Diisukan Bakal Dampingi Ganjar, Nasaruddin Umar Pilih Fokus Layani Umat
Kendati disebut-sebut masuk dalam bursa bakal cawapres yang akan mendampingi Ganjar Pranowo, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar mengaku belum satu pun partai politik yang menghubunginya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nama Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar disebut-sebut masuk dalam bursa bakal calon wakil presiden untuk bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo. Namun, selain belum pernah dihubungi oleh partai politik, Nasaruddin juga mengaku lebih nyaman menjalankan perannya sebagai pelayan umat dan fokus bekerja guna menciptakan ketenangan.
Seusai bertemu dengan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Jumat (19/5/2023), Nasaruddin mengaku belum ada satu pun partai politik (parpol) yang menghubunginya untuk membicarakan soal pencalonan wakil presiden di Pemilu 2024. ”Saya tidah pernah dihubungi siapa pun. Saya lebih enjoy mengabdikan diri untuk ketenangan, kesejukan, kualitas bangsa kita ke depan,” katanya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Nasaruddin mengungkapkan bahwa sebelum mengambil keputusan penting, ia selalu menjalankan shalat Istikharah terlebih dahulu. ”Sampai saat ini saya belum Istikharah,” ujarnya.
Saya tidah pernah dihubungi siapa pun. Saya lebih enjoy mengabdikan diri untuk ketenangan, kesejukan, kualitas bangsa kita ke depan.
Nama Nasaruddin santer disebut akan dipilih menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) setelah politikus PDI-P Aria Bima mengungkapkan bahwa salah satu dari sepuluh nama bakal pendamping Ganjar berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Nasaruddin juga sempat bertemu Ganjar dalam acara silaturahmi warga Sulawesi Utara pada 18 Mei lalu. Namun, Nasaruddin memastikan tidak ada pembahasan mengenai kontestasi politik dalam pertemuan itu. ”Jadi kami hanya halalbihalal,” ujar Nasaruddin.
Sebagai pelayan umat, lanjut Narasuddin, ia terbuka untuk bertemu dengan siapa pun, tak terkecuali para bakal capres. ”Ya, saya, kan, pelayan umat. Siapa pun yang mengundang, tidak boleh menolak,” ujarnya.
Nasaruddin mengaku tidak pernah bermimpi untuk jadi pemimpin apa pun. Selama ini, ia hanya fokus bekerja dengan ikhlas untuk menciptakan ketenangan. Tak hanya itu, ia juga berupaya menjaga agar bangsa Indonesia dengan pendukung yang berbeda suku, agama, ras, dan golongan, tetap harmonis.
Lebih jauh, Nasaruddin mengungkapkan bahwa tidak ada larangan bagi tokoh agama untuk ikut dalam kontestasi politik. Namun, Nasaruddin berharap para politisi tidak memanfaatkan agama untuk kepentingan politik yang bersifat fana. Jangan sampai ayat-ayat dalam Al Quran dieksploitasi untuk kepentingan politik sesaat.
Nasaruddin meyakini kematangan beragama dan berpolitik masyarakat Indonesia semakin baik. Dengan demikian, Pemilu 2024 dapat berjalan demokratis dan penuh persaudaraan.
Hanya incar suara
Strategi partai politik mengusung tokoh agama dalam pemilihan presiden (pilpres) merupakan pola lama. Pada Pemilu 2019, misalnya, PDI-P bersama koalisinya mengusung KH Ma'ruf Amin yang kala itu merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai cawapres pendamping Joko Widodo.
Peneliti senior pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengungkapkan, pengusungan tokoh agama dalam pilpres merupakan pola lama untuk menarik dukungan massa. ”Ini, kan, pola lama ya untuk cari suara karena sadar bahwa perlu booster efektif, khususnya untuk kalangan NU yang selalu catchy dan menarik dalam setiap pemilihan presiden karena massanya banyak,” ujarnya.
Menurut Firman, strategi semacam itu semestinya bisa dihindari. Parpol semestinya memilih cawapres yang punya kapasitas mumpuni untuk membantu presiden secara maksimal, efektif, dan efisien. ”Wapres itu jauh lebih penting sebetulnya ketimbang menteri, apalagi kalau kita lihat pengalaman Jusuf Kalla atau Boediono. Kan, strategis posisi itu,” katanya.
Sebenarnya, menurut Firman, memang sudah jadi rumusan lama bahwa cawapres yang dicari adalah sosok yang tak kontroversial dan tidak mengganggu suara. Bahkan, akan lebih baik jika sosok tersebut dapat mendongkrak suara. Karena itulah selalu muncul godaan bagi parpol untuk mencari tokoh dengan dukungan massa yang besar.