Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Jelang Pemilu Dinilai Sarat Kepentingan
Langkah DPR hendak memperpanjang masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun menuai kritik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terus menuai kritik dari publik. Selain dinilai sarat kepentingan politik, usulan tersebut juga dianggap merusak demokrasi. DPR dan para kepala desa pun diharapkan tidak terjebak pada ambisi kekuasaan.
Menjelang pemungutan suara Pemilu 2024, secara mendadak DPR merumuskan perubahan terbatas terhadap UU Desa. Selain memperpanjang masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun, DPR juga hendak mengusulkan kenaikan alokasi dana desa menjadi 15 persen dari dana transfer daerah.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi, melalui keterangan tertulis kepada Kompas, di Jakarta, Jumat (23/6/2023), mengatakan, sembilan tahun dalam satu kali masa jabatan adalah waktu yang terlalu lama bagi masyarakat untuk mengevaluasi kinerja kades, apakah layak dipilih kembali atau tidak pada pilkades berikutnya. Menurut dia, ini tidak sehat untuk iklim negara demokrasi.
Jika mengacu pada negara-negara yang demokrasinya baik, lanjut Ridho, mayoritas rentang masa kepemimpinan di negara-negara tersebut berkisar 4-6 tahun. Ia juga mengingatkan, keberadaan sistem demokrasi adalah untuk membatasi masa jabatan, bukan malah memperpanjangnya.
”Terlalu lamanya masa jabatan kades juga berpotensi untuk melakukan penyelewengan kekuasaan atauabuse of power, serta bisa merusak subtansi demokrasi yang sudah baik,” ujar Ridho.
Ia juga mengutip adagium politisi Inggris, Lord Acton, di mana kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut pula (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely). Menurut dia, sembilan tahun adalah waktu yang terlalu lama dan berpotensi seperti pernyataan Acton tersebut.
”Karena itu, enam tahun adalah pilihan yang bijak. Tidak perlu diperpanjang lagi. Jika kinerja kades incumbent dianggap berhasil, pasti akan terpilih lagi pada periode yang kedua,” ucap Ridho.
Ridho berpandangan, batasan maksimal dua periode adalah pilihan yang tepat bagi masa jabatan kades. Model dua kali masa jabatan yang diadopsi banyak negara demokrasi ini didasarkan pada pengalaman bijak mantan Presiden Amerika pertama, George Washington, yang menolak diberikan posisi untuk kali ketiga sebagai presiden meskipun berpeluang besar terpilih kembali.
”Maksimal dua periode adalah pilihan yang tepat juga bagi Indonesia agar terjadi sirkulasi elite menuju konsolidasi demokrasi yang lebih solid dan berkemajuan,” tutur Ridho.
Untuk itu, Badan Legislasi DPR dan para kades di seluruh Indonesia diharapkan dapat bersikap dewasa dalam menyikapi masa jabatan kades ini. Mereka diharapkan pula tidak terjebak pada ambisi kekuasaan yang sering kali melupakan substansi demokrasi sebagai jalan untuk membatasi masa jabatan, bukan malah memperpanjangnya.
”Dengan demikian, enam tahun dalam satu kali masa jabatan kades dengan maksimal dua kali masa jabatan adalah pilihan tepat dan bijak bagi Indonesia yang sudah melewati seperempat abad sebagai negara demokrasi,” kata Ridho.
Kritik terhadap usulan perpanjangan masa jabatan kades ini juga datang dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman menilai, sangat tidak elok revisi UU Desa dilakukan menjelang pemilu.
Ia khawatir revisi sarat kepentingan politis karena dipastikan akan muncul simbiosis mutualisme kepala desa dan politisi. Perubahan UU Desa berpotensi menjadi kampanye para politisi untuk mendulang suara.
Jika DPR ingin merevisi UU Desa, menurut Herman, yang paling krusial adalah penguatan dari sisi tata kelola pemerintahan desa, mulai dari sisi perencanaan, penganggaran, penyusunan kebijakan, hingga pelayanan publik. Kemudian, dalam konteks demokratisasi di level desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) justru perlu dikuatkan.
”Jangan sampai lembaga ini seakan-akan berada di bawah kepala desa. Padahal, fungsinya itu, kan, mirip-mirip seperti DPRD. Ini yang mesti dikuatkan agar kinerja kepala desa dan perangkatnya bisa diawasi suatu organ lain dalam hal ini BPD yang dikuatkan melalui UU Desa. Itu lebih krusial,” kata Herman.
Hal lain yang perlu diatur dalam revisi UU Desa adalah cara mendapatkan kepala desa dan perangkat desa yang punya kapasitas dan integritas. ”Jadi, bukan justru menambah masa jabatan. Jika kualitas kepala desa dan perangkatnya buruk, itu malah menambah masalah baru di desa,” tuturnya.
Masih akan dikonsultasikan
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menyampaikan, jika melihat proses rapat penyusunan RUU Desa sejak Senin lalu, kemungkinan besar perpanjangan masa jabatan kades ini akan berlaku surut. Namun, ia menegaskan, hal itu juga masih akan dikonsultasikan dengan pemerintah.
Konsultasi dengan pemerintah juga penting dilakukan karena Panja Penyusunan RUU Desa Baleg DPR mengusulkan kenaikan alokasi dana desa. Ini menyangkut kesanggupan anggaran, baik pemerintah pusat maupun daerah.
Ia mengklaim, Baleg DPR juga tidak asal-asalan merevisi UU Desa, tetapi setiap substansi revisi didasari penelitian dan naskah akademik. Namun, jika ada pihak yang menyebut upaya revisi UU Desa ini sebagai langkah politis DPR untuk mendapat simpati dari aparat desa jelang Pemilu 2024, ia menyebut hal itu sah-sah saja.
”Kalau soal itu, tidak ada masalah. Orang boleh berpendapat apa saja menyangkut soal ini dekat pemilu atau tidak. Tetapi, kan, yang pasti bahwa ini semua orang setuju. Jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Supratman.
Secara terpisah, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menegaskan, soal perpanjangan masa jabatan kepala desa, Kemendesa PDTT telah menyusun kajiannya. Kajian tersebut secara resmi akan disampaikan ke DPR setelah mendapat perintah dari Presiden.
Kemudian, untuk kenaikan dana desa, menurut Halim, ini bertujuan untuk menangani kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di level desa. Ini merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi, katanya, terkait transparansi perencanaan pembangunan, pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), serta pelaksanaan pembangunan pada level desa, desa memiliki sistem transparansi yang sangat bagus dibandingkan semua level pemerintahan.
Keterlibatan masyarakat di desa melalui musawarah desa sangat tinggi. Dalam forum tertinggi permusyawratan desa itu, dihadiri tokoh agama, tokoh adat, perwakilan kelompok marginal, dan perwakilan dusun. Setelah APBDesa ditetapkan, itu harus dipampang di tempat strategis desa sehingga seluruh warga desa dan luar desa bisa menyaksikan postur APBDesa pada setiap desa.