Ditunggu Kontribusi Parpol Menanggulangi Misinformasi
Partai politik menjadi salah satu aktor yang dinilai bisa ikut berkontribusi menyebarkan misinformasi jelang dan saat Pemilu 2024. Komitmen partai untuk tanggulangi penyebaran misinformasi pun dinanti.
JAKARTA, KOMPAS — Potensi penyebaran misinformasi di Pemilu 2024 kian meningkat seiring penetrasi penggunaan internet dan media sosial. Komitmen partai politik dalam menanggulangi penyebaran misinformasi dinanti. Sebab, parpol menjadi salah satu aktor yang berkontribusi dalam menyebarkan misinformasi.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, sejumlah literatur dan riset tentang penyebaran gangguan informasi menunjukkan, misinformasi dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, penyebaran informasi palsu atau menyesatkan disebabkan adanya pendengung partisan atau partisan buzzer yang didanai oleh calon presiden untuk menyebarkan misinformasi.
”Pada beberapa hal, kemunculan pasukan siber yang dipekerjakan oleh partai politik ikut berkontribusi pada penyebaran misinformasi,” ujarnya saat seminar bertajuk ”Potensi Penyebaran Misinformasi dalam Pemilu 2024” di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Di sisi lain, lanjutnya, elite politik juga menjadi aktor yang berkontribusi dalam penyebaran misinformasi. Hal ini terjadi dalam kerusuhan di depan kantor Badan Pengawas Pemilu pada 21-23 Mei 2019 setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pemenang pemilu. Misinformasi terkait dugaan kecurangan pemilu yang diskenariokan elite memicu kerusuhan, bahkan menewaskan delapan orang dan ratusan orang mengalami luka.
Ketiga, misinformasi juga terjadi karena faktor bias partisan. Dalam Pemilu 2019, misinformasi terkait isu masuknya tenaga kerja ilegal dari China turut memengaruhi tingkat kepercayaan seseorang kepada misinformasi.
Baca juga: Dominasi Media Sosial dan Proyeksi Pemilu 2024
”Pertarungan pilpres yang kompetitif di antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2019 menunjukkan tingginya polarisasi dan penyebaran disinformasi,” ucap Arya.
Pertarungan pilpres yang kompetitif di antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam Pemilu 2019 menunjukkan tingginya polarisasi dan penyebaran disinformasi.
Ia menuturkan, ”operasi” penyebaran gangguan informasi terkait Pemilu 2024 sudah terjadi. Misinformasi menyasar kandidat dan penyelenggara pemilu, di awali dari Ganjar Pranowo didiskualifikasi Bawaslu. Lalu, Anies Baswedan menjadi tersangka Jakarta International Stadium (JIS), Juga hasil Pemilu 2024 yang dinilai sudah diketahui hasilnya. Namun, hingga saat ini ia menilai belum ada isu yang diperkirakan akan kuat dan cenderung masih ”nano-nano”.
Setelah adanya kandidat yang definitif (25 November 2023), pembicaraan soal pemilu dan capres diperkirakan akan meningkat, begitu juga penyebaran gangguan informasi.
”Setelah adanya kandidat yang definitif (25 November 2023), pembicaraan soal pemilu dan capres diperkirakan akan meningkat, begitu juga penyebaran gangguan informasi,” kata Arya.
Perubahan perilaku
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi dan Informasi Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, penyebaran gangguan informasi dalam pemilu diprediksi akan meningkat seiring dengan akses internet dan media sosial yang semakin luas. Apalagi, lebih dari 65 pemiih memiliki akses ke internet dan media sosial. Pemilih tersebut menjadi target potensial untuk penyebaran gangguan informasi. Terlebih, setiap parpol memiliki alat, pendengung, dan tim yang bisa berperang di media sosial untuk memengaruhi pemilih.
”Penyebaran gangguan informasi dapat dilakukan oleh berbagai aktor yang memiliki kepentingan politik. Mereka dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi guna memengaruhi persepsi dan pandangan pemilih,” ujarnya.
Menurut Nurul, penyebaran gangguan informasi dapat memengaruhi perilaku publik dan pemilih dengan menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga negara, kandidat, atau partai politik. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi dan mengganggu stabilitas politik.
Penyebaran gangguan informasi dapat dilakukan oleh berbagai aktor yang memiliki kepentingan politik. Mereka dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi guna memengaruhi persepsi dan pandangan pemilih.
Lebih jauh, penyebaran gangguan informasi juga dapat memengaruhi preferensi pemilih, baik dalam memilih kandidat maupun dalam mendukung kebijakan pemerintah. Jika pemilih terpapar secara masif oleh gangguan informasi yang salah atau menyesatkan, pemilih mungkin akan membuat keputusan politik berdasarkan informasi yang tidak akurat atau manipulatif.
