Mempersoalkan Jaksa Agung, Dipilih dari Orang Dalam atau Luar Kejaksaan?
Syarat menjadi Jaksa Agung tengah diuji di MK. Seorang pegawai kejaksaan di Sulawesi Tengah mempersoalkan hal itu. Menurut dia, Jaksa Agung harus berstatus aktif atau pensiunan jaksa dan pengisiannya harus libatkan DPR.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
Di hadapan sembilan hakim konstitusi, Selasa (20/6/2023), Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Bambang Sugeng Rukmono lupa membacakan petitum saat menyampaikan pandangan Kejaksaan Agung terhadap permohonan uji materi Undang-Undang Kejaksaan, khususnya mengenai syarat menjadi Jaksa Agung serta penunjukannya. Biasanya petitum itu berisi permohonan terhadap Mahkamah Konstitusi untuk menolak atau mengabulkan permohonan uji materi.
”Saya berharap tadi petitumnya dibacakan, (bagian) terakhirnya itu. Tapi, ini tidak dibacakan. Saya agak ragu, ini sepenuh hati atau tidak memberikan keterangan. Ada sikap dualisme juga saya baca, antara mengiyakan yang diajukan pemohon dengan riil politik ketatanegaraan kita. (Tapi) saya tidak tahu. Itu asumsi saya saja,” kata hakim konstitusi Saldi Isra mengomentari keterangan yang disampaikan Bambang.
Ada yang menarik dengan perkara pengujian UU Kejaksaan kali ini. Pemohonnya adalah seorang anak muda, seorang pegawai kejaksaan bernama Jovi Andrea Bachtiar. Jovi adalah analis penuntutan pada Kajaksaan Negeri Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Disebutkan, Jovi mengajukan pengujian Pasal 1 Angka 3, Pasal 19 Ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU No 16/2021 tentang Kejaksaan. Dalam persidangan ini, ia mengikuti secara daring melalui Zoom.
Jovi berpandangan, sebaiknya pengisian Jaksa Agung dilakukan dengan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal-pasal yang ia ajukan untuk diuji pada intinya mengatur tentang siapa yang berhak menjadi Jaksa Agung dan bagaimana seharusnya mekanisme pengisian jabatan tersebut. Sosok Jaksa Agung dan mekanisme pengisiannya merupakan hal penting agar Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum tidak dipandang politis saat melaksanakan kewenangan penuntutan dan penyidikannya.
Salah satu pasal yang diuji itu mengatur, ”Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Ketentuan tersebut ada pada Pasal 19 Ayat (1) UU Kejaksaan. Jovi berpandangan, sebaiknya pengisian Jaksa Agung dilakukan dengan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai penerapan prinsip check and balances. Prinsip tersebut menjadi salah satu bagian dari ciri-ciri negara hukum.
”Pasal itu dapat membuka ruang kesempatan sebesar-besarnya tanpa batas kepada Presiden sebagai organ politik (hasil dari proses politik berupa pemilu dengan sebelumnya diusung oleh satu atau beberapa partai politik berdasarkan ambang batas presidential threshold) baik demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan RI,” kata Jovi dalam berkas permohonannya.
Lalu, Jovi membandingkan mekanisme pengisian Jaksa Agung dengan pejabat publik lainnya, seperti Komisi Yudisial, Kepala Kepolisian Negara RI, hakim agung, badan intelijen negara, Panglima TNI, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selmuanya membutuhkan campur tangan DPR melalui fit and proper test.
Selain itu, Jovi juga meminta agar MK menambahkan ketentuan syarat-syarat calon Jaksa Agung. MK perlu menegaskan bahwa Jaksa Agung harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa, berstatus aktif atau pensiunan jaksa dengan jabatan terakhir paling rendah jaksa utama, serta tidak pernah dan tidak sedang terdaftar sebagai pengurus dan/atau anggota partai politik.
Hak prerogatif presiden
Saat menyampaikan tanggapannya, Bambang mengungkapkan, Kejaksaan tak sependapat jika pemilihan Jaksa Agung harus melalui mekanisme fit and proper test melalui DPR. Pengangkatan Jaksa Agung masuk dalam ruang lingkup eksekutif sehingga penilaian cakap ataupun tidaknya merupakan penilaian subyektif presiden. Hal tersebut sesuai dengan putusan MK sebelumnya, yang juga menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan presiden dengan memandang masa jabatan Jaksa Agung tersebut bersamaan dengan masa kerja kabinet pemerintah.
