Masyarakat Sipil Desak DPR Buka Pembahasan RUU ITE
Pelibatan publik dalam pembahasan revisi UU ITE cukup krusial mengingat draf RUU ITE yang diajukan pemerintah masih memuat sejumlah pasal bermasalah.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuka pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau RUU ITE. Pelibatan publik untuk mengawasi pembahasan penting karena RUU ITE itu masih memuat pasal-pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan berpotensi digunakan sebagai alat kriminalisasi warga.
RUU ITE yang terbengkalai sejak 2021 akhirnya dibahas mulai akhir Mei lalu. Akan tetapi, sejak saat itu pula, pembahasan yang dilakukan Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR bersama pemerintah itu tak pernah dibuka untuk publik. Tidak terkecuali pada rapat panja, Rabu (12/7/2023).
Mengacu catatan Indonesia Parliamentary Center (IPC) yang dihimpun dari pemberitaan media massa dan risalah rapat DPR, hingga 7 Juli 2023 setidaknya Panja RUU ITE telah menggelar 12 kali rapat pembahasan RUU ITE. Dari sejumlah agenda tersebut, hanya lima kali rapat yang diumumkan secara resmi di situs DPR, www.dpr.go.id. pengumuman dimaksud sebatas mencantumkan siapa saja yang hadir dalam rapat tanpa menyertakan sisi pembahasan.
Pelibatan publik cukup krusial mengingat revisi kedua UU ITE yang diajukan pemerintah masih memuat sejumlah pasal bermasalah.
Sebelum pembahasan dimulai, Komisi I mengadakan dua kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama perwakilan masyarakat sipil. Akan tetapi, setelah RDPU, tidak ada penjelasan sejauh mana masukan masyarakat diakomodasi dalam revisi UU ITE.
Johanna Poerba, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), salah satu bagian dari 28 organisasi masyarakat sipil yang membentuk Koalisi Serius Revisi UU ITE, mengatakan, pembahasan revisi UU ITE yang dilakukan secara tertutup menyalahi prinsip demokrasi. Dalam negara demokrasi, pembahasan UU semestinya melibatkan partisipasi bermakna masyarakat dengan memenuhi hak publik untuk didengar, mendapatkan informasi, dipertimbangkan masukannya, mendapatkan penjelasan, serta mengajukan komplain.
”Pelibatan publik cukup krusial mengingat revisi kedua UU ITE yang diajukan oleh pemerintah masih memuat sejumlah pasal bermasalah,” kata Joanna melalui keterangan tertulis, Rabu.
Ia melanjutkan, RUU ITE masih mempertahankan sejumlah pasal pidana yang semestinya dihapus karena sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa pasal yang semestinya dicabut adalah Pasal 27 Ayat (1) tentang kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik, Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian, Pasal 30, Pasal 31 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 Ayat (1), Pasal 45 Ayat (3), Pasal 45A Ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 Ayat (2).
”Koalisi juga menemukan dua pasal baru, Pasal 28A Ayat (1) dan (2) tentang informasi bohong, yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru,” kata Joanna.
Bayang-bayang kriminalisasi
Koalisi Serius Revisi UU ITE memandang, keberadaan pasal-pasal bermasalah itu akan berdampak pada duplikasi aturan saat KUHP yang disahkan pada Desember 2022 itu mulai berlaku pada 2026. Padahal, pasal-pasal tersebut terbukti kerap menjadi alat kriminalisasi serta pembungkaman aktivis, jurnalis, dan kelompok masyarakat kritis lainnya. Artinya, mempertahankan sejumlah pasal tersebut tidak akan menyelesaikan permasalahan, kekhawatiran, dan protes warga yang menjadi latar belakang revisi UU ITE.
Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), sepanjang 2013-2022, setidaknya ada 500 orang yang dilaporkan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE. Mayoritas pelapor adalah pejabat publik dan pihak yang merasa mewakili institusi atau organisasi pelapor dugaan pelanggaran UU ITE, misalnya pencemaran nama baik atau ujaran kebencian yang dilakukan warganet.
