Lebaran di tahun politik ini menjadi panggung bagi para politisi melakukan transaksi di antara mereka. Kini, setelah lebaran berlalu, panggung politik ada di hadapan kita.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
Lebaran di tahun politik ini menjadi panggung bagi para politisi melakukan transaksi di antara mereka sendiri. Sementara rakyat hanya menjadi penonton, yang ibaratnya melihat sebuah sinetron di layar kaca.
Sayangnya, dalam realitas terjadi ketidakterhubungan antara politisi dan rakyat. Hal ini disebabkan oleh politik transaksional yang sekarang ini merebak dan terus menguat. Padahal, secara hakiki, Lebaran adalah momen yang secara fundamental merupakan masa untuk mempertalikan tali kemanusiaan yang selama ini telah terkoyak dan menyadarkan tentang kesetaraan dalam kehidupan manusia.Diskusi di tengah konteks Idul Fitri 1440 Hijriah pada tahun politik ini merebak dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Lebaran Asyik Tanpa Politik”, Rabu (26/4/2023), di Kompas TV. Acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini mengajak sejumlah narasumber. Selain Sukidi Muliadi, pemikir kebinekaan; juga hadir Alissa Wahid, aktivis kemanusiaan; dan budayawan Eros Djarot; serta pengamat politik Fahcry Ali.
”Di bulan puasa pun masih ada yang ngeyel. Memaksakan supaya tinggal dua (calon),” kata Eros Djarot membuka diskusi. Eros mengatakan, di momen Lebaran ini yang diharapkan masyarakat adalah pencerahan dari para politisi. Namun, hal ini justru tidak muncul.
”Di bulan puasa pun masih ada yang ngeyel. Memaksakan supaya tinggal dua (calon)”
Ia mengatakan, harus diakui banyak politisi yang kualitasnya memang kurang. Oleh karena itu, banyak hal yang dimaknai secara salah oleh para politisi selama ini. Eros pun berharap agar politisi sekarang harus lebih dewasa dalam berpolitik. Saat ini yang dipertontonkan adalah politik demi kekuasaan semata. Padahal, seharusnya politik itu bertugas untuk membangun peradaban. ”Yang dibangun bukan peradaban, tetapi kekuasaan yang tidak menguasai apa-apa, kecuali kekalahan,” tutur Eros.
Sosok yang juga budayawan ini kemudian mempertanyakan tema acara Satu Meja The Forum ”Lebaran Asyik Tanpa Politik”. Dalam tema tersebut, dinilainya, justru ada nuansa ketidakasyikan yang disebabkan oleh politik dan politisi. Seharusnya, lanjut Eros, politik itu justru membuat segalanya berjalan lebih baik lagi dan mengasyikkan. ”Hedonisme, korupsi, dan oligarki malah diinsafkan. Negara bukan milikmu, tetapi (milik) rakyat,” papar Eros.
Panggung teater
Di sisi lain, Fachry Ali mengatakan, pada tahun 2023 ini, yang biasa disebut sebagai tahun politik, Lebaran dimanfaatkan para politisi untuk lebih intensif lagi bermanuver. Seharusnya Lebaran adalah teater sosial politik di mana seluruh masyarakat muncul. Karena menjadi pusat perhatian semua orang, Lebaran disebut Fachry sebagai panggung teater. ”Namun, ini dimanfaatkan oleh para politisi. Eman-eman kalau politisi nggak memanfaatkan momen Lebaran tersebut,” kata Fachry.
Sukidi mengingatkan hal yang intinya sama. Pada dasarnya, Lebaran adalah momen ketika umat Islam menapaktilasi sebuah kerinduan kepada asal muasal, yaitu kampung dalam hal ini lokasi. Kerinduan ini adalah menjadi hakikat dasar kemanusiaan yang mengemuka di momen Lebaran. Apalagi, di tengah situasi krisis di mana nilai-nilai yang semestinya menjadi pegangan kita hidup berbangsa dan bernegara banyak yang terkoyak.Meski demikian, pendapat Fachry sebelumnya didebat oleh Sukidi. Pemikir kebinekaan itu menyatakan, pemaknaan bahwa Lebaran adalah teater sebagai panggung politik dinilainya cukup sekuler terhadap satu peristiwa keagamaan yang sebenarnya sarat dengan nilai-nilai ketuhanan. Pasalnya, salah satu pendiri republik ini, yaitu Bung Karno, justru yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan.
