Ruang Dialog Pembebasan Pilot Susi Air Terbuka Asal Tidak Minta Tiga Hal
Sampai saat ini, TNI dan Polri masih mengedepankan pendekatan negosiasi dalam membebaskan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, tetap dilakukan dengan cara persuasif, salah satunya dengan melibatkan keluarga Egianus Kogoya sebagai pemimpin kelompok yang menyandera Philip. TNI menekankan bahwa ruang dialog terbuka sepanjang penyandera Philip tidak meminta tiga hal, yakni senjata, amunisi, dan kemerdekaan.
”Sesuai arahan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, bahwa TNI selalu membuka ruang dialog untuk pembebasan pilot Susi Air. Asalkan tidak meminta senjata, atau amunisi, dan kemerdekaan,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono saat dihubungi di Jakarta, Minggu (2/7/2023).
Dia menekankan bahwa TNI masih mengedepankan pendekatan negosiasi dalam membebaskan Philip. Negosiasi ini melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Papua. Pemantauan oleh personel di area penyanderaan Philip masih dilakukan. Julius mengatakan, saat ini TNI enggan menggunakan pendekatan siaga tempur meskipun pihak Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OM) memberikan ancaman untuk mengeksekusi Philip.
”Dengan mengedepankan negosiasi sesuai arahan Panglima tersebut, semoga mereka paham dan mau membuka diri,” katanya.
Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyebut tidak ada tenggat negosiasi dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) dalam membebaskan pilot asal Selandia Baru tersebut. Ia memerintahkan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III serta Panglima Komando Cendrawasih untuk melanjutkan negosiasi. ”Ya, kita tidak mau berhadapan dengan kekerasan senjata karena nanti dampaknya pasti pada masyarakat,” ujarnya kepada wartawan beberapa hari lalu.
Sebelumnya, muncul video berisi pernyataan Egianus yang menyampaikan bahwa 30 Juni 2023 menjadi batas waktu negosiasi pembebasan Philip. Jika tuntutan tak dikabulkan, mereka mengancam akan menghilangkan nyawa Philip pada 1 Juli. Philip telah ditawan kelompok TPN-OM yang dipimpin Egianus Kogoya sejak 7 Februari 2023. Pria berkewarganegaraan Selandia Baru itu ditawan setelah pesawat yang dipilotinya dibakar oleh kelompok Egianus (Kompas.id, 30/6/2023).
Pemerintah juga telah menolak tuntutan Egianus yang meminta pelaksanaan referendum di Papua sebagai syarat pembebasan Philip. Pemerintah menawarkan hal lain, seperti pemberian uang tebusan untuk membebaskan Philip.
Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, kepolisian meminta Egianus agar mengurungkan niatnya membunuh sang pilot. Ia menyakini proses pembebasan Philip dapat berjalan lancar. Hingga saat ini, TNI-Polri dan para tokoh telah bekerja keras menyelesaikan secara damai.
”Saya percaya bahwa Egianus sebagai orang Papua, sebagai anak negeri yang mencintai perdamaian dan kemanusiaan, pasti punya hati nurani karena kita orang papua ini kan penuh dengan belas kasihan dan saya meyakini Egianus juga memiliki itu,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/7/2023).
Mathius menjelaskan bahwa negosiasi dengan KKB masih terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga Egianus Kogoya. Melalui negosiasi yang melibatkan keluarga, diharapkan Egianus Kogoya menyerahkan Philip. ”Hingga saat ini, kan, saya lihat semua tokoh sudah bekerja. Kita TNI-Polri, para tokoh adat, agama, bahkan keluarga dekat Egianus juga kita libatkan dalam proses pembebasan kapten Philip. Saya yakin semua kerja keras dan niat baik kita ini bisa berbuah manis,” katanya.
Penuh pertimbangan
Menurut pengkaji pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, ancaman eksekusi tidak akan efektif untuk menekan pemerintah. Jika dilakukan eksekusi terhadap Phillip justru akan berdampak merugikan bagi kepentingan dan tujuan mereka secara luas.
”Tawaran untuk memberi uang tebusan yang sebagaimana disampaikan oleh Kapolda Papua itu masih merupakan bagian dari negosiasi. Melalui tawaran yang disertai penolakan untuk mengakomodasi tuntutan referendum dan senjata, pemerintah telah menyampaikan dan menunjukkan ambang batas negosiasi,” katanya.
Oleh karena itu, langkah persuasif yang dilakukan pemerintah melalui dialog dengan melibatkan aktor prominen, seperti pemuka agama, tokoh masyarakat, para pegiat dan kritikus ataupun lingkaran keluarga, perlu terus dilakukan. Di samping TNI-Polri yang menjalankan operasi pengintaian untuk memberi dukungan informasi dan situasi serta meningkatkan posisi tawar pemerintah dalam negosiasi.
”Hanya saja, patut diingat bahwa kerahasiaan, kehati-hatian, dan strategi penyampaian informasi merupakan aspek penting bagi keberhasilan operasi ini,” ujar Khairul.
Menurut Khairul, Indonesia telah memiliki pengalaman kasus penyanderaan meskipun tidak semua sandera berhasil dibebaskan. ”Jadi, sejauh ini tidak ada penyanderaan yang benar-benar serupa, hanya saja tuntutannya selalu sama,” tuturnya,
Oleh karena itu, setiap kasus penyanderaan punya kerumitannya masing-masing sehingga strategi yang diterapkan tentu harus mempertimbangkan setiap peluang, tantangan, serta potensi hambatan secara cermat dan berhati-hati. Hal ini mengingat keamanan dan keselamatan, baik yang disandera, personel penyelamat, maupun warga masyarakat, harus menjadi prioritas utama.
”Misalnya, kasus penyanderaan WNI oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Kita tahu, tidak semua sandera berhasil dibebaskan. Ada sandera yang dieksekusi mati sebelum berhasil dibebaskan, ada juga yang tewas ketika upaya pembebasan dilakukan. Kemudian, apakah itu menempatkan Filipina sebagai pihak yang bersalah dan menyebabkan ketegangan dalam hubungan antarnegara, saya rasa tidak ada,” tuturnya.
Khairul berpandangan, makin sedikit jumlah sandera dibandingkan dengan pelaku penyanderaan, negosiasi dan pembebasannya cenderung makin sulit dan berisiko. Pasalnya, hanya ada dua pilihan, yakni gagal sama sekali atau berhasil sepenuhnya. ”Kalau kasus ini benar-benar penyanderaan, kasus ini hampir satu bulan lebih lama dari penyanderaan tim Ekspedisi Lorentz di Mapenduma tahun 1996,” ujarnya.
Di sisi lain, dalam kasus penyanderaan WNI oleh kelompok Abu Sayyaf, malah ada yang sampai lebih dari setahun. Artinya, waktu tidak bisa dibatasi karena prioritas utama adalah keamanan dan keselamatan.