Pertemuan Presiden Jokowi dengan Enam Ketum Parpol Diyakini Hasilkan Dua Kemungkinan
Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Romahurmuziy menduga pertemuan enam pemimpin parpol dengan Presiden Jokowi bisa mewujudkan koalisi besar. Selain itu, bisa juga mereka membahas finalisasi pembagian kekuasaan.
- Sejumlah ketua umum partai politik pendukung pemerintah sudah tampak memasuki Istana Merdeka untuk bertemu dengan Presiden Jokowi.
- Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Romahurmuziy menuturkan, meski hanya enam pemimpin parpol yang hadir, koalisi pendukung pemerintah masih cukup solid.
- Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menegaskan, apa yang dilakukan Presiden Jokowi tetap dalam koridor demokratis meskipun barangkali berdampak pada perubahan konstelasi politik.
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan Presiden Joko Widodo bersama para ketua umum partai politik koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, minus ketua umum Partai Nasdem, membuat situasi politik makin dinamis. Ada sejumlah skenario yang dinilai bisa muncul dari pertemuan itu, seperti pembahasan kembali koalisi besar atau membicarakan soal pembagian kekuasaan.
Presiden Joko Widodo mengundang enam ketua umum partai politik (parpol) koalisi pendukung pemerintah dalam rangka silaturahmi Lebaran, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/5/2023) malam. Keenam ketum parpol itu meliputi Ketum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, dan Pelaksana Tugas Ketum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono. Adapun Ketua Umum Nasdem Surya Paloh tidak diundang dalam pertemuan tersebut.
Dalam pantauan Kompas, sejumlah ketua umum partai politik pendukung pemerintah datang ke Istana Kepresidenan Jakarta lewat pintu samping dekat Masjid Baiturrahim. Mereka tidak melalui gerbang lengkung sisi Jalan Juanda yang lazim menjadi pintu masuk keluar para tamu istana, termasuk para menteri saat mengikuti rapat bersama Presiden.
Sekitar pukul 18.32, mobil yang membawa Sekretaris Kabinet Pramono Anung terlihat masuk. Disusul beberapa menit kemudian mobil yang membawa Ketua Umum PPP Mardiono, selanjutnya Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Begitu keluar dari mobilnya, Zulkifli Hasan dan Prabowo Subianto sempat melambai ke awak media yang menyapa dari lokasi menunggu, sekitar 20 meter dari pintu masuk. Hingga sekitar pukul 19.00, kedatangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tidak terpantau awak media yang menunggu sejak sekitar pukul 18.20.
Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP Romahurmuziy saat dihubungi mengatakan, meski hanya enam parpol dan minus Nasdem, koalisi pendukung pemerintah masih cukup solid. Apalagi, empat dari enam ketum parpol pendukung pemerintah merupakan ”pembantu Presiden”. Karena itu, kata dia, apabila ada masukan atau saran dari Presiden Jokowi tentang formasi politik ke depan, sudah pasti secara wibawa, psikis ada ewuh-pekewuh.
”Apalagi, yang disampaikan Jokowi, untuk kesinambungan pembangunan, untuk Indonesia,” ujar Romahurmuziy.
Sebagaimana diketahui, Airlangga Hartarto merupakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Prabowo Subianto merupakan Menteri Pertahanan, Zulkifli Hasan merupakan Menteri Perdagangan, dan Mardiono merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Romahurmuziy menduga pertemuan malam ini berpotensi mewujudkan koalisi besar dengan formasi Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal ini bertolak dari dua kenyataan. Pertama, dua figur tersebut memiliki elektabilitas teratas di berbagai lembaga survei. Kedua, partai pemenang Pemilu 2019, yakni PDI-P, lebih tepat sebagai pengaju capres, sementara parpol pemenang selanjutnya, yakni Gerindra, sebagai pengaju cawapres.
”Tentu hal ini terpulang ke Prabowo, apakah bersedia menjadi cawapres di tengah amanat partainya untuk menjadi capres,” kata Romahurmuziy.
Jika koalisi besar minus Nasdem ini tak terwujud, pertemuan malam nanti bisa jadi akan memfinalisasi pembagian kekuasaan (distribution of power) dari enam parpol pendukung pemerintah. Sebagaimana diketahui, PDI-P dan PPP telah menentukan sikap finalnya, yakni mendukung Ganjar sebagai capres, sementara keempat parpol lain belum menentukan sikap finalnya.
Pendistribusian ini dinilai penting untuk memastikan kesinambungan pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintahan saat ini, khususnya megaproyek infrastruktur, seperti pembangunan ibu kota negara baru, jalan tol, bendungan, dan bandara. ”Ini sejalan dengan harapan Pak Jokowi di beberapa kesempatan terbatas yang mengatakan bahwa presiden terpilih tahun 2024 nanti diharapkan tetap diusung dan dimotori oleh anggota parpol pendukung pemerintahan saat ini,” ucap Romahurmuziy.
Terkait pertemuan Presiden Jokowi dengan ketua umum partai, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menuturkan, harus dipahami, di luar konstestasi Pilpres 2024, keenam parpol yang diundang Presiden Jokowi pada Selasa malam memiliki komitmen untuk membangun legacy bagi pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin. Selain itu juga dengan konsolidasi politik yang terus dilakukan akan berkontribusi penting bagi terwujudnya stabilitas politik nasional.
