Partai Buruh mempertanyakan selisih DPT luar negeri dan data pekerja migran yang mencapai lebih dari 2 juta.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Buruh meminta Komisi Pemilihan Umum kembali memutakhirkan data pemilih di luar negeri. Sebab, ada selisih jumlah pemilih di luar negeri dengan data pekerja migran yang signifikan. Tanpa perbaikan, jutaan pekerja migran dikhawatirkan berpotensi kehilangan hak pilihnya akibat tidak terdaftar di daftar pemilih tetap.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal di Jakarta, Senin (3/7/2023), mengatakan, hasil pencermatan Partai Buruh terhadap daftar pemilih tetap (DPT) menemukan ada keanehan dalam jumlah pemilih di luar negeri. Dalam DPT yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih luar negeri berjumlah 1.750.474 orang. Jumlah ini dinilai tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya pemilih di luar negeri.
Ia membandingkan data tersebut dengan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang diungkapkan pada Mei 2023 yang menyebut ada 4,6 juta pekerja migran melalui jalur resmi yang bekerja di luar negeri. Jika seluruh pemilih diasumsikan semuanya pekerja migran, ada selisih sekitar 2,85 juta pekerja migran yang berpotensi bakal kehilangan hak pilihnya. Namun, perkiraan pekerja migran yang akan kehilangan hak pilih jauh lebih besar karena pemilih di luar negeri tidak hanya dari kalangan pekerja migran, tetapi juga ada kelompok lain, seperti mahasiswa dan diplomat.
”Sedangkan jika mengacu data Bank Dunia yang menyebut ada 9 juta pekerja migran Indonesia, artinya lebih dari 7,3 pekerja migran berpotensi kehilangan hak pilihnya di Pemilu 2024,” kata Said Iqbal saat konferensi pers secara daring.
Oleh karena itu, lanjutnya, Partai Buruh meminta KPU untuk kembali memutakhirkan data pemilih di luar negeri. Pemutakhiran data tidak hanya dilakukan bersama Kementerian Luar Negeri, tetapi juga harus melibatkan BP2MI yang memiliki data akurat mengenai pekerja migran di luar negeri. ”Pekerja migran pasti memenuhi syarat untuk mendapat hak pilih karena usianya di atas 17 tahun,” ujarnya.
Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, mengatakan, dalam pemutakhiran data pemilih luar negeri, KPU juga berkoordinasi dengan BP2MI. Namun, sumber data yang digunakan untuk pemutakhiran data pemilih berasal dari data Kementerian Luar Negeri, termasuk dari atase ketenagakerjaan maupun atase pendidikan Kemlu di negara terkait. KPU, kata dia, tidak membeda-bedakan pekerja migran yang menggunakan dokumen resmi maupun ilegal untuk dicatat sebagai pemilih.
"Sepanjang memenuhi syarat dan bisa dibuktikan melalui dokumen pendukung, kami daftarkan di DPT luar negeri sekaligus menghapus datanya di daerah asal," katanya.
Sebelumnya, saat penetapan DPT, KPU menetapkan jumlah pemilih di Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih, terdiri dari 203.056.748 pemilih di dalam negeri dan 1.750.475 pemilih di luar negeri. Pemilih di luar negeri tersebut akan memilih di 3.059 tempat pemungutan suara (TPS) atau kotak pos yang disediakan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri. Mereka akan memilih presiden-wakil presiden serta pileg untuk daerah pemilihan DKI Jakarta II.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo turut mempertanyakan DPT pemilih luar negeri. Sebab, jumlahnya justru berkurang dibandingkan dengan DPT luar negeri di Pemilu 2019 yang mencapai 2 juta pemilih. Padahal, jumlah pekerja migran yang tercatat di berbagai lembaga menunjukkan lebih banyak dan antusiasme pekerja migran tetap tinggi.
”DPT pemilih luar negeri terasa sangat jomplang jika dibandingkan dengan data warga negara di luar negeri, utamanya pekerja migran,” ucapnya.
Menurut Wahyu, tidak ada upaya serius dan luar biasa dalam mendata pemilih di luar negeri. Hal tersebut salah satunya terlihat dari DPT di Pemilu 2024 yang mendekati DPT di Pemilu 2019. Padahal, data dari berbagai pihak menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar.
Selain itu, pendataan masih menjadi masalah karena berbagai pihak memiliki versi jumlah pekerja migran yang berbeda dengan selisihnya yang sangat besar. Data dari berbagai pihak juga belum disinkronisasi dengan baik sehingga selalu menimbulkan masalah berulang saat pendataan pemilih.
”Jangan ada anggapan pemilu di luar negeri bobotnya berbeda dengan di dalam negeri karena semua warga negara punya hak yang sama dalam pemilu,” ujar Wahyu.
Ia mengatakan, DPT luar negeri yang akurat harusnya bisa dibuat KPU karena berdampak pada penyediaan surat suara. Surat suara tambahan sebanyak 2 persen dinilai tidak cukup untuk mengantisipasi pemilih yang masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK).
”Dalam pemantauan di Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 di sejumlah negara, kami bahkan menemukan surat suara tambahan yang jumlahnya lebih dari 50 persen. Ini bisa menjadi celah kecurangan,” kata Wahyu.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Lolly Suhenty, mengatakan, KPU harus mengantisipasi membeludaknya pemilih DPK di luar negeri yang belum masuk dalam DPT. Selain itu, ada potensi pemilih bertambah karena ada perpindahan warga negara Indonesia yang ke luar negeri, salah satunya mahasiswa yang mulai kuliah pada Agustus-September serta Desember-Januari mendatang.
Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pengestu mengatakan, akurasi DPT akan berdampak pada logistik pemilu. Jika DPT tidak akurat dan jumlah pemilih jauh lebih banyak yang terdaftar, akan berimbas pada kekurangan surat suara. Kondisi ini mengakibatkan para warga negara Indonesia di luar negeri akan kehilangan hak pilihnya.
Catatan Redaksi: Pukul 20.30 ada tambahan respons dari KPU RI terhadap permintaan untuk mengkaji kembali DPT Pemilu 2024 di luar negeri.