”Pada momen inilah kita menapaktilasi. Kita umat Islam memaknai sebagai salah satu kerinduan kepada asal muasal kita, dari kampung, dari lokasi yang jauh,” paparnya.
”Pada momen inilah kita menapaktilasi. Kita umat Islam memaknai sebagai salah satu kerinduan kepada asal muasal kita, dari kampung, dari lokasi yang jauh”
Ia menambahkan, mestinya, nilai ketuhanan menjadi fondasi untuk bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, tambah Sukidi, kita perlu kembali kepada nilai-nilai yang menyatukan, yakni nilai ketuhanan. Sukidi juga menyoroti konteks saat ini, yakni kemiskinan meluas, pengangguran terjadi di mana-mana, demikian juga stunting atau tengkes. ”Ini refleksi kegagalan kita sebagai bangsa mewujudkan keinginan pendiri bangsa yang mendambakan keadilan sosial dapat ditegakkan, kesejahteraan milik rakyat dan bukan milik penguasa,” ujarnya.
Harapan yang tak utopis
Sementara Alissa menyampaikan harapannya bahwa di tengah momen Lebaran, para politisi dapat bersama-sama memikirkan negara menjadi harapan yang tidak utopis. Ia melihat, prosedur demokrasi di Indonesia sudah lengkap. Namun, substansi demokrasi mengalami kemunduran. Segala sesuatu diukur dari berkuasa atau tidaknya, serta kekuasaan untuk akses masuk ke sumber daya negara dan menguasainya. Lebaran pada hakikatnya seharusnya menjadi momen untuk menajamkan kembali kenegarawanan, legacy seperti apa yang akan dibangun oleh para politisi.
"Alissa menceritakan momen-momen Lebaran yang digunakan oleh Gus Dur untuk bersilaturahmi dalam rangka mempererat hubungan kemanusiaan. Politik menjadi urusan yang kesekian, dan bukan nomor satu"
Ketika ayahnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, masih hidup, Alissa menceritakan momen-momen Lebaran yang digunakan oleh Gus Dur untuk bersilaturahmi dalam rangka mempererat hubungan kemanusiaan. Politik menjadi urusan yang kesekian, dan bukan nomor satu. Bahkan, lanjut Alissa, Gus Dur pun kerap bersilaturahmi ke rumah Soeharto, yang menurut Gus Dur harus dihormati sebagai seorang mantan Presiden RI. Silaturahmi seperti itu yang menurut Alissa sebenarnya diharapkan oleh masyarakat saat ini.
Sebatas tontonan
Di sisi lain, masyarakat yang memang sudah tidak punya rasa keterhubungan dengan politisi melihat manuver para politisi itu sebatas tontonan. Ada kesenangan di antara masyarakat melihat sinetron para politisi itu di media. Bahkan, menjadi hiburan ketika manuver-manuver itu ditambah dengan cerita-cerita tentang sosok-sosok dan karakter-karakter yang muncul. Menurut Fachri, yang mempunyai andil atas kesalahan itu di antaranya pers. ”Selalu menyorot mereka lewat televisi,” kata Fachry tertawa.
Namun, Fachry mengatakan, secara teori tentu diharapkan ada hal-hal yang ideal dari momen yang dimanfaatkan para politisi. Kenyataannya, politisi memanfaatkan rakyat secara periodik. Hingga akhirnya yang terjadi adalah transaksional. Keterpisahan antara rakyat dan elite itu kini terjadi terus-menerus. Rakyat sekarang jauh lebih ”rasional”. Penyebabnya, rakyat merasa tak membutuhkan politisi, tetapi akan menerima kalau politisi bagi-bagi uang.
Di sisi lain, politisi juga melihat dirinya cukup sekadar membagi-bagikan uang dan lalu tidak ada komitmen selanjutnya kepada rakyat. ”Lebaran jadi sangat penting karena ini situasi sangat release. Jangan berharap terlalu ideal karena yang terjadi adalah transaksi di kalangan mereka para elite sendiri,” katanya lebih jauh.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa05-05-2021
Di antara berbagai tudingan dan kekecewaan kepada politisi, Eros pun mengingatkan bahwa politisi juga korban dari sistem. Regulasi politik seperti undang-undang tidak memungkinkan para politisi dapat bersatu. ”Mereka ini juga korban yang harus kita selamatkan. Jangan hanya melihat sekarang ini saja berantakannya, tetapi lihat pokok masalahnya juga,” katanya sambil tertawa.
Lebaran memang baru saja berlalu, tetapi panggung politik yang sebenarnya kini ada di hadapan kita....