Cawe-cawe Presiden Diminta Sebatas Memastikan Pemilu Demokratis dan Tepat Waktu
Pernyataan Presiden bahwa dirinya akan cawe-cawe dan bersikap tidak netral dalam Pemilu 2024 demi kepentingan negara dianggap bermasalah secara etik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
(Dari kiri) Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono saat menghadiri Silaturahmi Ramadhan di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah akademisi meminta Presiden Joko Widodo untuk memberikan batasan pada intensi cawe-cawe dalam Pemilu 2024 yang sempat diucapkan. Batasan dimaksud adalah memastikan pemilu berjalan sesuai dengan jadwal dan berlangsung secara demokratis. Tanpa batasan yang tegas, pernyataan Presiden bisa berimbas pada keharmonisan bangsa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pernyataan Presiden Joko Widodo untuk cawe-cawe dalam Pemilu 2024 disampaikan dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu. Cawe-cawe itu disebut demi kepentingan negara, bukan urusan politik praktis. Kendati demikian, pernyataan Presiden mengundang banyak tafsir dan menuai kritik dari para politisi berbagai partai politik (parpol). Begitu juga para akademisi.
Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, pernyataan Presiden bahwa dirinya akan cawe-cawe dan bersikap tidak netral dalam Pemilu 2024 demi kepentingan negara bermasalah secara etik. Lebih dari itu, pernyataan tersebut juga berpotensi menciptakan ketidakharmonisan bangsa karena menimbulkan kecurigaan antarpihak.
Menurut Firman, dari pernyataan itu terlihat bahwa Presiden tengah menunjukkan kecurigaan terhadap pihak yang tidak sejalan dengan visinya. Pihak dimaksud seolah-olah bakal melakukan agenda yang kontraproduktif, bahkan membahayakan negara. Padahal, sebagai kepala negara, Jokowi semestinya menciptakan suasana yang kondusif, dengan cara bersikap netral, merangkul semua pihak, dan memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk mempersiapkan diri mengikuti Pemilu 2024.
”Itu bukan saja tidak etis, melainkan juga berpotensi membuat situasi menjadi lebih tegang. Seharusnya, kan, kondusif, netral, baik kepada semua, dan memberikan jalan masing-masing. Nanti pilihan presidennya seperti apa, ya itu diserahkan saja pada mekanisme demokrasi yang namanya pemilu,” kata Firman dihubungi dari Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Ia menambahkan, ikut campurnya Presiden dalam penyelenggaraan pemilu semestinya terbatas pada dua hal. Pertama, memastikan bahwa pemilu berjalan tepat waktu. Kedua, memastikan pemilu berlangsung secara demokratis.
”Pernyataan itu seharusnya dilanjutkan lagi dengan aksi verbal dan aksi simbolis, misalnya, menekankan kepada seluruh jajarannya untuk tetap netral dan mengulang lagi pernyataan-pernyataan bahwa yang dia maksud (cawe-cawe) lebih pada persoalan jalannya pemilu sesuai jadwal dan bisa demokratis,” ujar Firman.
Selain membuat pernyataan tersebut, Firman menambahkan, Presiden juga hendaknya menunjukkan sikap kenegarawanan dengan mengundang semua parpol untuk membicarakan soal pemilu. Dalam momen tersebut, Jokowi juga dapat menjelaskan kembali apa yang dia maksud sehingga bisa meneduhkan menyamakan pemahaman dengan semua pihak.
Secara terpisah, pengajar komunikasi politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nyarwi Ahmad, mengatakan, kontroversi pernyataan Jokowi paling besar berasal dari kecenderungan Presiden mencari sosok pemimpin yang bisa meneruskan warisan program-programnya.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sosok yang menang dalam dua kali pilpres, serta pimpinan koalisi pemerintahan, pernyataan Jokowi jelas bisa berpengaruh luas ke berbagai kalangan. Mulai dari politisi, partai politik, hingga bakal calon presiden dan wakil presiden.
”Lebih dari itu, skala pengaruh ini juga bisa menggerakkan barisan relawan yang selama ini menjadi pendukung setia Presiden. Tidak hanya itu, pengaruh tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung, bahkan bisa berkembang ke lingkungan birokrasi, hingga ke lingkungan TNI/Polri. Skala pengaruh ini saya kira yang harus dikelola dengan arif oleh Presiden dan para tokoh yang ada dalam lingkaran terdekatnya saat ini,” kata Nyarwi.
Klarifikasi Demokrat
Selain soal pernyataan cawe-cawe dalam Pemilu 2024, pertemuan Jokowi dengan para pemimpin redaksi media massa juga memunculkan kabar mengenai aktivitas Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua parpol yang berada di luar pemerintahan.
Kedua partai tersebut juga bergabung dengan Partai Nasdem dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024.
Dalam pernyataan yang beredar, Presiden menyebut, Demokrat dan PKS kerap datang ke Istana, tetapi pada malam hari.
Menanggapi pernyataan tersebut, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya melalui keterangan tertulis mengatakan telah mengumpulkan keterangan mengenai pertemuan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dengan Jokowi di Istana.
Dari pengumpulan keterangan itu diketahui bahwa Yudhoyono pernah tiga kali bertemu dengan Jokowi selama 3,5 tahun terakhir. Ketiga momen dimaksud adalah pertemuan di Istana Negara, Oktober 2019, siang hari; saat menghadiri pernikahan putra Presiden, Kaesang Pangarep, di Surakarta, Jawa Tengah, Desember 2022, malam hari; serta pertemuan makan malam G20 di Kawasan Garuda Wisnu Kencana, Bali, November 2022.
”Ketiga pertemuan tersebut yang menentukan tempat dan waktunya adalah Presiden Joko Widodo, dan Bapak SBY menghormati Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara yang sedang mengemban amanah saat ini. Artinya, ketiga pertemuan itu inisiatif datang dari Presiden Joko Widodo, bukan atas inisiatif Bapak SBY, apalagi meminta waktunya malam hari,” kata Riefky.
Sementara itu, tambahnya, Agus juga pernah bertemu sekali dengan Jokowi di Istana Bogor, Maret 2021, pada malam hari. Waktu dan tempat pertemuan itu disebut atas permintaan pihak Istana. Adapun hal yang dibicarakan seputar manuver Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat.
Riefky menegaskan, empat pertemuan yang pernah dilakukan petinggi Demokrat bukanlah pertemuan politik yang lazim dilakukan Presiden dengan parpol anggota koalisi pemerintahan. Ia berharap publik bisa mengerti duduk persoalan dan tidak menduga bahwa Partai Demokrat ikut mencari jalan untuk bertemu Jokowi pada malam hari.