Tak hanya itu, keberadaan Pasal 27 Ayat (1) juga berpotensi menghambat korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan. Selama ini, pasal tersebut kerap digunakan pelaku kekerasan seksual untuk mengkriminalisasi korban, keluarga, dan pendampingnya. Pasal ini semestinya dihapus karena Indonesia telah memiliki Undang-Undang 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Koalisi juga mengusulkan agar pembentuk UU tak hanya fokus pada revisi pasal-pasal pidana. Sebab, pasal-pasal nonpidana dalam UU ITE juga perlu direvisi karena mengancam hak asasi manusia. Di antaranya Pasal 26 Ayat (3) terkait penghapusan data serta Pasal 40 Ayat (2a) dan (2b) tentang moderasi konten dan pelibatan penyelenggara sistem elektronik untuk menghindari pemutusan akses informasi.
Mengacu sejumlah persoalan itu, kata Joanna, koalisi meminta DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU ITE menjadi UU sampai semua pasal bermasalah dibahas tuntas dan tak lagi berpotensi melanggar hak asasi manusia. Pembentuk UU juga didesak untuk membuka pembahasan RUU ITE. ”Pembahasan revisi UU ITE secara tertutup hanya akan menghasilkan aturan yang sarat kepentingan elite dan jauh dari kepentingan untuk melindungi hak-hak asasi manusia,” ujarnya.
Dorongan untuk merevisi UU ITE sudah lama muncul dari kalangan masyarakat. Keberadaan sejumlah pasal karet atau multitafsir kerap digunakan untuk mengkriminalisasi warga dan berpotensi membungkam kebebasan berekspresi. Sejumlah persoalan itu sempat mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga lembaga, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara RI (Polri), pada awal 2021. SKB dimaksud berisi pedoman implementasi pasal-pasal karet UU ITE.
Namun, keberadaan SKB dinilai tak efektif karena penegak hukum tetap memproses kasus-kasus pidana tanpa mengacu pedoman tersebut. Dorongan untuk merevisi UU ITE pun terus berlanjut, hingga akhirnya pemerintah mengirimkan surat presiden (surpres) yang berisi usulan revisi UU ITE pada akhir 2021.
Sekalipun surpres telah diserahkan pada akhir 2021, pimpinan DPR tak kunjung menindaklanjuti hingga setahun setelahnya. Revisi UU ITE baru disepakati dan mulai dibahas pada akhir Mei 2023. Namun, pembahasan RUU yang menjadi perhatian publik itu selalu digelar tertutup.
Isu sensitif
Ketua Panja RUU ITE Abdul Kharis Almasyhari mengakui, pembahasan RUU ITE memang selalu dilaksanakan tertutup. Ia mengeklaim, tidak ada intensi untuk menutup-nutupi pembahasan dari publik. Rapat-rapat dilakukan secara tertutup karena pembahasan setiap pasal selalu memunculkan diskusi panjang baik di antara anggota panja maupun penegak hukum.
”Membahas satu pasal saja menghabiskan waktu tiga minggu,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Pembahasan dalam waktu panjang, kata Kharis, terjadi karena panja tidak ingin ada pasal karet atau multitafsir yang bisa digunakan untuk mengkriminalisasi warga dalam UU ITE. Oleh karena itu, setiap rumusan pasal selalu disimulasikan penggunaannya oleh penegak hukum. Dalam simulasi itu, panja kerap menggunakan istilah sensitif yang berpotensi memunculkan salah paham di kalangan publik jika tersiar secara parsial.
”Dalam penyusunan UU itu, kami sering mengambil contoh-contoh yang sensitif, rentan, yang mungkin bisa disalahartikan,” ujarnya.
Kendati demikian, dari sejumlah pasal yang diajukan untuk direvisi, tersisa dua pasal yang belum dibahas. Ia mengatakan tidak akan tergesa-gesa untuk menyelesaikan pembahasan agar RUU ITE bisa disahkan menjadi UU pada masa sidang yang akan berakhir pada Kamis (13/7/2023) besok. ”Enggak, enggak (ditargetkan selesai masa sidang ini), prosesnya masih panjang,” ujarnya.