Kapolri Bentuk Satgas TPPO, Polisi yang Gagal Mengungkap Bakal Dicopot
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo memerintahkan jajaran kepolisian mengungkap kasus perdagangan orang. Bagi yang tak mampu melaksanakan, bakal dicopot dari jabatannya hingga dipidana.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·2 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo resmi membentuk Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Satgas TPPO di bawah koordinasi Badan Reserse Kriminal Polri. Bagi jajaran kepolisian yang tidak mampu mengungkap kasus perdagangan orang di wilayahnya masing-masing, Kapolri akan mencopot dan memidanakannya.
Dalam arahannya kepada jajaran kepolisian yang dilakukan melalui video konferensi, Listyo menekankan pentingnya penanganan kasus perdagangan orang di seluruh wilayah. Sebab, lanjut Listyo, penanganan TPPO menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo.
”Jajaran kepolisian yang tidak dapat mengungkap kasus TPPO di wilayahnya akan menghadapi konsekuensi serius. Mereka akan diproses hukum dan dicopot dari jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap penanganan tindak pidana ini,” ucap Kapolri sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis, Selasa (6/6/2023).
Untuk mengungkap kasus TPPO, Kapolri membentuk Satgas TPPO yang berada di bawah koordinasi Bareskrim Polri. Kapolri menunjuk Wakil Kepala Bareskrim Inspektur Jenderal Asep Edi Suheri sebagai Kepala Satgas TPPO dan Kepala Korps Binmas Inspektur Jenderal Hary Sudwijanto sebagai Wakil Kepala Satgas TPPO.
Suasana seusai Bareskrim Polri menggelar konferensi pers Pengungkapan Jaringan Internasional Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan Korban Tereksploitasi di Negara Myanmar di Aula Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, Selasa (16/5/2023). Bareskrim Polri mengungkap dan menangkap dua tersangka pelaku kasus TPPO dengan korban di Myanmar.
Kapolri juga menugasi Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho untuk mencermati perkembangan kasus TPPO di media. Tugas tersebut dalam rangka transparansi dan memastikan informasi penanganan TPPO kepada masyarakat benar-benar akurat.
Sementara itu, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Silmy Karim menyampaikan komitmennya untuk mencegah kemungkinan terjadinya TPPO. Hal itu dia sampaikan ketika mengunjungi Pos Lintas Batas Nasional (PLBN) Entikong, Kalimantan Utara.
Setiap kantor imigrasi diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bahaya TPPO dan gambaran yang mungkin akan terjadi jika seseorang terjebak dalam TPPO.
Kebutuhan edukasi
Menurut Silmy, banyaknya kasus TPPO memperlihatkan perlunya edukasi kepada masyarakat. Untuk itu, setiap kantor imigrasi diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bahaya TPPO dan gambaran yang mungkin akan terjadi jika seseorang terjebak dalam TPPO.
”Yang dijanjikan agen atau calo pemberi kerja tidak sesuai kenyataan. Sampai di lokasi, paspor ditahan, dipekerjakan tidak sesuai dengan perekrutan awal, tidak dibayar gajinya, dan sebagainya,” tutur Silmy.
Silmy Karim, Dirjen Imigrasi, saat diwawancarai Kompas di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (3/4/2023).
Kondisi tersebut dapat terjadi karena pekerja migran Indonesia (PMI) masuk ke negara lain secara ilegal. Hal itu otomatis membuat posisi tawar mereka menjadi lemah sehingga mereka bisa diperlakukan secara kejam.
Selain edukasi, peran penting imigrasi dalam mencegah terjadinya TPPO juga berada di hulu, yakni dalam proses penerbitan paspor. Untuk itu, pihaknya akan mengupayakan mekanisme pengecekan persyaratan permohonan paspor ke instansi terkait agar bisa lebih cepat, mudah, dan akurat untuk mengurangi potensi pemalsuan dokumen persyaratan paspor.
Selain itu, setiap pemohon juga diwajibkan mencantumkan penjamin atau pihak yang menjamin bahwa informasi yang diberikannya benar. Sebab, terkadang pemohon memberikan keterangan tidak benar atau melampirkan dokumen yang tidak valid, semisal terkait usia atau identitas lainnya. Ketika mereka dimasukkan daftar hitam, mereka menggunakan identitas lain untuk memperoleh paspor lagi.
Di sisi lain, menurut Silmy, persoalan TPPO tidak hanya menjadi urusan Ditjen Imigrasi, tetapi juga aparat dari instansi lainnya. Dia pun meminta agar masyarakat melaporkan kepada aparat jika terjadi masalah terkait dengan TPPO yang terjadi di sepanjang perbatasan antara Indonesia dan negara tetangga.
”Kita tentu dengan semangat tinggi bersama-sama dengan instansi terkait mendukung pemberantasan TPPO karena sangat bertentangan dengan human rights (hak asasi manusia),” ujar Silmy.