Pelajaran dari Sudiroprajan
Perbedaan tidak selalu menjadi sekat pemisah. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh warga Sudiroprajan di Kota Surakarta. Ada pelajaran yang bisa dipetik dari komunitas ini soal menjaga toleransi.
Jalan kampung di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, suatu siang di pertengahan Mei lalu tak terlalu ramai. Di sebuah warung makan tampak warga dari latar belakang etnis berbeda asyik bercengkerama, saling bersenda gurau. Tak ada sekat komunikasi di antara warga yang berlatar belakang budaya Jawa dan warga beretnis Tionghoa.
Haryanto (58), salah satu warga senior di lingkungan itu, mengungkapkan, warga Tionghoa dan Jawa sudah lama hidup berdampingan di kampung Sudiroprajan sehingga sudah saling berbaur.
”Memang dari nenek moyang kita itu sudah seperti air mengalir. Saya ini keturunan ampyang (makanan tradisional khas Jawa yang terbuat dari kacang tanah dan gula jawa). Ampyang itu bapak saya Tionghoa, ibu saya Jawa asli,” kata Haryanto yang memiliki nama Tionghoa, Kho Hok Sing.
Relasi hidup berdampingan dalam harmoni itu dimulai dari hal paling sederhana, yakni tidak membangun ”sekat” pergaulan. Haryanto mencontohkan ia selalu membebaskan anaknya bergaul dengan siapa saja. Ia tidak pernah membatasi anaknya harus bergaul hanya dengan warga Tionghoa.
Dia pernah merasa sedih bukan kepalang ketika suku Tionghoa dikambinghitamkan dalam tragedi Mei 1998. Padahal, banyak orang Tionghoa yang turut membangun negeri Indonesia. Agar hal serupa tidak terjadi lagi, dibutuhkan pemimpin yang memiliki toleransi tinggi. Menurut Haryanto, toleransi akan membuat Indonesia semakin maju.
Grebeg Sudiro
Toleransi yang tinggi di Kelurahan Sudiroprajan diakui oleh Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Sudiroprajan Wahyu Sugiarto (40) dan Ketua II Kelompok Sadar Wisata Kelurahan Sudiroprajan Yanuar Sri Hartono (38).
Salah satunya, warga rutin menyelenggarakan Grebeg Sudiroprajan menjelang Tahun Baru Imlek. Semangat persaudaraan dalam kemajemukan ditunjukkan dalam kegiatan ini. Karnaval dengan penampilan atraksi seperti tari kreasi tradisional topeng ireng serta kesenian barongsai dan liong khas Tionghoa menjadi pertunjukan yang dapat dinikmati masyarakat Surakarta dan berbagai daerah lain. Kegiatan ini juga bisa mendatangkan wisatawan ke Surakarta. Sebagian besar penari liong itu berasal dari etnis Jawa.
Baca juga: Jalinan Panjang Persaudaraan Tionghoa-Jawa di Sudiroprajan
Yanuar berharap, Grebeg Sudiro dan kemajemukan di Sudiroprajan bisa menjadi contoh serta inspirasi di seluruh Indonesia. Ia menegaskan, bangsa Indonesia harus bisa saling menghargai dan antarsuku hidup berdampingan. ”Jangan sampai kembali ke kisah pilu seperti tahun 1998. Hidup damai bermasyarakat itu sangat indah dan menyenangkan,” ucapnya.
Tokoh Tionghoa Surakarta sekaligus Wakil Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Surakarta, Sumartono Hadinoto, menuturkan, peristiwa kerusuhan Mei 1998 memang meninggalkan luka yang mendalam, khususnya bagi etnis Tionghoa di sana. Mereka memilih mengubur memori kolektif itu dalam-dalam karena sekarang, setelah 25 tahun, warga sudah kembali hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Sumartono sendiri yang saat itu tinggal di Kampung Sewu, Kecamatan Jebres, juga ikut menjadi korban penjarahan massa. Barang-barang di rumahnya diambil massa yang entah datang dari mana. Akibat peristiwa tersebut, pria yang akrab disapa Martono itu sempat trauma saat melihat api. Dia harus dirawat psikiater selama 1,5 tahun. Bahkan, kini di dalam rumahnya juga terdapat hidran dan sprinkle untuk mencegah kebakaran. Ini diakui karena pengaruh trauma setelah peristiwa kerusuhan 1998.
