Pemilu 2024 Jangan Pinggirkan Pemilih Rentan, seperti Tunawisma hingga Penderita HIV
Seusai Deklarasi Pemilu Ramah HAM pada Juni lalu, Komnas HAM melakukan konsultasi publik akhir terkait Standar Norma dan Pengaturan soal Hak-hak Kelompok Rentan di pemilu. Tujuannya agar pemilih rentan tak dimarjinalkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mendorong penyelenggara pemilu untuk memperbaiki aspek inklusivitas dalam pesta demokrasi Pemilu 2024. Ibaratnya, pesta semua harus ikut terlibat bersukacita, termasuk kelompok marjinal. Sebab, hak pilih dalam pemilu adalah hak konstitusional warga negara.
Setelah melakukan Deklarasi Pemilu Ramah Hak Asasi Manusia pada medio Juni 2023 lalu, Komnas HAM melakukan konsultasi publik akhir terkait Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak-hak Kelompok Rentan dalam Pemilihan Umum di Jakarta, Kamis (13/7/2023). Konsultasi publik akhir itu dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bawaslu, masyarakat sipil, dan media massa. Setelah konsultasi akhir, tahapan berikutnya adalah pengesahan SNP dalam rapat paripurna di internal Komnas HAM.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota Komnas HAM, Saurlin P Siagian, menuturkan, penyusunan SNP adalah turunan dari mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. SNP adalah tafsir lembaga Komnas HAM terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, seperti diskriminasi terhadap kelompok marjinal dalam pemilu sebelumnya. Komnas HAM merumuskan ada 18 kelompok rentan dalam pemilu.
Mereka, di antaranya, adalah kelompok rentan umum, khusus, perempuan, kelompok keragaman seksual dan identitas jender (KSIG), tenaga kesehatan dan pasien rumah sakit, tunawisma, warga binaan pemasyarakatan, tahanan, pekerja perkebunan dan pertambangan, masyarakat adat, masyarakat di perbatasan dan kepulauan terpencil, pekerja rumah tangga (PRT), orang dengan HIV, anak dan pemilih pemula, lansia, penyintas konflik sosial, minoritas agama atau penghayat kepercayaan atau keyakinan, pekerja migran, penyandang disabilitas, dan penyintas bencana alam dan non-alam.
”Sebanyak 18 kelompok rentan itu memang belum mendapatkan secara utuh hak konstitusionalitasnya dari penyelenggara pemilu. SNP selain mengatur perlindungan hak-hak kelompok rentan dalam pemilu juga memuat peristiwa-peristiwa yang memudahkan orang untuk memahami,” kata Saurlin.
Sebanyak 18 kelompok rentan itu memang belum mendapatkan secara utuh hak konstitusionalitasnya dari penyelenggara pemilu. SNP selain mengatur perlindungan hak-hak kelompok rentan dalam pemilu juga memuat peristiwa-peristiwa yang memudahkan orang untuk memahami.
Diskriminasi dialami calon pekerja
Koordinator Advokasi Migrant Care Siti Badriyah mengatakan, dalam konteks kelompok marjinal, tidak hanya pekerja migran Indonesia (PMI) yang rentan. Calon pekerja yang masih berada di asrama juga rentan mengalami diskriminasi. Pemantauan Migrant Care pada tahun 2014, para pekerja tidak bisa keluar dari asrama untuk menggunakan hak pilihnya.
”Banyak calon pekerja migran yang masih di asrama itu mereka tidak bisa keluar dan ribuan jumlahnya,” katanya.
Badriah juga mencurigai penurunan daftar pemilih tetap (DPT) luar negeri yang turun jumlahnya dibandingkan dengan Pemilu 2019. Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih luar negeri mencapai 2.058.191. Adapun dalam Pemilu 2024 ini, jumlah pemilih menurun menjadi 1.750.474 orang. Menurut dia, penurunan data ini patut dicurigai karena berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada Mei 2023 disebutkan ada 4,6 juta pekerja migran yang bekerja melalui jalur resmi di luar negeri. Jika seluruh pemilih diasumsikan semuanya pekerja migran, ada selisih 2,85 juta pekerja migran yang berpotensi akan kehilangan hak pilihnya.
”Mereka yang tidak terdata ini mayoritas ingin memilih. Namun, kemudian banyak yang tidak terdata. Mereka yang terdata saja terkadang tidak bisa memilih karena jamnya (pemungutan suara) mepet sekali. Ini yang mesti dipikirkan oleh penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Mereka yang tidak terdata ini mayoritas ingin memilih. Namun, kemudian banyak yang tidak terdata. Mereka yang terdata saja terkadang tidak bisa memilih karena jamnya (pemungutan suara) mepet sekali. Ini yang mesti dipikirkan oleh penyelenggara pemilu.
Badriah juga menyoroti soal tidak adanya pengawas pemilu di Kotak Suara Keliling (KSK) di Selangor, Malaysia, pada tahun 2019 lalu. Dengan absennya pengawas pemilu itu, menurut dia, hasil pemilu di luar negeri itu akan mudah dimanipulasi atau dicurangi.
Perwakilan dari Partai Buruh Deni Sudrajat menambahkan, penyelenggara pemilu juga harus memperhatikan para buruh atau pekerja di pabrik atau industri. Di kawasan industri, seperti Bekasi, harus dipikirkan soal keberadaan tempat pemungutan suara (TPS) khusus. Seperti diketahui, di Kota dan Kabupaten Bekasi banyak jumlah pekerja urbannya. Mereka harus diakomodasi kepentingannya untuk bisa pindah memilih di lokasi domisili.
”Partai buruh secara redaksional meminta untuk ditambahkan pekerja industri dan pertambangan dalam kelompok rentan,” ucapnya.
Tiga tahap rawan diskriminasi
Anggota Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, mengungkapkan, SNP diharapkan dapat memperkuat argumentasi dalam mengadvokasi hak-hak kelompok rentan dalam penyelenggaraan pemilu. Menurut dia, dalam konteks kelompok rentan atau marjinal, ada tiga tahap yang rawan diskriminasi. Tiga tahap itu adalah pendataan pemilih, masa kampanye, dan terakhir hari pemungutan suara.
Adapun temuan-temuan kerentanan terhadap kelompok marjinal, di antaranya, adalah warga yang tinggal di panti sosial tidak bisa mencoblos karena tidak memiliki identitas kependudukan. Selain itu, warga binaan di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan juga tidak bisa memilih karena datanya tidak lengkap. Kelompok disabilitas juga masih banyak yang tidak bisa didata karena mereka tidak terbuka menyampaikan kondisi disabilitasnya.
”Jika kelompok disabilitas tidak jujur atau terbuka, pendataan KPU kemudian jadi bermasalah. Dia tidak tahu di TPS itu ada penyandang disabilitas sehingga tidak disediakan TPS khusus atau bahkan surat suara khusus. Oleh karena itu, kami imbau penyandang disabilitas terbuka sejak awal agar tidak menimbulkan diskriminasi,” ujarnya.
SNP tersebut ditargetkan dapat segera disahkan dalam rapat paripurna Komnas HAM. Ketika sudah disahkan, Komnas HAM akan road show untuk menyosialisasikan sehingga aturan itu dapat diimplementasikan oleh semua pemangku kebijakan.