Soal Revisi, Prabowo Nilai UU TNI Sudah Berjalan dengan Baik
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan Undang-Undang TNI yang ada saat ini sudah berjalan dengan baik. DPR menilai, TNI dan Kementerian Pertahanan harus saling berkoordinasi.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menilai bahwa Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang saat ini berlaku sebenarnya sudah berjalan dengan cukup baik. Karena itu, ia mempertanyakan jika UU tersebut harus dilakukan perubahan kembali.
”Undang-Undang TNI yang sudah berjalan lama saya kira sudah berjalan dengan baik,” kata Prabowo saat ditanya pers seusai pertemuannya dengan Menteri Pertahanan dan Urusan Veteran Republik Demokratik Kongo, di Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Kamis (11/5/2023).
Bahkan, menurut Prabowo, UU TNI tersebut telah mengatur di antaranya cara pencegahan korupsi di lingkungan TNI. ”Kami mencegah kebocoran serta korupsi. Ini sangat tegas (disampaikan), Presiden (Joko Wododo) menghendaki pengawasan yang sangat baik dan sangat kuat,” ujar Prabowo menambahkan.
Namun, saat ditanya terkait perubahan posisi dan pengajuan anggaran TNI yang bisa secara langsung diajukan ke Kementerian Keuangan tanpa harus melewati Kementerian Pertahanan lagi, Prabowo tak menjawab. Ia justru meninggalkan para jurnalis.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono yang dihubungi pers untuk dimintai tanggapannya terkait pernyataan Prabowo mengatakan, usulan revisi UU TNI tersebut baru dibahas pada level Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan pembahasan UU tersebut belum dibahas lebih lanjut. ”P5 (Panglima TNI) saja belum sampai (materi revisi UU TNI-nya),” ucapnya.
Undang-Undang TNI yang sudah berjalan lama saya kira sudah berjalan dengan baik.
Sebelumnya, sebagaimana tertuang dalam draf revisi UU TNI yang tengah disiapkan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan akan disampaikan ke Panglima TNI, terkait posisi, TNI tak ingin lagi ada di bawah Kemenhan seperti diatur dalam UU No 34/2004, tetapi cukup berkoordinasi dengan Kemenhan. Sementara sesuai revisi Pasal 66, 67, dan 68 UU TNI, TNI juga tak ingin pengajuan anggarannya ke Kemenkeu melalui Kemenhan, melainkan langsung ke Kemenkeu.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono (Kompas.id, 11 Mei 2023), sebelumnya mengutarakan, TNI tetap berkoordinasi dengan Kemenhan, tetapi anggaran dari TNI diajukan langsung ke Kemenkeu. Hal ini membuat proses pengadaan bisa lebih efektif dan efisien. Jalur birokrasi pun diakui akan lebih singkat dan pengadaan akan lebih mudah dikontrol.
Anggota Komisi 1 DPR, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, TNI dan Kemenhan harus berkoordinasi dan menyinkronkan dalam hal anggaran kebutuhan TNI dan kebutuhan kegiatan pertahanan.
”Kegiatan TNI dasarnya dari Kemenhan. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak pas. Setelah di-filter, cocok atau tidaknya tugas pertahanan di Kemenhan baru diajukan ke Kementerian Keuangan,” ujarnya saat diminta tanggapannya.
Kegiatan TNI dasarnya dari Kemenhan. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak pas. Setelah di-filter, cocok atau tidaknya tugas pertahanan di Kemenhan baru diajukan ke Kementerian Keuangan.
Saat ini, tambah Tubagus, sebuah situasi Menhan membeli langsung alat utama sistem persenjataan (alutsista), tetapi dianggap tidak pas oleh TNI. Seharusnya dikembalikan ke aturan yang berlaku, yakni membeli alutsista harus sesuai dengan kebutuhan TNI.
”Saat ini tidak ada koordinasi karena membeli alat-alat itu menurut teorinya harus dari bawah ke atas sesuai kebutuhan,” tuturnya.
Tak sejalan reformasi TNI
Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosari berpendapat, sesuai agenda reformasi TNI, revisi UU TNI seharusnya diposisikan untuk memperkuat agenda-agenda yang tengah berjalan dan mengakselerasi agenda-agenda yang selama ini tersendat atau bahkan mengalami jalan buntu. Namun, dalam bahan presentasi Babinkum TNI tertanggal April 2023 lalu, sejumlah usulan perubahan justru sama sekali tidak kontributif terhadap agenda reformasi TNI.
Sesuai agenda reformasi TNI, revisi UU TNI seharusnya diposisikan untuk memperkuat agenda-agenda yang tengah berjalan dan mengakselerasi agenda-agenda yang selama ini tersendat atau bahkan mengalami jalan buntu.
Sejumlah usulan perubahan dalam revisi tersebut, kata Ikhsan, secara nyata mencerminkan tidak seiramanya revisi UU TNI dan agenda reformasi TNI. Bahkan, sejumlah usulan perubahannya kontradiktif.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan, lanjut Ikhsan, ketimbang melakukan revisi UU TNI dengan usulan perubahan yang tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI, lebih baik membangun dan mengakselerasi pembahasan untuk peraturan perundangan lainnya yang selama ini mandek, seperti revisi UU Peradilan Militer, Rancangan UU Perbantuan TNI, serta memastikan implementasi UU TNI secara presisi.
Sejumlah usulan dalam revisi UU tersebut secara nyata sebaiknya mengakselerasi perluasan peran-peran militer di ranah sipil. Kondisi tersebut terlihat melalui usulan perubahan pada Pasal 7 Ayat 2 mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dengan mengganti diksi ”membantu” menjadi ”mendukung”.
”Implikasinya berpotensi membuat pelibatan TNI dalam OMSP tidak lagi dalam kondisi di luar kemampuan institusi sipil, tetapi dapat kapan saja sebagai penafsiran dukungan,” ucapnya.
Bukan hanya mengubah diksi, Ikhsan menyebutkan, ruang lingkup OMSP juga semakin diperluas melalui penambahan ruang lingkup, seperti penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif, serta mendukung pembangunan nasional.
Hal ini semakin didukung dengan dihapusnya kebijakan dan keputusan politik negara sebagai dasar pelaksanaan OMSP. Penghapusan ini mengakibatkan kekurangan dalam hal pengawasan DPR melalui mekanisme hubungan kerja pemerintah dan DPR. Misalnya, rapat konsultasi dan rapat kerja. Padahal, mekanisme ini sangat penting sebagai bagian dari potret kontrol sipil terhadap militer.