Survei Kompas menunjukkan tingkat popularitas, kesukaan, dan elektabilitas partai politik tak linier. Perlu strategi untuk mengubah popularitas dan kesukaan menjadi elektabilitas.
Deretan bendera partai politik peserta Pemilu Serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
JAKARTA, KOMPAS - Elektabilitas partai politik mengacu pada hasil survei Litbang Kompas terbaru masih bergerak dinamis. Tingginya popularitas bisa menjadi jalan untuk mengerek elektabilitas partai. Sejumlah partai pun beradu strategi untuk menggenjot popularitas sekaligus mengonversinya menjadi elektabilitas. Kerja riil dan keberpihakan pada publik menjadi salah satu cara membuat pemilih yakin memilih partai.
Mengacu pada survei Litbang Kompas pada 29 April hingga 10 Mei 2023, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih meraih elektabilitas tertinggi, yaitu 23,3 persen atau sedikit meningkat (0,4 persen) dibandingkan survei Januari 2023. Di urutan kedua, Gerindra, yang meningkat elektabilitasnya dari 14,3 persen menjadi 18,6 persen.
Di urutan selanjutnya, Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Nasdem. Adapun di papan tengah dengan elektabilitas 2,9 persen hingga 5,5 persen ada PKB, PKS, PAN, Perindo, dan PPP. Sementara itu, elektabilitas delapan partai politik (parpol) lain yang juga menjadi peserta Pemilu 2024 di bawah 2 persen.
Namun, jika ditilik dari tingkat kepopuleran partai, survei menunjukkan Partai Golkar paling populer dengan angka 86 persen. Kemudian PDI-P (83,8 persen), Demokrat (83,5 persen), dan Gerindra (81,2 persen). Delapan parpol lain memiliki angka popularitas berkisar 50-80 persen. Di antara parpol ini ada parpol nonparlemen, Partai Perindo. Enam parpol lain di bawah 50 persen.
Tingginya tingkat kepopuleran ini pun tak linier dengan tingkat kesukaan pada partai. Demokrat, misalnya, meski paling disukai di antara 18 parpol peserta Pemilu 2024, dengan angka 57 persen, capaian itu jauh di bawah tingkat kepopuleran Demokrat, yakni 83,5 persen. Parpol lain menunjukkan hal yang tak jauh berbeda.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Ace Hasan Syadzily di Jakarta, Senin (22/5/2023), mengatakan, tingginya popularitas dan kesukaan publik semestinya linier dengan tingkat elektabilitas. Jika tidak, seharusnya ada riset mendalam untuk mengungkap penyebabnya.
Terlepas dari itu, ia mengakui, parpol tetap harus bekerja untuk mengonversi popularitas menjadi elektabilitas. Salah satu caranya dengan terus menyebarluaskan hasil kerja partai, termasuk kinerja Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
”Ketua umum sebagai Menko Perekonomian telah menunjukkan kinerja yang berkontribusi sangat tinggi pada kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Kinerjanya banyak dipuji karena pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Itu seharusnya dinilai publik dan memiliki konsekuensi elektoral,” ujarnya.
Modal hadapi pemilu
Menurut Ace, tingkat popularitas Partai Golkar yang tertinggi di antara semua parpol di Indonesia menjadi modal untuk menghadapi Pemilu 2024. Ini juga membuat Partai Golkar semakin optimistis karena memiliki keunggulan dari parpol lain.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan sambutan dalam acara silaturahmi Partai Golkar di Jakarta, Kamis (20/12/2018) malam.
Wakil Ketua Umum Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengeklaim tingkat kepopuleran Perindo yang mencapai 73,7 persen disebabkan oleh kerja-kerja pengurus, kader, dan simpatisan yang sering turun ke masyarakat. Mereka melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat, terutama kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang membutuhkan bantuan serta pendampingan.
Kerja-kerja tersebut turut ditopang dengan publikasi media milik Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo sehingga lebih banyak masyarakat yang mengetahui kinerja Perindo di lapangan. Kehadiran sejumlah tokoh, mantan kepala daerah, serta pesohor di Perindo turut meningkatkan popularitas.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, naiknya capaian elektoral PDI-P membuktikan keberhasilan kerja kolektif ke bawah secara masif melalui program konkret yang diterima rakyat. Selain itu, kenaikan menunjukkan pula bahwa PDI-P dan Presiden Joko Widodo dipersepsikan publik sebagai satu kesatuan.
Namun, PDI-P meyakini tingkat kepopuleran partai masih bisa digenjot lebih tinggi lagi. Begitu pula elektabilitas partai. Untuk itu, PDI-P akan mengoptimalkan kerja-kerja kemanusiaan dan kerja organisasi sayap partai.
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani pun meyakini, kerja-kerja nyata untuk publik akan berimplikasi pada capaian elektoral. Kerja nyata itu harus sesuai dengan keinginan rakyat serta riil dirasakan masyarakat. Misalnya, memberikan bantuan bahan kebutuhan pokok murah, memberikan pupuk gratis bagi petani, membuka lapangan pekerjaan, serta membantu rakyat menjangkau akses kesehatan dan pendidikan yang baik.
Adapun Ketua DPP Bidang Pemenangan Pemilu PPP Yunus Razak optimistis PPP bisa lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen pada Pemilu 2024. Dengan modal kepopuleran 63,1 persen, PPP akan terus menggerakkan semua elemen parpol, termasuk organisasi sayap partai, untuk meyakinkan pemilih memilih PPP, terutama memikat pemilih muda. Kelompok ini menjadi target khusus karena jumlah mereka bisa lebih dari 51 persen pada pemilu mendatang.
Kepercayaan publik
Peneliti senior di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpandangan, tidak mudah untuk mengonversi popularitas menjadi elektabilitas.
Yang dibutuhkan, menurut dia, menumbuhkan kepercayaan publik pada parpol. Hal ini bisa ditumbuhkan dengan melihat sejumlah aspek, meliputi kapabilitas, kapasitas, dan juga integritas partai. Misal, dari yang mikro, sejauh mana partai melalui kadernya di daerah dapat mengadvokasi dan bekerja secara riil bagi masyarakat. Kemudian, di tingkat makro, sejauh mana partai melalui kadernya di tingkat pusat bisa memperjuangkan hak rakyat melalui legislasi atau membawanya ke dalam kebijakan-kebijakan nasional.
”Jadi, kalau sekadar mengenal dan suka, ya, mungkin orang mengenal dan suka pada politisi artis. Tetapi, ketika politisi artis itu kemudian maju kontestasi, masyarakat akan berpikir lagi, apakah orang ini bisa dipercaya untuk doing things. Apalagi, mungkin melihat kapabilitas dan kapasitas politisi itu belum ada sehingga yang muncul rational choice, yang membuat batasan masyarakat itu hanya sekadar suka, tetapi belum sampai memilih,” ucap Firman.
Menurut dia, tantangan berat ada pada parpol-parpol baru yang tingkat kepopulerannya masih rendah. Sebab, dalam benak pemilih sudah lebih terpatri partai-partai yang telah lama berkiprah. Selain itu, dari sisi ketokohan, parpol-parpol baru belum begitu kuat. Selanjutnya, parpol-parpol itu juga belum memiliki agenda politik yang kuat dan mudah dicerna masyarakat.