Selain itu, apabila pengangkatan Jaksa Agung harus melalui DPR, hal tersebut akan mengubah hakikat Jaksa Agung yang merupakan wakil negara dalam kepentingan publik yang pelaksanaannya dilakukan secara profesional. Mekanisme check and balances dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan sebenarnya sudah diamanatkan di dalam Pasal 37 Ayat (1) dan (2) UU Kejaksaan di mana Jaksa Agung bertanggung jawab terhadap Presiden dan DPR yang dilaksanakan melalui rapat kerja gabungan dan kunjungan kerja bersama ke daerah.
Mengenai Jaksa Agung yang harus berasal dari internal jaksa ataupun pensiunan jaksa, Bambang mengatakan, pengaturan semacam itu berpotensi mempersempit hak prerogatif Presiden di dalam memilih pembantunya yang dijamin oleh UUD 1945. Tiap pembatasan hak Presiden harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak yang sudah dijamin konstitusi.
Hanya saja, Bambang berpandangan, Jaksa Agung memiliki peran yang sentral dan strategis dalam menyelesaikan permasalahan hukum termasuk yang memiliki kompleksitas tinggi. Dengan demikian, seseorang yang akan diangkat menjadi Jaksa Agung tidak cukup hanya memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum. Ia juga harus menguasai kemampuan teknis serta penguasaan manajerial anatomi kelembagaan, juga memahami pola penanganan perkara di kejaksaan.
Atas pernyataan tersebut, hakim konstitusi Suhartoyo menilai keterangan yang disampaikan Bambang sedikit mengandung ambiguitas. Sebab, apabila merujuk pada tugas dan kewenangan yang dimiliki, seorang Jaksa Agung harus memiliki beberapa kecakapan, termasuk terkait memahami anatomi kelembagaan serta pola penanganan perkara. ”Apakah ini sama juga menegaskan calon Jaksa Agung harus jaksa,” tanya Suhartoyo yang meminta penjelasan lebih lanjut.
Seseorang yang akan diangkat menjadi Jaksa Agung tidak cukup hanya memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum.
Kesulitan internal
Hakim konstitusi Saldi Isra juga meminta keterangan yang lebih mendasarkan pengalaman kejaksaan saat dipimpin oleh Jaksa Agung yang bukan dari korps jaksa dengan yang bukan dari kejaksaan (misalnya advokat atau kalangan hakim/hakim agung). Dalam tiga periode kepemimpinan Jaksa Agung secara berturut-turut, tiga-tiganya merupakan pensiunan jaksa.
Ketiga Jaksa Agung itu adalah Basrief Arif, M Prasetyo, dan Jaksa Agung saat ini ST Burhanuddin. Pada periode kepemimpinan sebelumnya, Jaksa Agung pernah dijabat oleh mantan hakim agung Abdurrahman Saleh.
”Kita ingin dapat penjelasan dari Kejaksaan (terkait) pengalaman beberapa periode terakhir. Jaksa Agung, kan, diangkat dari orang-orang Kejaksaan yang sudah pensiun. Istilahnya, mobil sudah diparkir di garasi, dihidupkan lagi, dikeluarkan lagi, difungsikan lagi. Kami ingin dapat penjelasan dari Kejaksaan, apakah pengalaman tiga periode terakhir itu dianggap sebagai orang yang merepresentasikan internal kejaksaan atau sudah dianggap lagi bukan internal kejaksaan,” tanya Saldi.
Saldi juga meminta penjelasan terkait kesulitan apa yang dihadapi internal Kejaksaan jika Jaksa Agungnya bukan orang internal kejaksaan dan tidak memiliki pengalaman sebagai penuntut umum.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para hakim konstitusi itu akan dijawab oleh Kejaksaan secara tertulis, seperti yang disampaikan oleh Bambang. Sidang lanjutan untuk perkara ini akan digelar pada 5 Juli mendatang.