Masa Jabatan Kades 9 Tahun Disepakati Berlaku Setelah RUU Desa Disahkan
Panja Penyusunan RUU Desa DPR menargetkan, perumusan revisi UU Desa segera dituntaskan. Setelah disetujui, Baleg DPR akan mengusulkannya ke rapat paripurna untuk mendapatkan persetujuan sebagai RUU inisiatif DPR.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa Badan Legislasi DPR menyepakati usulan ketentuan peralihan bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa akan langsung berlaku ketika revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan menjadi undang-undang atau UU. Dengan begitu, masa jabatan seluruh kepala desa yang tengah menjabat otomatis akan bertambah saat UU itu disahkan.
Kesepakatan terhadap usulan langsung berlakunya ketentuan peralihan perpanjangan masa jabatan kepala desa terjadi dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa Badan Legislasi (Baleg) DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (27/6/2023). Dalam rapat yang dipimpin Ketua Baleg sekaligus Ketua Panja Penyusunan RUU Desa Supratman Andi Agtas itu, tidak ada suara berbeda dari kesembilan fraksi partai politik (parpol) yang menghadiri rapat.
Usulan dimaksud semula disampaikan oleh anggota Panja Penyusunan RUU Desa dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo. Dalam usulan yang disampaikan secara tertulis, Firman menyampaikan rumusan ketentuan peralihan mengenai perpanjangan jabatan kepala desa, yakni kepala desa dan badan permusyawaratan desa yang masih menjabat pada periode pertama dan kedua menghabiskan sisa masa jabatan sesuai UU ini dan dapat mencalonkan diri satu periode lagi. Kedua, kepala desa dan badan permusyawaratan desa yang masih menjabat pada periode ketiga menghabiskan sisa masa jabatan sesuai dengan UU ini.
Menanggapi usulan itu, anggota Panja dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Andreas, sempat mengusulkan perubahan diksi menghabiskan menjadi menyelesaikan. Begitu juga anggota Panja dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengusulkan untuk mengubah menghabiskan menjadi menuntaskan. Namun, ahli bahasa DPR yang dihadirkan mengatakan, diksi menyelesaikan paling tepat untuk digunakan dalam konteks masa jabatan.
Setelah mendengarkan penjelasan ahli bahasa itu, Supratman pun mengetok palu tanda bahwa ketentuan peralihan itu telah diputuskan untuk disepakati. Sejumlah kepala desa yang menyaksikan rapat panja dari balkon ruang rapat pun bersyukur sambil saling berpelukan.
Ditemui seusai rapat, Supratman menjelaskan, berdasarkan kesepakatan itu Panja akan mengusulkan bahwa perpanjangan jabatan kepala desa akan langsung berlaku setelah UU Desa disahkan. Itu merupakan pilihan politik yang dipandang paling diperlukan. Namun, itu tidak muncul begitu saja melainkan disesuaikan dengan aspirasi yang masuk ke DPR dari para kepala daerah selama ini.
”Parlemen hari ini berpendapat bahwa tidak perlu ada jeda waktu. Pokoknya (ketika) UU ini diketok, disahkan, kapan disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR, dia otomatis akan berlaku,” kata Supratman.
Ia menambahkan, pilihan politik untuk menyepakati UU Desa langsung berlaku setelah disahkan tidak hanya terkait dengan perpanjangan masa jabatan, tetapi juga seluruh perangkat desa. Semangat revisi UU Desa diklaim sebagai jalan menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan. Oleh karena itu, sejumlah poin yang bakal direvisi disebut terkait dengan aspek mendasar pertumbuhan desa.
Misalnya, soal pengangkatan perangkat desa yang tidak lagi oleh kepala desa karena rawan politik transaksional. Pemilihan perangkat desa berpotensi hanya berdasarkan subyektivitas kepala desa dan tidak berdasarkan sistem merit. Selain itu, besaran dana desa juga bakal ditambah. Keberpihakan kebijakan fiskal kepada desa penting untuk mencegah terus terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota yang berimbas pada tidak adanya pertumbuhan di desa.