”PDI Perjuangan meyakini bahwa, selain berbicara capaian, Presiden Jokowi juga akan membahas berbagai tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan di masa depan. Tentu saja berbagai konstelasi politik nasional kami yakini juga disampaikan oleh Presiden,” tutur Hasto.
Menurut dia, apa yang dilakukan Presiden Jokowi tetap dalam koridor demokratis meskipun barangkali berdampak pada perubahan konstelasi politik. Hasto menuturkan, yang pasti, apa yang disampaikan Presiden Jokowi memiliki basis data dan analisis politik yang akurat sehingga kredibel.
”Dengan kredibilitas tersebut, akan dapat membantu membangun kesadaran, bagaimana kerja sama politik dilakukan sehingga terjadi kesinambungan. Bahwa apa yang dilakukan tersebut, mungkin ada yang memiliki perspektif berbeda, dan kemudian memberikan kritik, itu merupakan hal yang wajar. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa dengan tingkat kepuasan yang tinggi, mencapai 78 persen, membuktikan bahwa kerja sama partai politik di pemerintahan dinilai positif oleh rakyat,” papar Hasto.
Baca Juga: Pertemuan Jokowi-Enam Ketum Parpol, Tak Diundangnya Surya Paloh, dan Wacana Koalisi Besar
Risiko politik
Kepala Departemen Politik dan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes berpandangan, Pemilu 2024 ini dilaksanakan dalam situasi Presiden Jokowi memiliki pengaruh politik yang besar. Arya tidak ingin berspekulasi apa yang membuat partai seakan terbelenggu oleh kekuatan Presiden tersebut, tetapi ia melihat saat ini partai-partai seakan ”sedikit-sedikit” harus lapor Presiden Jokowi.
”Karena itu, kita tidak bisa menafikan memang power Presiden. Presiden punya pengaruh politik yang besar dalam proses nominasi (capres-cawapres) ini,” ujar Arya.
Meski demikian, menurut Arya, partai pasti sudah mempunyai sikap atau independensi dalam menentukan pilihannya, baik berkaitan dengan koalisi maupun capres-cawapres yang akan diusung. Sebab, partai mempunyai kepentingan-kepentingan yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik luar, seperti kepentingan elektoral dan kepentingan survival partai.
”Dan, proses penentuan itu, menurut saya, kepentingan elektoral partai dan kepentingan survival partai lebih punya pengaruh dibandingkan power Presiden. Karena partai berpikir jangka panjang bagaimana partai bisa survive dan elektoralnya naik,” ucap Arya.
Ia melihat, dari pembicaraan politik saat ini, tidak akan banyak mengubah peta kandidat capres. Sebab, peta capres sudah bisa terprediksi dari jauh-jauh hari bahwa akan ada tiga kandidat potensial, yakni Ganjar, Prabowo, dan Anies Baswedan. Yang mungkin akan banyak berpengaruh adalah di level cawapres dan di level koalisi antarparpol.
Namun, Arya pun mengingatkan bahwa setiap pilihan-pilihan politik Presiden, apalagi terkait dengan nominasi capres, tentu akan menghadapi semacam risiko-risiko. Risiko yang paling utama adalah akan terjadi pemisahan antara kandidat yang didukung Presiden dan kandidat yang tidak didukung Presiden.
”Jika itu menguat, tensi politiknya akan meningkat, antara calon yang didukung Presiden dan calon yang tidak didukung Presiden. Itu risikonya juga bisa mengeras di antara para pemilihnya,” kata Arya.
Risiko kedua adalah siapa pun calon yang akan menjadi presiden, entah calon yang didukung Presiden ataupun yang tidak didukung Presiden, akan dihadapkan pada posisi bahwa mereka mau tidak mau harus melanjutkan warisan pemerintahan Jokowi. Sebab, Jokowi saat ini banyak mendapatkan apresiasi atas situasi ekonomi yang tumbuh secara lebih baik dan pembangunan sejumlah proyek strategis nasional.
”Jadi siapa pun yang tidak melanjutkan warisan Jokowi itu akan menjadi bumerang karena dukungan publik terhadap program-program strategis Jokowi tinggi. Apalagi, trust dan approval rating terhadap Presiden juga tinggi,” tutur Arya.
Risiko ketiga, perlu dipastikan bahwa fasilitas-fasilitas negara tidak digunakan untuk kepentingan kampanye 2024. Sebab, calon yang maju sekarang, misal Prabowo maupun Airlangga, masih menduduki jabatan di pemerintahan. ”Ini akan menjadi wilayah abu-abu yang sangat tipis karena mereka maju sebagai capres atau cawapres, tetapi masih duduk sebagai menteri, dan kita tidak punya aturan ketat soal itu,” ujarnya.
Risiko terakhir adalah tantangan menjaga jalannya pemerintahan sampai akhir 2024. Kandidat yang maju, apalagi mereka menduduki jabatan penting di pemerintahan, tentu tidak boleh sampai mengesampingkan kerja pemerintahan dan malah terlalu fokus pada kerja politik. Jika tidak, kinerja pemerintahan akan turun.