”Strategi politik saat ini menunjukkan bahwa banyak partai politik ingin menggunakan berbagai strategi penting untuk meraih kemenangan,” ujar anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu.
Oleh karena itu, menurut Nurul, edukasi dan kecerdasan pemilih menjadi faktor penting dalam memerangi misinformasi yang diperkirakan kembali terjadi di Pemilu 2024. Pemilih harus bisa mengenali dan memfilter informasi yang benar dan akurat dalam membuat keputusan politik. Oleh karena itu, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam melawan penyebaran misinformasi harus terus dibangun.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Yohanis Fransiskus Lema, mengatakan, ruang publik harus diisi dengan informasi yang kredibel agar pemilih tidak dibanjiri informasi yang keliru. Jika banyak misinformasi bertebaran, pengambilan keputusan politik bisa salah karena asupan informasi yang keluru.
Menurut dia, penanggulangan misinformasi di Pemilu 2024 memiliki tantangan yang cukup berat. Sebab, misinformasi yang terjadi turut dipengaruhi adanya politik identitas, hoaks, dan post-truth. Politik identitas menghasilkan ”politik pengakuan” berlebihan yang menyebabkan tersingkirnya diskursus ilmiah, penalaran, kesetaraan, dan kejernihan akal sehat dalam menentukan pilihan. Kondisi ini dapat menimbulkan kekerasan, diskriminasi, perpecahan, dan disinformasi dalam masyarakat.
Adapun terkait hoaks, tren yang terjadi di Pemilu 2024 kemungkinan polanya sama seperti di Pemilu 2019. Pada pemilu sebelumnya, ditemukan 3.356 hoaks pada periode Agustus 2018 hingga 30 September 2019. Hoaks terbanyak biasanya muncul ketika masa pemungutan suara. Sementara post-truth dipengaruhi perilaku masyarakat yang bisa menjadi wartawan di media sosial. Mereka mengisi ruang publik dengan informasi yang diragukan kebenarannya.
Karena itu, ruang publik di Pemilu 2024 harus diisi dengan informasi yang kredibel karena bisa mendorong diskursus yang cerdas sehingga proses penalaran berjalan dengan baik.
”Karena itu, ruang publik di Pemilu 2024 harus diisi dengan informasi yang kredibel karena bisa mendorong diskursus yang cerdas sehingga proses penalaran berjalan dengan baik,” tutur Lema.
Sebagai peserta pemilu, lanjutnya, parpol juga punya tanggung jawab mewujudkan pemilu yang berkualitas. Oleh karena itu, parpol mesti memberikan edukasi politik kepada pemilih agar tidak mudah terpengaruh misinformasi. Sekalipun potensi misinformasi tetap besar, parpol harus bisa memberikan pembelajaran politik agar pemilih bisa menentukan pilihannya berdasarkan informasi yang akurat.
Kehilangan akal sehat
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, survei tentang misinformasi yang dilakukan seminggu sebelum Pemilu 2019 menunjukkan, mayoritas pemilih (sekitar 60 persen) tidak terekspose misinformasi. Pemilih yang terpapar dengan misinformasi di media sosial pun tidak langsung percaya terhadap informasi yang mereka peroleh.
Baca juga: Politik Identitas, Kekhawatiran KPU dan Kita Semua Jelang Pemilu 2024
Namun, ada kecenderungan penolakan misinformasi terhadap hal-hal yang tidak menguntungkan kandidat yang didukung. Sebaliknya, mereka cenderung memercayai misinformasi yang merugikan lawan politik. Polarisasi dari pendukung para kandidat membuat pemilih kehilangan akal sehat dalam menilai sebuah informasi. ”Seharusnya penolakan terhadap misinformasi bukan karena latar belakang partisan,” ujarnya.
Wakil Kepala Desk Politik, Hukum, dan Keamanan Kompas Antonius Ponco Anggoro mengatakan, penyebaran misinformasi menjelang Pemilu 2024 diperkirakan meningkat. Sasarannya adalah peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pemerintah, serta instansi lain yang berkaitan dengan pemilu, seperti media massa dan lembaga survei.
Oleh karena itu, media massa sebagai salah satu pilar demokrasi turut melawan misinformasi yang menyebar di masyarakat. Media juga harus merengkuh kepercayaan publik. Oleh karena itu, setiap informasi yang dihadirkan harus berkualitas dengan selalu mengedepankan jurnalisme berkualitas.
”Kompas, sebagai salah satu media massa, mencari kebenaran dan fakta di lapangan, menyeleksi, memverifikasi, mengolah, dan menyampaikan informasi berbasis metodologi dan kode etik ketat,” ujar Ponco.