Jalinan Panjang Persaudaraan Tionghoa-Jawa di Sudiroprajan
Jalinan persaudaraan antara Tionghoa dan Jawa telah berlangsung panjang di Sudiroprajan, Surakarta. Riak pertikaian berdasarkan perbedaan suku bangsa dengan sendirinya luntur karena kuatnya kohesi sosial antarwarga.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·6 menit baca
Beduk digebuk menggebu-gebu, beriringan dengan tepukan simbal. Dua barongsai berwarna terang menari-nari begitu energik. Mereka melompat, salto, berguling, hingga saling menggendong. Di tengah-tengahnya, liong hijau meliuk-liuk indah. Gerak naga tiruan tersebut begitu dinamis di tangan belasan lelaki kekar berkulit gelap.
Itulah sekilas penampilan kelompok barongsai Macan Putih pada karnaval budaya Grebeg Sudiro, di Kawasan Pasar Gede Hardjonagoro, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (15/1/2023) sore. Kelompok kesenian tersebut berasal dari kampung penggagas gelaran Grebeg Sudiro, yakni Kelurahan Sudiroprajan. Adapun grebeg bertujuan menampilkan pembauran antara etnis Tionghoa dan Jawa yang terjadi sejak lama di kelurahan tersebut.
Keberadaan kelompok barongsai Macan Putih termasuk bagian dalam peleburan kedua suku bangsa tersebut. Kesenian yang biasanya erat dengan warga keturunan Tionghoa itu justru sebagian besar dimainkan oleh warga yang berasal dari suku bangsa Jawa pada kelompok tersebut.
”Persentase orang Jawa yang jadi pemain malah sampai 90 persen sekarang ini. Tetapi, ini bukan hal yang dipermasalahkan. Karena, sejak awal berdirinya juga atas kemauan warga, baik yang Jawa maupun Tionghoa. Jadi, sampai sekarang juga tetap baik-baik saja,” kata Samuel Christianto (53), tokoh senior Macan Putih.
Semasa kanak-kanak, sekitar tahun 1978, Muel sempat menyaksikan kelompok barongsai di kampungnya. Namun, kala itu, kondisinya jauh berbeda dibandingkan sekarang. Pertunjukan dan latihan barongsai saat itu dikekang aparat.
Apabila ketahuan menampilkan kesenian tersebut, aparat bisa menghentikan secara paksa dengan merusak peralatan barongsai mereka. Bahkan, tak segan-segan membakar peralatan tersebut.
Tahun 2000, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membawa angin segar setelah memperbolehkan warga keturunan Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya. Itu ditandai dengan dirayakannya kembali Imlek yang disertai dengan penampilan barongsai, liong, dan kesenian lainnya.
Kebijakan itu disambut dengan penuh sukacita oleh segenap warga. Sejumlah pemuda terinspirasi untuk menghidupkan kembali kelompok barongsai di Kampung Sudiroprajan. Inisiatif datang bukan hanya dari keluarga Tionghoa, tetapi juga Jawa. Perlahan-lahan mereka mengumpulkan perlengkapan barongsai sendiri. Baru pada 2004, Macan Putih resmi berdiri.
”Waktu itu senang sekali. Kakak-kakak saya yang sudah meninggal, juga termasuk inisiator, memikirkan bagaimana biar barongsai bisa bangkit lagi. Kebetulan anak-anak mudanya memang antusias,” tutur Muel.
Eksistensi barongsai Macan Putih menunjukkan cairnya interaksi sosial antarwarga dari latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan bukan dipandang sebagai pembatas. Setiap pihak mau saling membuka diri. Kesenian tersebut justru menjadi arena pertemuan yang menjalin kerukunan.
Terlebih lagi, setelah adanya kelompok tersebut, perlahan citra kampung sebagai sarang narkoba perlahan terhapus. Anak-anak muda tak lagi terjerumus jerat obat-obatan terlarang karena mengikuti kegiatan seni budaya seperti barongsai.
”Saya ingin kesenian ini bertahan sampai ke generasi-generasi berikutnya. Jangan sampai kena narkoba lagi. Ini, kan, bukan berarti ikut-ikut orang Tionghoa. Malah ini bentuk peleburan dan kerukunan kita yang memang sejak lama sudah ada,” kata Muel.
Perkawinan ”ampyang”
Bentuk peleburan lainnya, di Kelurahan Sudiroprajan, yaitu dikenalnya perkawinan ”ampyang”. Sebenarnya, ampyang adalah kudapan berbahan dasar gula aren dan kacang cina. Sebutan ampyang merujuk pada warga yang melakukan perkawinan campur antara Jawa dan Tionghoa yang jamak terjadi di perkampungan tersebut.
Salah seorang pelaku pernikahan campuran ialah Sugiyanto (71). Ia merupakan keturunan Tionghoa dengan nama lahir Gan Siong Goei. Ayahnya keturunan Tionghoa asal Semarang, sedangkan ibunya keturunan Tionghoa asal Pacitan.
Tahun 2000, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membawa angin segar setelah memperbolehkan warga keturunan Tionghoa untuk mengekspresikan budayanya. Itu ditandai dengan dirayakannya kembali Imlek yang disertai dengan penampilan barongsai, liong, dan kesenian lainnya.
