KSP: Waktu Pelaksanaan Pilkada Tetap Berpatokan pada Undang-undang
KSP menyebut usulan penundaan Pilkada oleh Ketua Bawaslu ini sekadar curhat yang dilandasi latar belakang adanya kerumitan dalam mengatur tahapan pemilu dan pilkada.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kantor Staf Presiden menegaskan bahwa waktu pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah atau pilkada tetap berpatokan pada Undang-Undang Pilkada. Pemerintah menyatakan tidak ada penundaan pilkada karena UU masih mencantumkan pelaksanaan pilkada pada November 2024. Usulan penundaan pilkada serentak 2024 pernah disampaikan Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja dalam rapat di KSP.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro menegaskan bahwa pemerintah berpatokan pada UU. ”Sepanjang UU yang mengatur tentang waktu pelaksanaan pilkada itu belum diubah, maka tidak ada skenario melakukan penundaan,” ujar Deputi IV KSP Juri Ardiantoro saat mendampingi Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Juri mengatakan bahwa usulan penundaan pilkada oleh Ketua Bawaslu ini sekadar curhat yang dilandasi latar belakang adanya kerumitan dalam mengatur tahapan pemilu dan pilkada. ”Meskipun kami juga memahami ada kerumitan di dalam mengatur tahapan, kami percaya penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu bisa mengatur, mengelola, menyinkronisasikan,” tambahnya.
Menurut dia, Bawaslu melihat ada kerumitan pelaksanaan pemilu serentak karena ada tahapan yang tumpang tindih antara pemilu dan pilkada. Pemilu dilaksanakan pada Februari 2024, sedangkan pilkada pada November 2024. Namun, tahapan pilkada akan dimulai pada saat pemilu belum selesai.
Penyelenggara pemilu dipercaya mampu mengatur sumber daya yang ada untuk membuat tahapan pemilu dan pilkada bisa berjalan beriringan. Pemilu dan pilkada diharapkan bisa berjalan beriringan tanpa mengurangi kualitas penyelenggaraannya. Hingga kini, KSP juga tidak melihat adanya kekhawatiran terkait kerumitan pilkada, selain dari Bawaslu.
Saat ini, semua tahapan pemilu dinilai berjalan lancar. Moeldoko mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengintervensi tahapan dalam pemilu. ”Penyelenggaranya KPU, tetapi bagaimana faktor keamanan, itu tugas pemerintah. Bagaimana persoalan distribusi logistik, pemerintah juga hadir di situ, anggaran,” ucap Moeldoko menambahkan.
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Kementerian dan Lembaga Negara yang diselenggarakan KSP dengan tema ”Potensi dan Situasi Mutakhir Kerawanan Pemilu serta Strategi Nasional Penanggulangannya” di Jakarta, Rabu lalu, Rahmat Bagja menyinggung potensi permasalahan dalam pemilu dan pilkada serentak 2024.
Penyelenggaranya KPU, tetapi bagaimana faktor keamanan, itu tugas pemerintah. Bagaimana persoalan distribusi logistik, pemerintah juga hadir di situ, anggaran.
Potensi masalah
Keterangan tertulis di laman Bawaslu menyebut acara yang digelar secara daring dan luring ini dipandu Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani. Rapat koordinasi dihadiri sejumlah pihak, seperti anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, serta pejabat dari sejumlah kementerian dan lembaga negara, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kemenko Polhukam, Badan Intelijen Negara, dan Polri.
Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya, misalnya kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B.
Dalam rapat tersebut, Bagja menuturkan potensi permasalahan pada tiga aspek, yaitu aspek penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih. Beberapa masalah pada aspek penyelenggara pemilu meliputi pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik pemilu, seperti surat suara, hingga beban kerja penyelenggara pemilu yang terlalu tinggi.
Sinergi antara Bawaslu dan KPU terkait peraturan KPU (PKPU) dan peraturan Bawaslu (perbawaslu) juga belum optimal. ”Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya, misalnya kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B,” kata Bagja.
Dari aspek peserta pemilu, masalah muncul akibat masih maraknya politik uang, belum optimalnya transparansi pelaporan dana kampanye, netralitas aparatur sipil negara, dan penggunaan alat peraga kampanye yang tidak tertib. Dari aspek pemilih, pemilih masih kesulitan dalam menggunakan hak pilih, mengalami ancaman dan gangguan terhadap kebebasan pemilih, dan adanya penyebaran hoaks serta ujaran kebencian.
Menurut Bagja, potensi permasalahan terbesar dan terbanyak biasanya terjadi dalam gelaran pilkada. Pilkada 2024 dinilai sangat rawan berbagai permasalahan. Permasalahan ini mulai dari pelaksanaannya yang mengalami irisan tahapan dengan Pemilu 2024 hingga kesiapan menjaga keamanan dan ketertiban.
”Kami khawatir sebenarnya pemilihan 2024 ini, karena pemungutan suara pada November 2024, yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru. Tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti. Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada) karena ini pertama kali serentak,” ucapnya.