Bareskrim Polri Terus Berupaya Bebaskan 20 WNI Korban TPPO di Myanmar
Hingga kini masih ada 15 WNI yang masih dilakukan upaya negosiasi agar dapat dibebaskan. Adapun empat WNI lainnya akan dilepaskan oleh pihak perusahaan tempat mereka bekerja, dan satu WNI lagi menolak dipulangkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Reserse Kriminal Polri terus berupaya untuk membebaskan 20 warga negara Indonesia (WNI) yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan disekap di Myawaddy, Myanmar. Informasi terkini, tim Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon (Myanmar) dan KBRI Bangkok (Thailand) sedang berada di wilayah Myawaddy untuk mengusut kasus itu.
”KBRI Yangon dan KBRI Bangkok saat ini menangani viralnya kasus 20 WNI korban TPPO di Myawaddy di Myanmar yang berbatasan dengan wilayah Thailand dengan jarak 11 kilometer,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Sabtu (6/5/2023).
Sandi menambahkan, sesuai dengan hasil rapat yang dilaksanakan bersama Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri, KBRI Yangon, Bareskrim Polri, Badan Intelijen dan Keamanan Polri, serta Divisi Hubungan Internasional Polri didapatkan informasi bahwa ada empat korban TPPO yang akan dilepaskan oleh perusahaan. Mereka adalah korban yang akan masuk ke wilayah Thailand. Satu orang lainnya, menurut informasi, tidak mau dipulangkan.
”Adapun untuk 15 WNI saat ini sedang dilakukan upaya negosiasi lanjutan untuk menurunkan biaya tebusan dengan pihak perusahaan,” katanya.
Menurut Sandi, empat WNI yang akan dilepaskan oleh perusahaan itu telah diberangkatkan ke wilayah Thailand dan saat ini berada di salah satu hotel di wilayah Mae Sot. Keempat WNI itu sudah dilepaskan oleh pihak perusahaan lantaran perusahaan tak mau bermasalah. ”Sesuai dengan informasi, kondisi keempat WNI itu dalam keadaan baik,” ucapnya.
Sandi menambahkan, Kepala Divisi Hubungan Internasional Bareskrim Polri pun telah memerintahkan Atase Polri (Atpol) Bangkok untuk datang langsung ke lokasi pembebasan di Mae Sot. Divisi Hubungan Internasional melalui Atase Kepolisian (Atpol) KBRI Bangkok diminta melakukan investigasi awal dan akan membawa keempat WNI itu ke Bangkok untuk diproses lebih lanjut. Sebagai informasi, jarak antara Bangkok dan Mae Sot sekitar 500 kilometer dengan jarak tempuh sekitar 7 jam dengan jalur darat.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djuhandani Rahardjo Puro menuturkan, pihaknya mengalami sedikit kendala untuk membebaskan para korban TPPO sebab sindikat perdagangan manusia ini beroperasi di wilayah konflik.
Secara terpisah, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djuhandani Rahardjo Puro menuturkan, pihaknya mengalami sedikit kendala untuk membebaskan para korban TPPO sebab sindikat perdagangan manusia ini beroperasi di wilayah konflik yang dikuasai oleh pemberontak. Pemerintah berupaya menyelamatkan para korban dengan mengirimkan nota diplomatik ke Kemenlu Myanmar dan berkoordinasi dengan aparat setempat.
”Dari kurun waktu 2020-2023 sudah ada 517 orang yang kita tetapkan sebagai tersangka TPPO. Sudah banyak yang divonis pengadilan, dan yang lainnya akan kami kirim ke kejaksaan,” katanya.
Bareskrim Polri telah menangani 405 kasus TPPO dengan jumlah tersangka 517 orang. Ia juga menyebut bahwa Polri mendukung isu perdagangan manusia ini akan dibahas dalam KTT ASEAN. Sebab, selama pandemi Covid-19, kasus TPPO naik signifikan dengan jumlah korban mencapai 1.387 orang.
Dia pun merinci, dari data jumlah laporan polisi, pada tahun 2020 terdapat 126 kasus TPPO dengan jumlah korban 105 perempuan, 35 anak-anak dan 93 laki-laki. Sementara tahun 2021 terdapat 122 kasus dengan jumlah korban 165 perempuan, 74 anak-anak, dan 59 laki-laki. Kasus perbudakan manusia juga meningkat tajam pada 2022 dengan jumlah laporan mencapai 133 kasus dan korban 336 perempuan, 21 anak-anak, serta 306 laki-laki.