Kendati demikian, kata Supratman, pembahasan ini masih akan dilanjutkan dalam rapat panja, Senin (3/7/2023) mendatang. Sebab, masih ada tiga poin yang belum disepakati, yaitu besaran alokasi dana desa, perlindungan hukum kepada kepala desa, dan pengangkatan perangkat desa.
Sejak pertama kali dibahas pada Senin (19/6/2023), penyusunan RUU Desa oleh Baleg menjadi perhatian publik. Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebelumnya tak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. DPR mendadak menetapkan RUU Desa dalam daftar RUU Kumulatif Terbuka dengan alasan menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara uji materi UU No 6/2014 pada Maret 2023.
Panja Penyusunan RUU Desa pun menargetkan perumusan RUU tersebut segera tuntas dan mendapatkan persetujuan di tingkat panja. Setelah disetujui, Baleg akan mengusulkannya ke rapat paripurna untuk mendapatkan persetujuan sebagai RUU inisiatif DPR sebelum masa sidang ini berakhir pada 14 Juli mendatang. RUU Desa itu nantinya akan diusulkan kepada pemerintah untuk dibahas bersama DPR.
Selain rencana revisi yang muncul tiba-tiba di tengah tahapan Pemilu 2024, sejumlah poin yang bakal dimasukkan ke RUU Desa juga dinilai bernuansa politis. Sejumlah poin dimaksud di antaranya perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Kenaikan alokasi dana desa juga diusulkan naik menjadi 15 persen dari total dana transfer daerah.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari menjelaskan, UU yang dibentuk oleh DPR dan pemerintah memang bisa langsung diberlakukan atau ditunda sejak UU tersebut disahkan. Merujuk Pasal 87 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penundaan pemberlakuan UU dari tanggal pengundangannya bisa dilakukan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksananya.
Namun, kata Feri, ada azas universal dalam hukum untuk tidak memberlakukan UU secara langsung setelah disahkan. Azas tersebut diterapkan untuk hal-hal yang bernuansa konflik kepentingan dan penyimpangan kekuasaan. Adapun perpanjangan masa jabatan kepala desa, menurut Feri, terkait erat dengan konflik kepentingan.
”Semestinya itu tidak diberlakukan seketika pada saat seorang pejabat sedang menjabat agar tidak menutup kesempatan seseorang mendapat perlakuan yang adil dan sama di hadapan hukum dan tetap bisa berkompetisi. Setelah kompetisi itulah mereka bisa memberlakukan masa jabatan yang baru,” papar Feri.
Ia melihat kesepakatan DPR untuk langsung memberlakukan perpanjangan jabatan kepala desa ketika UU Desa disahkan terkesan janggal. Hal itu memunculkan nuansa politis terkait dengan transaksi kepentingan jelang Pemilu 2024. Sebab, kepala desa merupakan satuan pemerintahan terendah yang berpengaruh kuat dalam penyelenggaraan pemilu di tempat pemungutan suara.
”Untuk menghindari (potensi) tranksaksional itu, jika UU Desa ini benar (direvisi), semestinya berlaku pada periode setelah masa jabatan kepala desa yang menjabat saat ini berakhir. Jadi, jangan sampai kemudian mentransaksikan masa jabatan dengan Pemilu 2024,” kata Feri.
Menurut Supratman, tidak ada yang salah jika ada kekhawatiran bahwa revisi UU Desa ini terkait dengan Pemilu 2024. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa parpol akan mendapatkan efek elektoral setelah mengubah UU Desa.
”Kan, tidak ada yang bisa menjamin. Kan, semua partai setuju, semua memberi dukungan hal yang sama. Mana mungkin tiba-tiba saya ketua panja mendapatkan efek elektoral dari situ. Siapa yang bisa menjamin,” ujarnya.
Politisi Partai Gerindra itu menambahkan, parpol sebagai lembaga politik mengharapkan capaian elektoral adalah hal yang wajar. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan melalui transaksi dengan kepala desa. ”Jangan lupa, lho, kepala desa itu, kan, dilarang untuk melakukan soal dukung-mendukung, malah pidana itu, kan, kami sadari sepenuhnya itu,” kata Supratman.