Cawe-cawe, antara Bahasa, Sejarah, dan Negara
Presiden Joko Widodo menginginkan keberlanjutan program dan kebijakan untuk kemajuan bangsa dan negara meski pemerintahan berganti. Tentu, tidak dengan cawe-cawe pada TNI, Polri, dan KPU.
Saat bertemu Litbang Kompas, dua tahun lalu, Presiden Joko Widodo menilai, kelemahan dari setiap suksesi kepemimpinan di Indonesia selama ini adalah tidak adanya keberlanjutan program dan kebijakan. Karena itu, menurut dia, penting pada 2024 dimulainya keberlanjutan program dan kebijakan yang baik dan strategis dari pemerintahan sebelumnya ke pemerintahan baru.
”Jadi, presiden baru tidak selalu memulai dari nol kembali untuk mewujudkan kemajuan bangsa,” ujar Presiden yang dalam paparan di Istana Merdeka, Jakarta, didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Pribadi Presiden Anggit Nugroho (Kompas, 6/5/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tampaknya, dengan keinginan adanya kesinambungan program strategis untuk mewujudkan kemajuan bangsa, tak heran jika Presiden Jokowi terus terang mengaku cawe-cawe dalam Pemilu 2024. Hal itu diungkapkan ketika bertemu sejumlah pemimpin redaksi di Istana Negara, awal pekan lalu.
Demi kepentingan negara, Presiden cawe-cawe. Alasannya, Jokowi menginginkan Indonesia melompat menjadi negara maju. Kesempatan itu tidak datang berkali-kali. Dalam kurun waktu 13 tahun ke depan, Indonesia punya kesempatan untuk ke sana, di antaranya dengan bonus demografi. Untuk itu, keberlanjutan kebijakan strategis pemerintahan dinilai penting demi mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. Namun, hal itu sangat ditentukan oleh kepemimpinan nasional ke depan (Kompas, 29/5/2023).
Baca juga: Cawe-cawe Presiden Diminta Sebatas Memastikan Pemilu Demokratis dan Tepat Waktu
Pengakuan terus terang itu menyulut berbagai tanggapan. Meskipun sebelumnya mengkritik Presiden Jokowi yang dinilai terlalu jauh melibatkan diri dengan perpolitikan saat Jokowi mengumpulkan para ketua umum partai politik pendukungnya kecuali Partai Nasdem, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia Jusuf Kalla menyampaikan dukungannya. Asalkan, cawe-cawe itu untuk menjaga demokrasi dan menjalankan pemilu yang jujur dan adil. Jusuf Kalla berharap upaya menjaga demokrasi serta pemilu jujur dan adil itu dapat dilaksanakan dengan baik.
Kalau penjelasan dari pers itu, cawe-cawe untuk, agar, menjaga demokrasi, menjalankan pemilu yang jurdil (jujur dan adil) sangat bagus. Jadi, kita harap itu tentu dapat dilaksanakan dengan baik. Kalau ingin apa, yang dijelaskan terakhir, untuk demokrasi berjalan dengan baik, agar pemilu jujur dan adil, itu tentu kita dukung.
”Kalau penjelasan dari pers itu, cawe-cawe untuk, agar, menjaga demokrasi, menjalankan pemilu yang jurdil (jujur dan adil) sangat bagus. Jadi, kita harap itu tentu dapat dilaksanakan dengan baik. Kalau ingin apa, yang dijelaskan terakhir, untuk demokrasi berjalan dengan baik, agar pemilu jujur dan adil, itu tentu kita dukung,” katanya, menjawab pers, Selasa (30/5/2023).
Namun, bagi peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, cawe-cawe tersebut tidak etis dan berpotensi membuat suasana lebih tegang. Sebab, Jokowi seakan menunjukkan kecurigaan terhadap pihak yang tak sejalan dengan visinya.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, pengakuan cawe-cawe berikut batasannya menjadi tak jelas dan subyektif. Presiden pun rentan dinilai tak netral. ”Sebab, yang dimaksud cawe-cawe adalah dalam upaya memenangkan calon presiden tertentu pilihan Presiden. Terkesan, Presiden akan menggunakan fasilitas dan kewenangan negara membantu calon pilihannya,” ujarnya.
Kesan seperti itu, menurut Feri, menjadikan ada masalah di istilah cawe-cawe positif demi kepentingan negara. ”Semestinya Presiden betul-betul mampu bersikap netral, setidak-tidaknya menjauhkan penggunaan fasilitas dan kewenangan negara untuk dukung-mendukung calon. Tentu saja sebagai seorang politisi dan kader partai, dia berhak menyampaikan preferensi politiknya,” ujarnya.
Menjaga netralitas
Menanggapi kritik tersebut, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan singkat. Cawe-cawe yang digunakan Presiden identik dengan ikut bertanggung jawab dan tidak membiarkan.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin, yang hadir dalam pertemuan dengan para pemimpin media massa, menjelaskan lewat keterangan tertulis. Konteks cawe-cawe, kata Bey, adalah keinginan memastikan Pemilu 2024 berlangsung demokratis, jujur, dan adil. ”Presiden berkepentingan dalam terselenggaranya pemilu dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial,” katanya.
Presiden berkepentingan dalam terselenggaranya pemilu dengan baik dan aman, tanpa meninggalkan polarisasi atau konflik sosial.
Soal pemimpin masa datang, menurut Bey, Presiden Jokowi juga ingin pemimpin nasional ke depan dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis, seperti pembangunan Ibu Kota Negara, hilirisasi, dan transisi energi bersih. ”Presiden mengharapkan seluruh peserta pemilu dapat berkompetisi secara free dan fair.Karena itu, Presiden akan menjaga netralitas TNI-Polri dan ASN (aparatur sipil negara),” ujar Bey.
