Kekerasan Terus Terjadi, Perlu Kedepankan Dialog di Papua
Berbagai kekerasan masih terus terjadi di Tanah Papua. Hingga pekan kemarin, aksi KKB menewaskan dua warga. Untuk mengatasinya perlu ada dialog, dengan didahului penghentian konflik senjata antara aparat dan KKB.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah kemanusiaan dengan mengedepankan dialog perlu dicoba untuk mengatasi kekerasan di Papua, termasuk untuk membebaskan Philip Mehrtens, pilot Susi Air, yang disandera kelompok kriminal bersenjata di Nduga, Papua Pegunungan, sejak 7 Februari lalu. Upaya itu dinilai sebagai langkah tepat untuk memutus mata rantai kekerasan, termasuk konflik bersenjata, di Papua.
Peneliti isu Papua dari Jaringan Damai Papua (JDP) Adriana Elisabeth saat dihubungi dari Jakarta, Senin (1/5/2023), berpandangan upaya untuk mengatasi kekerasan di Papua, termasuk pembebasan pilot Susi Air itu perlu mengedepankan dialog atau negosiasi, tanpa kekerasan. Agar dialog berjalan, dibutuhkan prasyarat situasi kondisi, yakni aparat kemanan maupun kelompok kriminal bersenjata (KKB) harus berhenti terlibat dalam konflik senjata.
Menurut dia, tanpa dialog politik antarkedua belah pihak, lingkaran kekerasan di Papua sulit diputus. ”Strategi ini membutuhkan waktu yang panjang karena kompleksitas dan kerumitan yang dihadapi di lapangan. Namun, harus dicoba untuk penyelesaian konflik bersenjata di Papua untuk jangka panjang,” ujarnya.
Hingga akhir pekan kemarin, aksi KKB masih terjadi di Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Aksi itu menyebabkan dua warga tewas dan satu warga terluka. Jenazah kedua korban dievakuasi ke Jayapura pada Senin (1/5/2023).
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, dua korban tewas itu adalah Yonathan Arruan dan Asri Obet. Menurut rencana, keduanya akan diterbangkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk dimakamkan di kampung halamannya di Toraja.
Adapun warga yang terluka adalah Kepala Distrik (camat) Kiwirok (Pegunungan Bintang) Abedeus Tepmu yang dianiaya oleh lima anggota KKB. Korban kemudian menyelamatkan diri ke Pos TNI-Polri di Kiwirok. ”Kemungkinan korban dianiaya karena tidak memberikan uang atau barang yang dibutuhkan KKB,” kata Mathius.
Adapun warga yang terluka adalah Kepala Distrik (camat) Kiwirok (Pegunungan Bintang) Abedeus Tepmu yang dianiaya oleh lima anggota KKB.
Penghentian kekerasan
Untuk menghentikan berbagai kekerasan di Papua, melalui keterangan resmi pada 24 April lalu, para pemuka agama di Papua juga sudah meminta agar Presiden Joko Widodo mengubah pendekatan secara signifikan untuk resolusi konflik di Papua. Pernyataan itu ditandatangani, antara lain, oleh pimpinan Keuskupan Jayapura dan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.
Dalam keterangan itu, Uskup Jayapura Mgr Dr Yanuaris You mengutip catatan Amnesty International Indonesia bahwa selama 2018-2022 setidaknya ada 91 kasus pembunuhan di luar proses hukum yang melibatkan TNI, Polri, petugas lapas, dan warga Papua kelompok pro-kemerdekaan. Dari kasus-kasus itu, sebanyak 177 warga sipil tewas, 44 anggota TNI-Polri menjadi korban, dan 21 orang dari KKB juga menjadi korban.
Para pemuka agama itu pun sepakat bahwa harus ada jeda untuk penghentian segala bentuk kekerasan di Papua, termasuk kontak senjata. Untuk membebaskan pilot Susi Air dari penyanderaan, mereka juga menyarankan agar semua pasukan keamanan ditarik dari sekitar lokasi penyanderaan. Hal itu perlu dilakukan agar negosiasi bisa berjalan.
Peneliti Politik Keamanan CSIS Nicky Fahrizal sepakat agar konflik di Papua diatasi dengan mengurangi kekuatan militer. Sebab, masyarakat Papua memiliki memori kolektif yang buruk terhadap kehadiran militer. Ini dipengaruhi oleh sejarah daerah operasi militer (DOM) di rezim Orde Baru.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, setiap masukan dari masyarakat akan didengarkan pemerintah. Namun, pemerintah juga melakukan kalkulasi seluruh opsi yang tersedia beserta dengan implikasinya. Kalkulasi itu sesuai dengan koridor hukum, prinsip kehati-hatian, efektivitas pencapaian tujuan, dan hak asasi manusia (HAM).
Dalam situasi penanganan sandera yang rentan dan perlu kecermatan, lanjutnya, keselamatan dan keamanan sandera pilot lebih diutamakan. ”Akan lebih prudent (bijaksana) bagi pemerintah untuk tidak masuk ke dalam diskursus teknis di ruang media, yang bila tidak hati-hati justru berpotensi kontraproduktif dalam penanganan situasi tersebut,” katanya.
Dia juga meminta agar masyarakat percaya terhadap TNI-Polri untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan koridor dan prinsip yang disepakati pemerintah.