Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengungkapkan, Presiden seharusnya netral dalam pemilu. Sebab, posisi presiden dapat berdampak pada kualitas pemilu yang jujur dan adil.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diharapkan dapat bersikap netral pada Pemilihan Presiden 2024, tanpa mendukung salah satu calon, demi terselenggaranya pemilu yang demokratis, jujur, dan adil. Dukungan terhadap salah satu calon dinilai tidak etis serta tidak sesuai dengan mandat konstitusi untuk menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, ketidaknetralan Presiden juga dinilai berpotensi memicu konflik bangsa apabila aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu beserta pendukungnya yang jumlahnya jutaan menilai ada ketidakadilan serta kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Hal tersebut menjadi ancaman serius bagi persatuan bangsa.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengungkapkan, presiden seharusnya netral di dalam pemilu sebab presiden yang sedang menjabat mendapatkan mandat publik untuk menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk seluruh rakyat tanpa kecuali. Bukan salah satu pihak saja.
”Pertanyaannya, apakah sah seorang presiden yang sedang menjabat kemudian pekerjaannya justru bukan yang diamanatkan oleh konstitusi. Untuk apa? Untuk bekerja mengawal dijalankannya demokrasi, pemilu yang jujur dan adil,” kata Wijayanto dalam diskusi ”Politik Cawe-Cawe Jokowi” yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economic and Finance (Indef).
Hadir membuka acara tersebut, ekonom senior sekaligus pendiri Indef Didiek J Rachbini. Salah satu bagian dari Indef yang fokus dalam penelitian big data, yaitu Continuum, menganalisis perbincangan di media sosial Twitter terkait peristiwa Presiden Jokowi bertemu dengan enam ketua umum partai politik di Istana pada 2 Mei 2023. Continuum memotret perbincangan di Twitter pada 2-6 Mei 2023, dengan merekam setidaknya 15.598 perbincangan warganet (tidak termasuk media dan buzzer).
Dari seluruh perbincangan yang diteliti, menurut analis data Continuum, Maisie Sagita, sebanyak 92 persen di antaranya mengeluhkan tindakan Presiden Jokowi yang mengumpulkan enam ketua umum partai politik di Istana. Ada beberapa alasan mengapa tindakan Jokowi tersebut dinilai tidak wajar. Yang terbesar di antaranya menilai seharusnya Presiden netral dan tidak menggunakan Istana untuk kepentingan pribadinya (79,4 persen). Perbincangan lainnya, mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi tidak mengundang Partai Nasdem.
Dari 15.598 perbincangan yang diteliti, sebaliknya ada delapan persen perbincangan yang mengatakan bahwa memang Presiden wajib untuk ”cawe-cawe” dalam penentuan tokoh yang akan berlaga dalam Pemilu 2024. Setidaknya hal tersebut dilakukan dengan memberikan arahan siapa tokoh yang maju dalam pemilihan presiden mendatang agar terpilih tokoh dengan semangat dan jiwa nasionalisme sehingga tidak menjerumuskan bangsa di masa mendatang.
Wijayanto mengungkapkan salah satu keprihatinannya terkait sedikitnya pihak yang membicarakan masalah seorang presiden aktif dan masih menjabat tetapi bertindak sebagai king makerdalam penentuan calon presiden yang akan berlaga di Pemilu 2024. Tak hanya masyarakat sipil ataupun akademisi, Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menggunakan hak interpelasi terhadap Presiden atas kegiatan ”politiknya” tersebut diam. Menurut Wijayanto, DPR periode saat ini merupakan DPR paling sunyi sejak era reformasi.
Menurut dia, netralitas presiden tersebut penting. Apalagi Presiden menguasai sumber daya baik anggaran ataupun manusia yang seharusnya digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat tanpa kecuali. ”Seluruh publik tanpa kecuali, bukan salah satu saja. Dan, pemilu diatur konstitusi harus demokratis. Pertanyaannya adalah ketika presiden aktif dengan segala power yang dimiliki—dia pimpinan tertinggi Angkatan Darat, pimpinan tertinggi kepolisian, dan para menteri serta semua departemen dan pegawai negeri sipil yang begitu banyak—kalau mendukung salah satu calon, apakah itu tidak memengaruhi pilihan para pengikutnya?” papar Wijayanto.
Oleh karena itu, ia mengingatkan agar Presiden bersikap netral dan berdiri di tengah demi masa depan bangsa Indonesia. Sebab, posisi presiden dapat berdampak pada kualitas pemilu yang jujur dan adil. Publik, terutama pendukung dari tokoh yang nantinya tidak memperoleh dukungan dari presiden, dapat mempertanyakan legitimasi pemilu.
”Kalau mereka (aktor-aktor yang terlibat pemilu) kecewa, pendukungnya kecewa, karena melihat bahwa pemilu tidak demokratis, kemudian apa yang terjadi? Indonesia bisa berada dalam konflik. Karena politisi yang kecewa ini bukan orang sembarangan, politisi ini punya pendukung jutaan, mungkin puluhan juta. Gimana kalau puluhan juta ini berpikir pemilu tidak jujur dan adil, sudah di-setting sejak awal pemenangnya. Kan, serius sekali dampaknya,” kata Wijayanto.
Didiek J Rachbini menilai, ada potensi abuse of power mengingat kekuasaan presiden yang sedemikian besar. Selain itu, presiden juga memberikan pembelajaran kepada presiden berikutnya yang nantinya akan juga melakukan politik praktis. ”Untuk menggunakan sumber daya negara untuk politik-politik praktis, bukan politik kebangsaan dan kenegaraan. Untuk kelompoknya. Ini saya kira perlu dijaga dan perlu dikontrol agar demokrasi ini adil dan sehat,” kata Didiek. Apalagi perbincangan di media sosial negatif sekali.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menampik tudingan bahwa dirinya melakukan intervensi terhadap kewenangan parpol dalam menentukan bakal capres-cawapres yang akan diusung di Pemilihan Presiden 2024. ”Saya bukan cawe-cawe. Urusan capres-cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai. Sudah bolak-balik saya sampaikan, kan. Namun, kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka, boleh-boleh saja. Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada. Tolonglah mengerti bahwa kita ini juga politisi, tetapi juga pejabat publik,” ujar Presiden seperti dikutip Kompas.id (4/5/2023).