Kala Julukan ”Makrifat Politik” Disematkan ke Megawati
Dalam suasana santai di sela-sela Rakernas, beberapa seniman menghibur elite PDI-P, termasuk Megawati Soekarnoputri. Di kesempatan itu julukan makrifat politik dilekatkan pada Megawati karena kiprahnya di dunia politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
Alunan suara gitar menggema di lobi Sekolah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (7/6/2023) siang. Ruangan yang hanya seluas 20 meter persegi itu kemudian dipenuhi gelak tawa dan tepuk tangan ketika setiap lirik lagu mulai dilantunkan.
Hanya dengan bermodalkan gitar akustik, musisi asal Yogyakarta, Sri Krishna Encik, mulai menghibur barisan elite Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDI-P yang duduk di hadapannya. Selain ada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, hadir pula Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Prananda Prabowo, Eriko Sotarduga, Said Abdullah, dan Nusyirwan Soejono. Kemudian, Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto dan Bendahara Umum Olly Dondokambey.
Lirik lagu yang dilantunkan berjudul ”Njar Ji, Njar Beh”. Itu merupakan kepanjangan dari “Ganjar siji, Ganjar Kabeh” atau dalam bahasa Indonesia, ”Ganjar satu, Ganjar semua”. Judul lagu ini memang khusus dibuat oleh Encik sebagai bentuk dukungan kepada bakal calon presiden dari PDI-P yang juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang akan maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Encik bernyanyi, ”Ganjar di mana-mana. Ganjar memang mempesona. Sampai kita terpesona. Akhirnya harus ke sana.” Lalu, nyanyian dilanjutkan dengan lirik, ”Njar-ji, njar-beh. Ganjar siji, Ganjar kabeh.”
Seluruh elite di ruangan pun tampak ikut berdendang ketika Encik terus menyanyikan lagu tersebut. Apalagi, liriknya sangat sederhana. Tujuannya memang agar lagu tersebut mudah dibawakan saat kampanye Ganjar ke daerah-daerah. Selain itu, publik juga diharapkan mudah mengingat liriknya.
Suasana semakin penuh suka cita ketika Encik melanjutkan nyanyiannya dan mengubah lirik yang ada. Nama Ganjar di lirik tersebut, diubah menjadi nama Megawati, Puan, Prananda, bahkan Presiden Joko Widodo.
Untuk Megawati, misalnya, bunyi lirik itu menjadi: ”Di sini ada Bu Mega. Bu Mega ketua kita. Beliau memang bijaksana. Kita semua mendukungnya. Ma-ji, ma-beh. Mega siji, Mega kabeh,” tutur Encik disambut tawa Megawati dan seluruh jajaran DPP PDI-P. Megawati tampak tersipu malu saat petikan lagu itu didendangkan.
Suasana semakin penuh sukacita ketika Encik melanjutkan nyanyiannya dan mengubah lirik yang ada. Nama Ganjar di lirik tersebut diubah menjadi nama Megawati.
Usai menyanyikan lagunya, Encik mulai bercerita bahwasanya lagu tersebut dibuat ketika dirinya bertemu dengan Ganjar pertengahan Oktober 2022 lalu. Kala itu, Ganjar bertemu sejumlah seniman Yogyakarta di kediaman seniman Butet Kartaredjasa di Dusun Kembaran Tamantirto, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Butet Kartaredjasa yang juga ikut hadir di Sekolah Partai PDI-P menyampaikan terima kasih kepada Megawati atas sikap-sikap kebangsaan yang selama ini mewarnai dinamika politik Indonesia. Secara pribadi, Butet mengaku sangat mengagumi Presiden ke-5 RI yang juga putri Proklamator RI Soekarno itu.
”Kalau politik, Ibu itu sudah tahap makrifat politik,” ucap Butet.
Sebutan itu bukanlah tanpa alasan. Menurut Butet, Megawati layak disebut ”makrifat politik” karena sikap-sikap politiknya yang sudah bukan pada tataran politisi pada umumnya. Kiprah dan sepak terjang Megawati, termasuk pemikirannya, sudah jauh melangkah ke depan agar nasib bangsa dan generasi selanjutnya bisa melompat lebih maju.
”Menurut saya ini, ya, Bu. Kayaknya ini bukan sekadar politisi Ibu Megawati ini. Tapi, sudah makrifat politik. Makrifat politik itu levelnya negarawan kira-kira begitu. Kalau negarawan kelasnya ini pasti bukan transaksional,” tutur Butet.
Level makrifat politik Megawati ini, lanjut Butet, juga tecermin semasa Pilpres 2014. Kala itu, Megawati tidak memanjakan ego politiknya dengan mencalonkan diri sebagai capres, tetapi Megawati justru memercayakan pencapresan itu kepada Jokowi. Kebijaksanaan Megawati itu kemudian berlanjut hingga saat ini ketika Ganjar diusung menjadi bakal capres dari PDI-P.
”Tahun ini kalau saja, masih juga egosentris dan belum level makrifat, tentu mungkin Mbak Puan yang dipaksakan. Tetapi, akhirnya kemarin kita lihat tanggal 21 April itu, Ganjar yang ditugasi oleh Ibu Megawati untuk menjadi (bakal calon) Presiden Republik Indonesia berikutnya,” kata Butet.
”Mosok kayak begitu transaksional. WongGanjar kere (tidak punya uang),” lanjut Butet, yang disambut gelak tawa seisi ruangan.
Butet juga merasa terhormat lantaran tulisannya di rubrik opini harian Kompas bertajuk ”Pesan Punakawan” dibaca dan diapresiasi oleh Megawati. Bahkan, Megawati menginstruksikan kepada seluruh kadernya untuk membaca tulisan Butet tersebut.
Punakawan memiliki jiwa ksatria, tetapi juga tidak boleh mudah lengah.
Intisari dari tulisan itu, kata Butet, ialah menggambarkan seorang punakawan, tokoh pewayangan Jawa. Punakawan memiliki jiwa ksatria, tetapi juga tidak boleh mudah lengah. Sebagai pribadi yang mempunyai jiwa ksatria, tidak boleh pula melupakan masyarakat kecil.
”Di dalam tulisan saya itu, saya menerangkan tentang kearifan kebudayaan dari masyarakat kecil yang menggambarkan punakawan yang selalu mengingatkan ksatria. Salah satunya mengingatkan supaya ksatria itu jangan mentang-mentang, ojo dumeh. Jangan sampai kekuasaan membuat kita lupa. Jangan nguntal negara. Nguntal itu makan, nelan negara,” ucap Butet.