Pada 1971, ia menikahi kekasihnya yang berasal dari keluarga Jawa, yaitu Tumini. Mereka tinggal di satu kelurahan yang sama, hanya berbeda kampung. Keduanya saling suka setelah sering bertemu dalam acara sinoman atau laden, ketika ada tetangga mereka yang menggelar hajatan.
Sejak kecil, kenang dia, perkawinan campuran sudah jamak terjadi. Untuk itu, ia merasa apa yang dilakukannya juga bukanlah hal yang janggal. Empat anak hasil perkawinannya dengan Tumini juga semuanya menikah dengan orang Jawa.
”Waktu saya masih kecil warga sudah tercampur baur. Makanya, tidak ada yang mempermasalahkan juga dengan perkawinan campuran seperti ini,” kata pria berbadan kurus ini yang juga fasih berbahasa Jawa dengan halus ini.
Sepanjang hidupnya, Sugiyanto mengaku bahagia tinggal di kampung tersebut. Kehidupan bertetangga dijalani tanpa pernah mengalami perlakuan diskriminatif. Etnis Tionghoa dan Jawa tinggal berdampingan dengan begitu rukun. Ia pun heran jika ada pihak yang berusaha membeda-bedakan hingga menginginkan perpecahan.
”Saya lahirnya juga di sini. Ditanyain soal China saya juga enggak ngerti. Orang memang aslinya dari sini. Harapan saya, kerukunan warga di sini terawat selalu,” kata Sugiyanto, yang hingga kini masih tinggal di rumah masa kecilnya.
Bukti eratnya kohesi sosial, di Kelurahan Sudiroprajan, juga dirasakan warga keturunan Tionghoa lainnya, yaitu Donny Mahesa Widjaja (48). Misalnya, pada 1998, keributan jelang reformasi yang menyasar toko-toko milik warga keturunan Tionghoa tidak terjadi di kampungnya. Itu dikarenakan segenap warga kampung bergerak memblokade jalan menuju kawasan permukiman warga. Massa perusuh tak dikenal akhirnya tidak memasuki wilayah perkampungan tersebut.
”Semua warga keluar begitu dengar kabar gegeran itu. Kursi kayu, meja, dan lain-lain dikeluarkan biar yang mau ngrusuh itu enggak bisa masuk. Gotong royong betul waktu itu. Pokoknya biar kampung ini aman,” kata Donny.
Selain itu, Donny juga baru mengenal sentimen ras di luar kampungnya. Tepatnya semasa ia menginjak bangku SMP. Dalam perjalanan pulang sekolah, ada orang dari wilayah lain mengatainya ”China”. Ia merasa kaget karena dianggap berbeda dengan orang-orang lainnya.
”Loh, berbeda ini jadi masalah, ya, di luar? Baru tahu saya waktu itu. Soalnya selama ini saya bergaul di kampung dengan teman-teman yang berbeda-beda, ya, enak dan nyaman saja,” kata Donny.
Historis
Ditengok dari sisi historisnya, banyaknya warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Kelurahan Sudiroprajan disebabkan oleh dua hal, yakni keberadaan Pasar Gede Hardjonagoro dan Kelenteng Tien Kok Sie yang berdiri sejak 1745. Diperkirakan, kedatangan mereka tak berselang jauh dengan tahun berdirinya kelenteng tersebut. Meski pasar baru dibangun pada 1923, aktivitas perdagangan di kawasan tersebut diduga telah berlangsung jauh sebelumnya.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) Warto mengatakan, belum ada catatan pasti mengenai penamaan Sudiroprajan. Namun, soal penentuan lokasi permukiman Tionghoa diduga akibat pengaruh kebijakan pemerintah kolonial yang mengelompokkan tempat tinggal penduduk berdasarkan rasnya. Kebijakan serupa berlaku pula bagi komunitas Arab.
”Itu merupakan bijakan untuk mengelompokkan golongan sosial dalam ruang-ruang khusus supaya terbentuk eksklusivitas. Ini bagian dari politik memecah belah. Dengan tata ruang yang seperti ini akan terbentuk jarak sosial sehingga tidak ada kekuatan yang mengancam kolonial,” kata Warto.
Seiring berjalannya waktu, lanjut Warto, terjalin hubungan harmonis antara Tionghoa dan Jawa di kawasan tersebut. Identitas etnisitas seolah saling dilepaskan. Pembauran terjadi tidak hanya pada tingkatan yang material seperti menjajal pakaian, makanan, hingga kesenian. Tetapi, juga dalam rupa perkawinan campur di antara dua suku bangsa. Pandangan yang eksklusif tentang satu suku bangsa dengan sendirinya akan terkikis.
”Itu terjadi saking cairnya hubungan. Tahap paling tinggi dari akulturasi adalah asimilasi. Langkahnya yang paling nyata hanya lewat perkawinan. Itu terjadi karena ada keterbukaan setiap pihak pada dua budaya yang berbeda,” kata Warto.
Jalinan persaudaraan antara Tionghoa dan Jawa telah berlangsung panjang di Sudiroprajan. Riak pertikaian berdasarkan perbedaan suku bangsa dengan sendirinya luntur karena kuatnya kohesi sosial antarwarga. Kerukunan adalah jalan hidup. Sebab, seluruh warga meyakini keberagaman sebagai suatu keniscayaan yang tak terelakkan.