Belajar dari Pemilu 2019, KPU Dorong Mahasiswa Jadi Petugas KPPS
Ada lebih dari 800 petugas ”ad hoc” yang meninggal pada Pemilu 2019, diduga akibat kombinasi penyakit bawaan dan beban kerja berlebih. Sejumlah langkah diambil untuk mengantisipasi kejadian ini di Pemilu 2024.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendorong mahasiswa menjadi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara melalui program Merdeka Belajar. Hal ini berkaca dari pengalaman Pemilu 2019 di mana banyak petugas KPPS meninggal akibat kelelahan karena beratnya tugas setelah pemilihan presiden dan anggota legislatif dilaksanakan serentak.
Anggota KPU, Idham Holik, di Jakarta, Rabu (24/5/2023), mengatakan, di Pemilu 2024, KPU akan memprioritaskan calon KPPS berusia muda karena berdasarkan hasil studi kesehatan mereka yang berusia muda memiliki ketahanan atau imunitas tubuh yang lebih baik daripada warga lanjut usia.
”Kami mempertimbangkan kompetensi mereka (usia muda) dalam menyelesaikan pekerjaan. Kami akan berkoordinasi dengan kementerian pendidikan, kami akan dorong para mahasiswa untuk menjadi KPPS di wilayah tempat tinggal masing-masing,” ujar Idham.
Menurut catatan KPU, terdapat 894 Petugas Pemungutan Suara (PPS) meninggal dan 5.175 orang sakit selama melaksanakan pemungutan suara Pemilu 2019. Beban kerja Pemilu 2019 yang cukup besar dinilai menjadi faktor penyebab berjatuhannya petugas pemilihan di lapangan. Untuk mengantisipasi hal itu, Idham mengungkapkan akan membatasi usia petugas KPPS menjadi 17-55 tahun.
Idham menyebut, pada Pemilu 2019 petugas KPPS yang wafat berusia di atas 50 tahun karena mengalami komorbid bawaan seperti darah tinggi dan jantung. Penyakit tersebut menjadi aktif akibat beban pekerjaan yang berlebihan.
Berdasarkan survei Litbang Kompas yang dilakukan 18-20 Oktober 2022 mengenai jajak pendapat rekrutmen penyelenggara pemilu, 83,2 persen responden setuju dengan rencana melibatkan mahasiswa. Terutama jika di suatu wilayah tertentu kesulitan mendapatkan partisipasi dari warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tenaga ad hoc penyelenggara pemilu. Apalagi, konsep keterlibatan mahasiswa ini melalui jalur kerja sama antara KPU dan pihak kampus sehingga keterlibatan mahasiswa bisa sekaligus dikonversi dengan tugas-tugas akademik mereka (Kompas, 5/12/2022).
Guna mencegah jatuh korban, selain usia KPPS didesain lebih muda, teknis penyelenggaraan Pemilu 2024 juga akan diubah dengan menerapkan metode panel untuk penghitungan hasil perolehan suara di tempat pemungutan suara. Terdapat dua panel, yakni panel A untuk pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu DPD RI serta panel B untuk pemilu anggota DPR dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Formulir hasil penghitungan suara pada Pemilu 2024, kata Idham, juga akan diubah menggunakan scanner fotokopi yang akan disediakan di TPS dan akan menggunakan aplikasi Sistem Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Sirekap) dengan menggunakan portable document format atau format pdf.
”Dahulu penggandaan formulir hasil perolehan suara atau kode formulir C1 dilakukan secara manual oleh anggota KPPS. Ditulis satu per satu dan dibuat rangkapnya sebanyak sejumlah saksi yang hadir,” ujarnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengungkapkan, terkait beban kerja petugas KPPS yang berat, ada dua hal yang perlu diperhatikan agar tidak terulang. Pertama, kondisi kesehatan petugas untuk menghindari dampak komorbid atau penyakit bawaan, KPU bisa menggunakan potensi kelompok muda untuk terlibat dalam proses pemilu. Hal ini sekaligus untuk melahirkan kader-kader demokrasi muda yang akan memiliki pengalaman personal kepemiluan sebagai bagian dari instrumen demokrasi sehingga mereka bisa memaknai demokrasi secara lebih substantif.
Kedua, terkait dengan beban kerja petugas, KPU mestinya bisa serius melakukan terobosan untuk mengatur manajemen TPS yang lebih wajar, berimbang, dan distributif di antara para petugas. KPU perlu benar-benar serius dan fokus untuk menyiapkan desain pencatatan salinan yang mestinya tidak lagi dilakukan sepenuhnya manual. Pengalaman Sirekap Pilkada mestinya bisa diduplikasi dan diujicobakan serius untuk Pemilu 2024 sehingga petugas bisa berkurang bebannya dalam bekerja mengelola TPS.
”Daripada melakukan penghitungan dua panel, menurut saya lebih strategis melakukan distribusi atau rotasi kerja antarpetugas sehingga beban tidak bertumpuk pada orang-orang tertentu di KPPS,” ujarnya.
Oleh karena itu, Titi mengatakan, harus ada pelatihan yang cukup dan memadai bagi para petugas sehingga mereka bisa berbagi peran secara rata dan imbang dalam penyelenggaraan pungut hitung pada Pemilu 2024. Sebab, kegagapan pada prosedur kerja juga ikut memengaruhi psikologis petugas pemilu dalam menghadapi tekanan kerja, termasuk juga tekanan dari pemilih yang terpolarisasi ikut memengaruhi pemilih.