foekh dan Suhartoyo, mengungkapkan concurring opinion atau alasan yang berbeda.
Suhartoyo misalnya mengungkap tentang fenomena perkawinan beda agama yang semakin berpotensi meningkat akibat makin tipisnya sekat dalam menjalankan aktivitas sosial yang mengaburkan perbedaan suku, agama, dan ras.
Hakim konsitusi Saldi Isra (kiri) berbincang dengan hakim konstitusi Suhartoyo saat pembacaan keputusan terkait perkara perselisihan sengketa pemilihan kepala daerah Tahun 2020 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jakarta, Senin (15/02/2021).
Ia mengutip data yang dihimpun Indonesian Conference on Religion and Peace yang mencatat adanya 1.425 pasangan berbeda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia dalam kurun waktu 2005 hingga 2022. Ada penyelundupan hukum perkawinan dalam konteks perkawinan beda agama yang dilakukan dengan cara-cara yang kemudian dapat dilegalkan secara administrasi kependudukan, misal melangsungkan perkawinan di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, pindah agama sementara, dan mengajukan permohonan penetapan pengadilan.
Suhartoyo menilai, dalam konteks penegakan UU Perkawinan, fenomena-fenomena tersebut terjadi karena kurang atensinya negara yang tidak mengakui terhadap perkawinan beda agama. Ini menyebabkan ketidakpastian hukum dimana seharusnya negara hadir untuk menyelesaikan persoalan terkait.
Pada akhirnya, Suhartoyo berpendapat bahwa MK sepatutnya menyerahkan persoalan tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk kemudian diakomodasi dalam revisi UU Perkawinan dengan memberikan atensi terhadap segala persoalan dan dinamika sosial kemasyarakatan.
Sementara itu, Daniel menyarankan agar pemerintah dan DPR menata ulang pengaturan pasal-pasal yang dipersoalkan untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh warga negara.