Kenaikan jumlah korban di tahun 2022 itu, menurut Djuhandani, karena pemulihan pandemi Covid-19 dan pencabutan pembatasan perjalanan ke luar negeri. Pada 2020-2021, modus kejahatan yang paling tinggi adalah pekerja seks komersial (PSK), pekerja migran, dan kasus asisten rumah tangga (ART).
”Pada 2022, kasus paling tinggi adalah dengan modus pekerja migran yang kami tangani. Jumlah korbannya juga paling banyak,” kata Rahardjo.
Kasus dengan modus pekerja migran paling banyak adalah korban yang dipekerjakan untuk scam online atau penipuan daring, judi, dan bahkan penipuan di Kamboja dan Myanmar. Para sindikat kejahatan internasional ini mendirikan perusahaan di kedua negara itu dan merekrut korban warga Indonesia. Sindikat memasang lowongan kerja di Instagram dan Facebook untuk dipekerjakan sebagai operator judi serta melakukan kejahatan di luar negeri.
Para korban diberangkatkan dari Jakarta menuju Thailand atau Singapura terlebih dahulu menggunakan pesawat. Kemudian, mereka diberangkatkan lagi menuju Kamboja atau Myanmar. Banyaknya jumlah korban perdagangan orang (human trafficking) yang diselamatkan ini berkat bantuan informasi Kementerian Luar Negeri dan KBRI setempat.
”Pada Februari lalu, kami pernah menangkap tiga tersangka TPPO yang berperan sebagai perekrut. Berkat laporan dari KBRI di Phnom Penh di Kamboja. Korban melapor ke Kedubes bahwa dipekerjakan sebagai telemarketing scamming dan judi online,” kata Rahardjo.
Para korban rata-rata diiming-imingi dengan gaji tinggi. Ternyata, kenyataannya, mereka di sana gajinya dipotong, banyak yang disekap dan disiksa.
Dia memaparkan, para korban rata-rata diiming-imingi dengan gaji tinggi. Ternyata, kenyataannya, mereka di sana gajinya dipotong, banyak yang disekap dan disiksa. Bareskrim Polri kemudian bekerja sama dengan Kemenlu dan polisi di Kamboja untuk membebaskan dan memulangkan para pekerja itu ke Indonesia. Dari keterangan mereka, penyidik kemudian melakukan penyelidikan dan menangkap para pelaku TPPO.
Ia juga menegaskan, Bareskrim Polri berkomitmen penuh untuk melakukan pemberantasan perdagangan orang. Para pelaku akan dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pemerintah kantongi data
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengecam keras tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai tindak pidana yang sangat jahat. Ada banyak tindak pidana, tetapi TPPO ini sangat jahat karena orang diperjualbelikan seperti budak. Pemerintah telah menemukan jaringan penyalur sindikat TPPO ini. Mereka ada yang di dalam dan di luar negeri. Para penyalur ini bermain mata dengan aparat, imigrasi, otoritas perhubungan untuk menampung dan menyalurkan tenaga kerja itu.
”Semuanya bermasalah, tetapi yang agak bermasalah itu adalah yang di Myanmar karena mereka terjebak dalam situasi konflik. (Pemerintah) Kami jadi sulit masuk dan menentukan satu-satu secara diplomatis dan hubungan antarlembaga,” ujarnya.
Untuk kasus lain, sejauh bisa dilacak, imbuh Mahfud, akan dijemput dan dipulangkan. Pemerintah juga telah menyatakan perang terhadap kejahatan TPPO. Bahkan, dia juga sudah melakukan terapi kejut (shock teraphy) dengan mengancam menangkap pelaku sindikat TPPO. Sebab, daerah, nama-nama pelaku sudah dikantongi Kepala Bareskrim Poli dan akan segera dieksekusi pelakunya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini pun mengecam keras tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tersebut. Korban yang disasar oleh pelaku rata-rata adalah orang miskin yang tidak punya pekerjaan, lalu dijanjikan untuk bekerja ke luar negeri. Mereka dijanjikan gaji besar, tetapi realisasinya dijual ke luar negeri sebagai budak.
”Ada yang bekerja di kapal sampai mati. Ada yang dibuang ke laut, ada yang kapalnya ditenggelamkan karena dikejar oleh aparat, itu banyak sekali. Setelah itu, mereka banyak yang dijual di sana, disiksa, disetrika, disekap dan tidak boleh keluar bertahun-tahun, sedikitnya berbulan-bulan. Ini yang harus ditolong karena jumlahnya banyak,” ucapnya.