”Mengingat peristiwa itu lagi memang membuat trauma mendalam. Namun, setelah 25 tahun berlalu akhirnya saya sadar bahwa yang terjadi saat itu adalah semacam pembiaran. Ada aparat, tetapi seolah massa dibiarkan membuat kerusuhan. Jangan sampai peristiwa ini terulang kembali,” katanya.
Untuk mencegah peristiwa serupa terulang kembali, Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) terus berusaha berkontribusi untuk menjaga Kota Surakarta tetap aman, rukun, dan toleran. PMS memang kerap membuat gerakan sosial kedermawanan hingga kegiatan sosial kemasyarakatan melalui seni dan budaya.
Namun, bagi Martono, kontribusi menjaga Surakarta tidak selalu sifatnya berupa materi. Warga bisa ikut berkontribusi dengan menjaga toleransi dan kerukunan di masyarakat.
”Kita belajar dari peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang berdampak tidak hanya pada etnis Tionghoa yang minoritas, tetapi juga semua perekonomian lumpuh karena kota porak poranda. Bahkan, penjual tenongan (makanan keliling) pun berhenti,” ucapnya.
Tidak ada akar konflik
Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Susanto, menuturkan, masyarakat Kota Surakarta pada abad ke-19 adalah masyarakat yang majemuk dan hidup berdampingan dengan damai.
Surakarta sejak lama sudah menjadi melting pot atau campuran antara warga Belanda, Eropa, Jawa, Tionghoa, dan Arab. Etnis Tionghoa pun bukan orang asing di Surakarta. Sebab, sebelum Surakarta ada, orang Tionghoa sudah ada dan bermukim di daerah Pajang. Jika Pajang sekarang sudah masuk wilayah Surakarta, artinya mereka bukan orang asing dalam sejarah pembentukan kota.
”Solo sejak dulu adalah daerah dengan tingkat perkawinan campur atau akulturasi budayanya tinggi. Karena itu, masyarakat Solo di masa lampau juga hidup ramai dan meriah dengan ekologi budaya sendiri-sendiri,” katanya.
Situasi kemudian berubah ketika pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-20 ingin memurnikan kebudayaan dan mendominasi secara politik. Mereka membuat kebijakan menstandarkan kebudayaan, yang justru menciptakan segregasi sosial di masyarakat. Misalnya, kewajiban penggunaan bahasa Belanda, aturan hukum, kuliner, dan pakaian yang dibuat serba Belanda. Kebijakan politik ini akhirnya membuat kebudayaan lain tersisihkan.
”Keinginan Belanda untuk mempertahankan dominasi itu yang akhirnya justru memecah belah. Orang Jawa dan Indo (campuran Jawa dan Belanda) akhirnya melawan dan justru memicu lahirnya nasionalisme dan pergerakan nasional,” ujar Susanto.
Karena tak ada akar sejarah konflik dan kekerasan antara etnis Jawa dan Tionghoa, Susanto menilai kerusuhan Mei 1998 adalah kekuatan massa bergerak yang dipolitisasi. Massa bergerak itu adalah warga yang sebenarnya terkungkung karena tidak bebas menyuarakan aspirasinya selama rezim otoriter Orde Baru.
Pemicu konflik lainnya adalah krisis ekonomi yang terjadi jelang Lebaran tahun 1998. Saat itu, rakyat menderita karena harga-harga kebutuhan pokok mahal. Kemudian, ada yang menyebarkan kabar bohong etnis Tionghoa menimbun bahan pokok di rumah mereka. Kabar bohong yang dipolitisasi inilah yang akhirnya menjadi pelatuk konflik dengan kekerasan pada Mei 1998 di Surakarta.
Agar konflik dan kekerasan serupa tidak terulang, dia berpandangan pemimpin masa depan harus memiliki visi yang jelas untuk menjaga keberagaman masyarakat yang multikultur. Jika kemajemukan itu tidak bisa dijaga, bencana atau malapetaka pasti akan datang.