Dakwaan terhadap Johnny G Plate Dianggap Belum Gambarkan Keseluruhan Kasus
Tidak ada sesuatu yang ”istimewa” dalam dakwaan bekas Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, baik terkait modus maupun uang yang jadi bancakan. Bahkan, Johnny didakwa ”hanya” menerima Rp 17,8 miliar.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Bekas Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate didakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerabas berbagai ketentuan dalam pelaksanaan pembangunan proyek menara base transceiver atau BTS 4G Bakti Kemkominfo 2020-2022. Hal itu antara lain dilakukan dengan mengarahkan perubahan skema penyediaan internet di 7.904 desa dari belanja operasional (Opex) ke belanja modal (Capex) dengan alasan agar ada aset negara ketika perencanaan. Selain itu, dia dituding memerintahkan untuk membayar kontraktor 100 persen meski realita di lapangan jauh dari selesai serta tidak dilakukannya pengawasan ketika ditemukan ketidaksesuaian antara rencana dan laporan proyek yang berjalan.
Modus semacam itu bukanlah hal yang baru dalam sebuah kasus korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 579 kasus korupsi yang ditangani penegak hukum sepanjang 2022, penyalahgunaan anggaran menjadi modus yang paling banyak dilakukan, yakni dengan 303 kasus. Kemudian disusul dengan modus kegiatan/proyek fiktif (91 kasus), penggelembungan harga (59 kasus), laporan fiktif (51 kasus), serta pungutan liar (24 kasus). Selain itu, masih ada modus perdagangan pengaruh, pemotongan, penerbitan izin ilegal, dan memperdaya saksi.
Demikian pula dengan dakwaan bahwa Johnny telah memperkaya diri sendiri ataupun orang atau pihak lain. Johnny disebut menerima Rp 17,8 miliar. Pihak lain yang juga disebut menerima uang dari proyek pembangunan menara BTS 4G adalah Dirut Bakti Kementerian Kominfo Anang Achmad Latief yang mendapat Rp 5 miliar, tenaga ahli pada Human Development Universitas Indonesia Yohan Suryanto yang mendapat Rp 453,6 juta, serta Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama yang mendapat Rp 500 juta.
Uang yang diterima Johnny terbilang relatif ”kecil” jika dibandingkan dengan beberapa pihak lain. Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan disebut mendapat Rp 119 miliar, sementara Muhammad Yusrizki Muliawan yang tidak dijelaskan peran ataupun perusahaan tempatnya bernaung disebut mendapat Rp 50 miliar.
Jumlah itu belum termasuk konsorsium penyedia infrastruktur yang mendapatkan uang triliunan. Konsorsium perusahaan FiberHome-PT Telkominfra-PT Multi Trans Data (PT MTD) yang mengerjakan Paket 1 dan 2 menerima Rp 2,9 triliun; konsorsium PT Lintas Arta-PT Huawei-PT Surya Energy Indonesia (SEI) yang mengerjakan paket 3 menerima Rp 1,5 triliun; serta konsorsium PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) dan PT ZTE Indonesia yang mengerjakan paket 4 dan 5 menerima Rp 3,5 triliun.
Selain modus korupsi yang ”biasa saja”, dakwaan terhadap Johnny telah menepis segala dugaan yang bersliweran selama ini, khususnya tentang dugaan keterkaitan kasus tersebut dengan politisi tertentu. Muhammad Yusrizki Muliawan yang ketika ditetapkan sebagai tersangka disebut penyidik Kejaksaan Agung sebagai Direktur Utama PT Basis Utama Prima (PT BUP), dalam dakwaan terhadap Johnny hanya disebut memiliki grup bisnis. Padahal, sebelumnya penyidik menyebut PT BUP terkait dengan penyediaan sistem panel surya dalam proyek tersebut.
Belum jelas
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, ketika dihubungi pada Kamis (29/6/2023) berpandangan, informasi yang dimuat di dakwaan tidak banyak berbeda dari informasi yang selama ini telah disampaikan kejaksaan. Hal itu mulai dari dugaan persekongkolan jahat, aturan dan ketentuan yang diterabas, hingga adanya pihak-pihak yang menerima uang, termasuk Johnny.