Makna kata cawe-cawe
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata cawe-cawe merupakan kata yang diambil dari bahasa Jawa. Istilah itu berarti ’membantu mengerjakan (merampungkan, membereskan); ikut menangani.’
Seperti dikutip dari DetikJateng, Rabu (31/5/2023), Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada I Dewa Putu Wijana mengatakan, cawe-cawe, yang telah diserap dalam bahasa Indonesia, bermakna ikut serta menangani sesuatu. Menurut dia, secara umum, makna cawe-cawe itu netral. Penggunaan kata ini di segala aktivitas.
Putu menjelaskan, cawe-cawe merupakan kata biasa. Ia memberikan contoh, ”aku arep cawe-cawe ngewangi ibu neng dapur (aku mau ikut bantu ibu di dapur)”. Cawe-cawe, disebutnya, biasanya digunakan dalam tuturan-tuturan yang santai atau tidak formal.
Terkait konteks penggunaan kata cawe-cawe oleh Presiden Jokowi, yang tadinya bermakna netral bisa saja berubah. Terutama dalam dunia politik dan lawan politik.
Yang tidak boleh adalah jika Presiden gunakan kekuasaannya terhadap aparatur sipil negara, TNI, dan Polri untuk memobilisasi dukungan. Apalagi memengaruhi Komisi Pemilihan Umum. Itulah batasannya.
Menurut doktor komunikasi politik Benny Susetyo, Jokowi yang juga presiden dan kepala negara merupakan aktor politik sehingga Jokowi dapat meminta dan bertemu dengan siapa saja sesuai dengan preferensinya untuk memastikan Pemilu 2024 berjalan demokratis dan keberlanjutan program-program pemerintahannya oleh penggantinya, termasuk partai serta calon presiden dan calon wakil presiden.
”Yang tidak boleh adalah jika Presiden gunakan kekuasaannya terhadap aparatur sipil negara, TNI, dan Polri untuk memobilisasi dukungan. Apalagi memengaruhi Komisi Pemilihan Umum. Itulah batasannya,” ujar Benny.
Cawe-cawe Pemilu 1955
Sebelum pemilu, Bung Karno sebagai kepala negara mengunjungi hampir semua daerah dan berdialog dengan rakyat tentang partai yang bagaimana harus dimenangkan dalam Pemilu 1955. Namun, Bung Karno tak sedikit pun menyebut partai yang dimaksud.
Menurut putra sulung Presiden Soekarno, Guntur Soekarno, cawe-cawe juga dilakukan oleh Bung Karno sebelum Pemilu 1955, satu pemilu yang dinilai demokratis oleh sejarah. ”Sebelum pemilu, Bung Karno sebagai kepala negara mengunjungi hampir semua daerah dan berdialog dengan rakyat tentang partai yang bagaimana harus dimenangkan dalam Pemilu 1955. Namun, Bung Karno tak sedikit pun menyebut partai yang dimaksud,” katanya.
Menurut Guntur, cawe-cawe itu bertujuan menjaga keutuhan negara dengan Pancasila sebagai pedoman dasarnya. ”Seingat saya, safari Bung Karno ke daerah-daerah waktu itu berjalan mulus tanpa protes-protes atau demonstrasi yang menentangnya,” ujarnya.
Untuk para pendukungnya, cawe-cawe dinilai perlu. Menurut Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang, cawe-cawe diperlukan agar kinerja Presiden Jokowi dapat diteruskan. ”Presiden enggak bisa dong tinggalkan begitu saja sisa perjuangan yang telah dinikmati oleh rakyat,” ujarnya seusai upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di lapangan selatan Monas, Jakarta, Kamis (1/6/2023).
Oesman menyebut bahwa cawe-cawe dilakukan agar semua program pemerintahan yang sudah dijalankan oleh Presiden Jokowi tetap on the track atau di jalurnya. ”Itu yang harus diteruskan. Kedua, yang kurang harus diperbaiki oleh yang baru. Jadi, jangan semua mau dianggap tidak ada. Banyak orang asal cuap-cuap saja, tapi isinya enggak ada. Cuma politik doang. Politik-politik murah lagi. Haduh kasihan deh lu,” katanya.
Baca juga: Parpol Ingatkan agar Cawe-cawe Presiden Tak Salah Gunakan Kekuasaan
Pengajar Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, juga menilai Presiden niscaya harus cawe-cawe dalam urusan pemilu. Hal ini terutama dalam peran government guarantee atau memastikan pemilu berlangsung tepat waktu dan berproses berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, harus ada jaminan bagi kebebasan warga negara yang punya hak pilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Batasannya adalah bahwa Presiden tak boleh mencampuri urusan pencalonan kandidat di pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan DPD. Berdasarkan konstitusi negara, pencalonan kandidat menjadi kewenangan partai.
Jika secara pribadi Presiden punya aspirasi dan kepentingan terkait kesinambungan program dan ingin meng-endorse kandidat tertentu, maka aspirasi itu harus disampaikan lewat partai politik tempatnya bernaung. ”Bukan asal lewat partai politik. Mengapa tidak boleh asal lewat partai yang bukan tempatnya bernaung? Karena ini terkait dengan hal yang sangat hakiki dalam proses pembangunan demokrasi, yaitu pelembagaan partai politik dalam proses pemilu demokrasi,” ujar Penasihat Senior Lab 45 ini.
Itulah cawe-cawe jika dimaknai dalam konteks bahasa, sejarah, dan kenegaraan.
(INA/CAS/WKM/HAR)