Meski demikian, kata Zaenur, uang yang diterima Johnny dinilai relatif sangat sedikit jika dibandingkan dengan pihak lainnya, semisal jika dibandingkan dengan Yusrizki yang disebut menerima uang Rp 50 miliar atau Irwan yang disebut menerima sampai Rp 119 miliar. Sementara peran Yusrizki tidak banyak dijelaskan dalam dakwaan terhadap Johnny karena tidak dijelaskan proses Yusrizki bisa menerima pekerjaan tersebut meski hanya sebagai subkontraktor.
”Yusrizki ini menerima atas nama pribadi atau perusahaannya, yakni PT Basis Utama Prima. Lalu perusahaan ini milik siapa? Saya melihat dakwaan ini sangat membatasi diri khususnya membatasi diri dari menjelaskan secara utuh aktor-aktor politik yang diduga terkait perkara ini,” tutur Zaenur.
Hal lain yang juga tidak jelas di dalam dakwaan adalah peran Irwan yang tampak memiliki peran sentral, sementara siapa pihak di balik Irwan sama sekali tidak dimuat dalam dakwaan. Selain itu, menurut Zaenur, detail lain yang belum dijelaskan adalah tentang adanya permintaan fee 10 persen sebagai bentuk komitmen dari penyedia barang dan jasa. Namun, di dalam dakwaan aliran uang tersebut tidak dijelaskan mengarah kepada siapa saja. Padahal, dengan salah satu fungsi dakwaan adalah membuat jelas tindak pidana yang dilakukan.
Di sisi lain, Zaenur berharap agar penyidik Kejaksaan Agung juga mengembangkan kasus ini ke pidana korporasi, tidak hanya berhenti pada orang per orang. Sebab, dalam dakwaan terhadap Johnny, disebutkan bahwa korporasi juga menerima manfaat, tetapi tidak melakukan pencegahan atau malah melakukan pembiaran. Sebab, tanpa menjerat korporasi, dikhawatirkan pemulihan aset atas kerugian keuangan negara sebesar Rp 8,032 triliun tidak akan maksimal.
”Ke depan, publik perlu tahu bagaimana kasus yang merugikan negara sampai Rp 8 triliun lebih ini dibagi-bagi ke banyak pihak,” tutur Zaenur.
Perlunya penyidik untuk turut menjerat korporasi juga diutarakan pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut Fickar, dalam kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G Bakti Kemkominfo, perbuatan melawan hukum terjadi karena adanya penyelewengan kewenangan yang diambil Menkominfo. Akibat dari penyelewengan tersebut, terjadi kerugian keuangan negara. Di sisi lain, para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut juga mendapatkan keuntungan, semisal suap bagi sang pejabat. Dengan dasar itu, mestinya semua pihak yang terkait dengan proyek tersebut turut diadili.
”Karena Johnny G Plate dijerat tipikor dan dia menerima sejumlah uang yang patut diduga adalah suap, maka pihak yang memberi uang harus ditetapkan sebagai tersangka juga, termasuk jika pihak itu adalah korporasi yang karena proyek itu mendapatkan keuntungan,” kata Fickar.
Terkait dengan masih adanya banyak pertanyaan terkait peran para pihak dalam kasus tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah memastikan bahwa di dalam persidangan yang akan berjalan, semua pertanyaan itu akan terbuka. Ia pun memastikan bahwa jika ada pengakuan terkait penerimaan uang yang diungkap di persidangan, maka akan diklarifikasi oleh penyidik.
Sementara itu, ketika ditanya terkait proses pengaturan tender proyek pembangunan menara BTS 4G sampai ke subkontraktor, Kasubdit Penyidikan Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang Direktorat Penyidikan Jampidsus Kejagung Haryoko Ari Prabowo menolak untuk menjawab. Menurut dia, hal itu sudah masuk materi pokok perkara. ”Didengarkan saja. Kan, sudah mulai sidang,” kata Prabowo.